Opinion
Beranda » Berita » Demonstrasi dalam Islam: Solusi atau Polusi? Tinjauan Buku & Fakta

Demonstrasi dalam Islam: Solusi atau Polusi? Tinjauan Buku & Fakta

SURAU.CO – Sebuah Resensi Reflektif atas Buku “Demonstrasi: Solusi atau Polusi?” Karya Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Indonesia dalam Gejolak

Udara di sejumlah kota besar Indonesia belakangan ini kembali dipenuhi oleh aroma gas air mata dan suara riuh rendah massa. Demonstrasi, yang kerap dielu-elukan sebagai pilar demokrasi, kembali menunjukkan wajah gandanya: di satu sisi sebagai penyalur aspirasi, di sisi lain sebagai pemicu anarki yang memilukan.

Tragedi berdarah yang merenggut nyawa, nama Affan Kurniawan tiba-tiba menjadi berita nasional. Seorang pemuda berusia 21 tahun, pengemudi ojek online yang ikut berada di tengah massa, harus kehilangan nyawanya di bawah roda kendaraan taktis saat demonstrasi ricuh. Tragedi ini kembali menampar kesadaran kita: benarkah demonstrasi adalah solusi, atau justru polusi yang menelan korban?

Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang menjadi penopang keluarga, serta para mahasiswa yang seharusnya menjadi masa depan bangsa, adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar.

Darah yang tertumpah di aspal menjadi pertanyaan besar bagi kita semua: Benarkah ini jalan yang ditempuh oleh umat Islam terbesar di dunia?

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Dalam kondisi seperti inilah, buku “Demonstrasi: Solusi atau Polusi?” karya Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hadir bagai oase di padang gurun kegaduhan. Buku ini bukan sekadar literatur, melainkan sebuah piagam etika (adab) bagi Muslim dalam berinteraksi dengan penguasa dan merespons gejolak sosial, yang ditinjau dari lensa Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fatwa ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Membedah Buku: Dalil, Sejarah, dan Fatwa

Penulis dengan metodologis yang rapi membangun argumennya di atas tiga pilar utama:

1. Pilar Akidah dan Dalil Syar’i: As-Sidawi menegaskan bahwa ketaatan kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat adalah kewajiban agama. Ia mengutip firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ > “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

«مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً» > “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari kebijakan pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Demonstrasi, dengan potensi chaos, pembangkangan, dan pelecehan terhadap simbol-simbol otoritas, dinilai bertentangan dengan spirit ayat dan hadits ini.

2. Pilar Historis: Buku ini meluruskan narasi yang menyebut demonstrasi sebagai bagian dari Islam. As-Sidawi menjelaskan bahwa demonstrasi massal adalah produk impor dari peradaban Barat sekuler, yang berakar dari Revolusi Prancis (1789) yang sarat dengan anti-agama dan pembunuhan massal.

Sementara dalam sejarah Islam, protes terhadap kebijakan khalifah dilakukan melalui jalur diplomasi yang santun dan tertutup, bukan dengan menghasut massa di jalanan.

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, nasihat disampaikan oleh para ulama melalui surat atau pertemuan khusus, bukan dengan memobilisasi orang-orang yang mudah emosi.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

3. Pilar Fatwa Ulama: Buku ini mengompilasi pendapat para mufti besar zaman ini. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat adanya kebaikan dalam demonstrasi… karena demonstrasi hanya menimbulkan kerusakan, pertumpahan darah, dan permusuhan.” Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menegaskan, “Demonstrasi adalah perbuatan baru (bid’ah) yang bukan berasal dari ajaran Islam… Cara yang benar adalah dengan menulis surat atau menemui para ulama dan pemangku kebijakan untuk menyampaikan nasihat.”

Analisis Sosiologis: Ketika Jalanan Menjadi Medan Permainan Elit Global

Di sinilah buku As-Sidawi menjadi sangat kontekstual. Demonstrasi di Indonesia hari ini tidak bisa lagi dilihat sebagai murni luapan amarah rakyat. Terdapat dimensi sosiologis yang lebih kompleks.

Pertama, demonstrasi telah menjadi komoditas politik. Aksi massa seringkali direkayasa oleh para elit untuk menekan lawan politik, merebut simpati, atau sekadar menunjukkan kekuatan. Massa yang turun ke jalan, dengan segudang tuntutan, seringkali hanya menjadi batu loncatan dan bahan bakar bagi permainan kekuasaan segelintir orang.

Kedua, dan ini yang paling berbahaya, demonstrasi adalah pintu masuk provokasi asing. Sejarah membuktikan bahwa “revolusi warna” di berbagai negara seringkali didanai dan diarahkan oleh kekuatan asing untuk melemahkan kedaulatan suatu bangsa, mengacaukan stabilitasnya, dan akhirnya menjadikannya mudah dikontrol untuk kepentingan ekonomi dan geopolitik elit global. Indonesia, dengan kekayaan alam dan posisi strategisnya, adalah target empuk.

Tragedi seperti kematian Affan Kurniawan adalah collateral damage yang sangat mungkin diinginkan oleh para provokator untuk memanaskan situasi, memecah belah persatuan nasional, dan menggiring narasi bahwa Indonesia adalah negara yang tidak aman. Umat Islam, dengan jumlahnya yang besar dan emosinya yang mudah tersulut, seringkali menjadi alat yang efektif dalam skenario ini.

Jalan Keluar Islami: Dari Polusi Menuju Solusi

Lantas, apa alternatif yang ditawarkan Islam? Buku ini tidak hanya mengkritik tetapi juga menawarkan solusi yang kongkrit dan rabbani:

1. Islahun Nafs (Perbaikan Diri): Solusi dimulai dari individu. Meningkatkan ketakwaan, ilmu, dan ekonomi mandiri agar tidak mudah disuapi dan dihasut.

2. At-Ta’awun ‘alal Birri (Bekerja Sama dalam Kebaikan): Membangun kekuatan komunitas melalui gotong royong, membangun lembaga ekonomi syariah, dan sekolah-sekolah Islam yang melahirkan generasi yang cerdas dan berakhlak, bukan generasi demonstran.

3. An-Nashihah (Nasihat dengan Santun): Menyampaikan kritik dan koreksi kepada penguasa melalui jalur yang benar: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Ulama Indonesia (MUI), atau melalui tulisan ilmiah dan terbuka yang disampaikan dengan hikmah dan mau’izhah hasanah.

4. Ad-Du’a (Berdoa): Senjata paling ampuh seorang mukmin. Mendoakan kebaikan untuk pemimpin dan bangsa, bukan mencaci dan mengutuk. Rasulullah ﷺ selalu mendoakan kebaikan bagi pemimpinnya, bahkan di saat beliau dizalimi.

5. Ash-Shabr (Kesabaran): Bersabar atas kekurangan pemimpin dan kebijakannya sambil terus berikhtiar memperbaiki keadaan dengan cara yang benar.

Refleksi untuk Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun

Buku “Demonstrasi: Solusi atau Polusi?” adalah sebuah seruan untuk kembali pada khittah (garis) Islam. Ia mengajak kita untuk berpikir jernih di tengah hiruk-pikuk politik: apakah kita ingin menjadi bagian dari “polusi” yang merusak negeri sendiri, atau menjadi bagian dari “solusi” yang menyejukkan dan membangun?

Darah Affan Kurniawan dan para mahasiswa tidak boleh sia-sia. Kematian mereka harus menjadi cambuk untuk meninggalkan cara-cara lama yang destruktif dan beralih kepada metodologi Islam yang penuh hikmah, menjaga nyawa, harta, dan kehormatan, serta menjaga persatuan bangsa dari rongrongan para provokator yang menginginkan kehancuran kita.

Marilah kita jadikan Indonesia sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur (Negeri yang Baik dan Allah Rabb yang Mengampuni), bukan dengan teriakan di jalanan, tetapi dengan ilmu, amal shaleh, dan nasihat yang santun dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren, dari rumah ke rumah. Itulah jalan perubahan sejati yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad SAW.

Identitas Buku:

· Judul: Demonstrasi: Solusi atau Polusi?

· Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

· Penerbit: Media Dakwah Al-Furqon

· Tebal: 116 Halaman

· Tahun: 1442 H / 2020 M

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement