Kisah
Beranda » Berita » Kisah Mualaf Sammamah karena Akhlak Mulia Rasulullah

Kisah Mualaf Sammamah karena Akhlak Mulia Rasulullah

SURAU.CO – Kisah Sammamah, seorang pembesar kharismatik dari Kabilah Hunaifiyyah, merupakan salah satu narasi paling kuat yang menggambarkan kebijaksanaan, pengampunan, dan kekuatan transformatif Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Pada awalnya, Sammamah dikenal sebagai musuh bebuyutan Islam, tangan kanannya berlumuran darah para pemeluk agama baru. Keberaniannya dalam menentang dakwah Islam membuatnya menjadi sosok yang ditakuti, namun takdir berkata lain. Akhirnya, Sammamah tertangkap dan menjadi tawanan kaum Muslimin, kemudian dibawa menghadap Rasulullah SAW.

Perlakuan Rasulullah terhadap Sammamah

Saat pertama kali melihat Sammamah, Rasulullah tidak menunjukkan kemarahan atau dendam. Sebaliknya, beliau dengan tenang memerintahkan para sahabat di sekelilingnya, “Perlakukan dia dengan baik!” Perintah ini sangat mengejutkan, mengingat rekam jejak Sammamah yang begitu kejam terhadap umat Muslim. Namun, inilah ciri khas kepemimpinan Rasulullah; selalu mengedepankan kemanusiaan dan kasih sayang, bahkan kepada musuh sekalipun. Perlakuan baik ini tidak hanya terbatas pada ucapan. Sammamah memiliki nafsu makan yang luar biasa; ia bisa melahap jatah makanan sepuluh orang sekaligus tanpa merasa bersalah. Menyadari hal ini, Rasulullah pun menunjukkan kedermawanan yang tak terhingga.

“Hari ini aku kedatangan tamu yang doyan makan,” ujar Rasulullah kepada istrinya, “Hidangkan padanya semua makanan yang telah kalian siapkan!”

Sammamah menyikat habis semua hidangan yang disajikan, sementara Rasulullah dan keluarga beliau rela tidak ikut makan. Kejadian ini berlangsung berhari-hari. Setiap harinya, Sammamah hanya makan, minum, dan tidur dengan nyaman, sambil terus mengamati dinamika yang terjadi di sekitarnya dan memikirkan nasibnya. Ia menyadari bahwa perlakuan yang ia terima jauh berbeda dari apa yang biasa ia saksikan dalam peperangan atau penawanan.

Dalam setiap pertemuannya dengan Nabi, Sammamah selalu menantang, “Muhammad! Aku telah membunuh orang-orangmu. Jika kamu ingin membalas dendam, bunuh saja aku! Namun jika kamu menginginkan tebusan, aku siap membayar sebanyak yang kamu inginkan.” Ia menawarkan opsi yang biasa berlaku dalam konflik antarkabilah: balas dendam atau tebusan. Namun, Rasulullah hanya mendengarkan ucapannya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan Rasulullah bukan tanpa makna. Ia sedang memberikan ruang bagi Sammamah untuk merenung, merasakan kebaikan, dan menyaksikan langsung akhlak seorang Nabi.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Sammamah Mualaf dan Deklarasi

Beberapa hari kemudian, dengan sebuah keputusan yang mengejutkan banyak pihak, Rasulullah membebaskan Sammamah. Tanpa syarat. Sebuah tindakan yang melampaui kebiasaan dan logika duniawi. Sammamah, yang terbiasa dengan kekerasan dan perhitungan, kini merasakan kebaikan tanpa pamrih. Setelah melangkah beberapa jauh, Sammamah berhenti di bawah sebuah pohon. Pikirannya berkecamuk. Ia berpikir, berpikir, dan terus berpikir. Duduk di atas pasir, ia masih tidak habis pikir akan perlakuan yang baru saja ia terima. Kebencian dan permusuhan yang ia bawa perlahan luntur, tergantikan oleh keheranan dan kekaguman.

Setelah beberapa waktu, ia bangkit, mandi, dan mengambil air wudhu. Kemudian, dengan langkah mantap, ia kembali menuju rumah Rasulullah. Dalam perjalanan itu, sebuah keputusan besar telah ia ambil. Setibanya di sana, ia menyatakan masuk Islam. Perubahan hati Sammamah menjadi bukti nyata bahwa kebaikan dan kesabaran dapat menaklukkan hati yang paling keras sekalipun. Ia telah menyaksikan sendiri kebenaran ajaran Islam melalui akhlak mulia Rasulullah.

Sammamah menghabiskan beberapa hari bersama Rasulullah, memperdalam pemahamannya tentang Islam, sebelum akhirnya pergi ke Mekah untuk mengunjungi Ka’bah. Sesampainya di sana, di tengah-tengah kota yang masih dikuasai oleh kaum Quraisy yang sangat memusuhi Islam, Sammamah dengan berani menyatakan keislamannya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,” serunya dengan suara lantang. Deklarasi keberanian ini menarik perhatian. Orang-orang Quraisy segera menghampirinya dan mengepungnya, pedang sudah terayun-ayun, mengancam kepala dan lehernya.

Namun, di tengah ketegangan itu, salah seorang dari kerumunan itu berteriak, “Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia! Dia adalah penduduk Imamah. Tanpa suplai makanan dari Imamah kita tidak akan hidup.” Sammamah berasal dari wilayah yang menjadi pemasok gandum utama bagi Mekah. Mendengar pengakuan ini, Sammamah menimpali, “Tetapi itu saja tidak cukup! Kalian telah sering menyiksa Muhammad. Pergilah kalian menemuinya dan minta maaflah pada beliau dan berdamailah dengannya! Kalau tidak, maka aku tidak akan mengizinkan satu biji gandum dari Imamah masuk ke Mekah.” Ancaman Sammamah ini sangat serius. Mekah sangat bergantung pada pasokan dari Imamah.

Surat Rasulullah kepada Sammamah

Sammamah kembali ke kampung halamannya dan ia benar-benar menghentikan suplai gandum ke Mekah. Bahaya kelaparan mengancam penduduk Mekah. Situasi menjadi genting, memaksa kaum Quraisy untuk bertindak. Mereka, yang sebelumnya begitu sombong dan memusuhi Islam, kini terpaksa mengajukan permohonan kepada Rasulullah. “Wahai Muhammad! Engkau memerintahkan agar berbuat baik kepada sanak dan tetangga. Kami adalah sanak saudaramu, akankah engkau membiarkan kami mati kelaparan dengan cara seperti ini?” Mereka mencoba menyentuh hati Rasulullah dengan ikatan kekerabatan.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Seketika itu pula, Rasulullah menulis surat kepada Sammamah, memintanya untuk mencabut larangan suplai gandum ke Mekah. Sammamah dengan rela hati mematuhi perintah tersebut. Penduduk Mekah pun selamat dari bahaya kelaparan. Kisah ini menunjukkan betapa Rasulullah selalu mendahulukan kemanusiaan dan perdamaian, bahkan ketika musuhnya sendiri yang berada dalam kesulitan. Ini adalah gambaran nyata dari ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Ironisnya, seperti yang sudah-sudah, setelah mereka kembali menerima suplai gandum dan terlepas dari ancaman kelaparan, kaum Quraisy kembali pada sifat lama mereka, mulai mempersiapkan rencana busuk untuk menyingkirkan Rasulullah. Namun, kisah Sammamah tetap abadi sebagai pengingat akan kekuatan pengampunan, perubahan hati, dan kebijaksanaan yang tak terhingga dari seorang pemimpin besar seperti Nabi Muhammad SAW. Kisah ini mengajarkan bahwa kebaikan sejati tidak pernah sia-sia, dan bahwa dakwah yang paling efektif seringkali datang dari akhlak yang mulia.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement