SURAU.CO. Pernahkah kita merenung, berapa banyak waktu yang telah kita lewatkan begitu saja tanpa makna? Berapa banyak detik yang hilang dalam obrolan tak penting, scroll media sosial tanpa tujuan, atau sekadar rebahan tanpa arah? Padahal, waktu adalah anugerah yang tak ternilai, tetapi sering kali tidak kita sadari nilainya sampai ia pergi dan tak akan kembali.
Betapa banyak manusia yang menyesal bukan karena kekurangan harta, bukan pula karena kurang terkenal, tetapi karena menyia-nyiakan waktu yang pernah mereka miliki. Waktu adalah kesempatan, dan kesempatan tidak datang dua kali. Maka, sudah seharusnya kita membuka mata dan hati, lalu mulai menghargai setiap detik yang Allah berikan.
Waktu Luang, Nikmat yang Sering Terlalaikan
Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa dua nikmat sering dilalaikan manusia: kesehatan dan waktu luang. Kita baru merasakan betapa berharganya dua hal itu ketika sudah kehilangan salah satunya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menggambarkan penyesalan orang-orang yang telah meninggal dunia.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata, ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menangguhkan (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.'” (QS. Al-Munafiqun: 10)
Ayat ini menjadi tamparan halus bagi kita. Orang yang telah meninggal berharap diberi waktu sedikit saja untuk memperbaiki diri, beramal, dan bersedekah. Lalu bagaimana dengan kita yang masih hidup dan memiliki kesempatan itu setiap hari?
Memanfaatkan waktu dengan maksimal untuk melakukan segala sesuatu yang memberi manfaat baik untuk dunia ataupun akhirat nanti. Atau menggunakannya untuk sesuatu yang memberikan kesenangan sesaat. Pilihannya ada di tangan kita. Kita yang menjalani hidup, maka kita yang menentukan.
Dunia Persinggahan Sementara
Kita perlu menyadari bahwa kehidupan di dunia hanyalah perjalanan singkat. Perjalanan sementara untuk menuju keabadian di akhirat kelak.
Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan betapa singkatnya waktu manusia di dunia: “Dia (Allah) berfirman: ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab: ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.'” (QS. Al-Mu’minun: 112-113)
Ayat ini mengingatkan bahwa waktu di dunia ibarat sekejap mata jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal. Hidup kita ibarat seorang musafir yang hanya berteduh di bawah pohon sejenak sebelum melanjutkan perjalanan panjang menuju kampung akhirat. Maka, apakah pantas jika waktu yang singkat ini kita gunakan untuk bermain-main dan bermalas-malasan?
Teladan dalam Menghargai Waktu
Para ulama terdahulu benar-benar memahami nilai waktu. Mereka tidak menyia-nyiakan setiap detik hidup mereka, bahkan dalam urusan sepele seperti makan dan berjalan pun mereka manfaatkan untuk menuntut ilmu dan beribadah.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata: “Sudah sepantasnya manusia memahami kemuliaan waktu dan kadar waktunya. Dan jangan ia menyia-nyiakan waktu walau satu menit tanpa ketaatan kepada Allah. Setiap detik dari umur ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, maka jangan sibuk dengan dunia dan angan-angan kosong.”
Begitu pula dengan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengatakan: “Jadikanlah waktumu untuk Allah. Barang siapa yang tidak mempersembahkan waktunya untuk Allah, maka kematian lebih baik baginya daripada kehidupan.”
Kisah para salaf dan ulama rabbani menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam memanfaatkan waktu. Salah satunya adalah Abul Wafa’ bin Aqil rahimahullah, yang bahkan mempersingkat waktu makan agar bisa lebih banyak membaca dan menulis ilmu. Ia memilih makan biskuit yang dicelup air karena lebih cepat dikunyah daripada roti. “Dengan segala kesungguhanku, aku juga memendekkan waktu makanku. Sampai aku lebih banyak makanan biskuit yang dilarutkan dengan air dari pada memakan roti. Alasannya karena kedua makanan tersebut berbeda jauh waktu yang dihasilkan ketika mengunyahnya. Yakni demi lebih memberi waktu untuk membaca dan menyalin berbagai hal yang bermanfaat yang belum sempat ku ketahui”
Ada pula kisah Ibnu Abi Hatim rahimahullah. Putranya menceritakan bahwa ketika ayahnya makan, ia membacakan kitab untuknya. Saat mereka berjalan, ia juga membacakannya. Bahkan saat sang ayah berada di kamar mandi atau masuk rumah untuk suatu keperluan, ia tetap membacakannya. Tidak ada waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk belajar dan menambah ilmu.
Tidak hanya para ulama klasik, ulama besar seperti Syaikh Bin Baz rahimahullah juga dapat menjadi teladan. Dikisahkan bahwa setiap detik beliau diisi dengan dzikir, tasbih, istighfar, dan tahlil. Dalam halaqah besar, saat menunggu giliran bicara, beliau tidak berdiam diri tetapi memanfaatkan sela waktu untuk membaca istighfar.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Melihat dedikasi dan kedisiplinan para ulama dalam mengelola waktu, kita patut menjadikannya sebagai inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup dengan memanfaatkan setiap detik secara bijak dan bernilai. Para ulama tidak menyia-nyiakan waktu, melainkan mengisinya dengan aktivitas yang memperkaya ilmu, memperkuat iman, dan memperbaiki akhlak.
Kita pun dapat memulai dari langkah sederhana namun berdampak besar. Misalkan membaca Al-Qur’an meskipun hanya beberapa ayat saat waktu luang. Kita bisa mendengarkan ceramah atau podcast Islami ketika di perjalanan. Memperbanyak dzikir dan istighfar saat menunggu, serta membatasi penggunaan gadget atau media sosial yang tidak membawa manfaat. Selain itu, menjadwalkan waktu khusus untuk belajar, merenung, dan memperbaiki diri menjadi bagian dari ikhtiar membangun karakter yang lebih baik.
Yang terpenting, setiap aktivitas tersebut perlu dilandasi oleh niat yang tulus karena Allah. Dengan demikian, kita tidak sekadar mengejar produktivitas duniawi, tetapi juga menjadikan pengelolaan waktu sebagai bentuk ketaatan, rasa syukur, dan penghormatan atas nikmat waktu yang telah Allah anugerahkan.
Berdoa Agar Dimudahkan Menjaga Waktu
Kemampuan untuk memanfaatkan waktu dengan baik bukan semata hasil usaha pribadi. Itu semua adalah taufik dari Allah. Memanfaatkan waktu dalam ketaatan adalah sebuah pemberian dari Allah. Dan Allah memberikanya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba hambanyaNya dan memudahkan jalannya.
Maka, jangan ragu untuk memohon kepada-Nya dengan hati yang tunduk dan lisan yang jujur. Mintalah dengan sungguh-sungguh agar Allah memberikan taufik untuk menjaga waktu kita, mengisinya dengan amal shalih, dan menjauhkan kita dari kesia-siaan.
Allah memerintahkan kita untuk berdoa. Sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” (QS. Ghafir: 60)
Pilihan Ada di Tangan Kita
Kita tidak bisa menghentikan waktu, tapi kita bisa memilih bagaimana cara mengisinya. Apakah kita akan menjadi orang yang merugi karena membuang waktu, atau menjadi orang yang beruntung karena memanfaatkannya untuk kebaikan?
Ingatlah, waktu adalah modal utama dalam kehidupan. Ia lebih berharga dari harta, lebih mahal dari emas, dan lebih cepat hilang daripada bayangan. Maka, jangan tunggu sampai kita menyesal, seperti mereka yang telah mendahului kita dan berharap kembali walau hanya sesaat.
Mulailah sekarang. Gunakan waktumu sebaik mungkin. Karena bisa jadi, detik yang kita miliki saat ini adalah detik terakhir yang Allah berikan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
