Langkah yang sering terasa gemetar
Tawakal bukan menyerah, tapi seni melepas kendali tanpa kehilangan arah. Sejak awal, Imam al-Ghazali dalam Kimiyaus Sa’adah mengingatkan bahwa hati yang bergantung hanya pada Allah akan menemukan tenang, meski langkahnya goyah.
Di dunia yang penuh target, rencana, dan deadline, tawakal sering disalahpahami. Ada yang mengira tawakal artinya berhenti berusaha, duduk menunggu keajaiban. Padahal, hakikat tawakal adalah bergerak dengan ikhtiar, lalu meletakkan hasilnya di tangan Allah.
Hati yang bergetar di persimpangan
Saya pernah mengalami hari di mana semua usaha rasanya gagal. Proposal ditolak, rencana runtuh, dan uang tabungan hampir habis. Malam itu saya duduk, gelisah, sambil berkata dalam hati:
“Ya Allah, aku sudah berusaha. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana.”
Dan anehnya, setelah doa itu, dada saya sedikit lebih lapang. Tidak ada solusi instan, tidak ada uang jatuh dari langit. Tapi ada rasa tenang yang sulit dijelaskan. Mungkin itulah hadiah pertama dari tawakal: hati yang tidak lagi merasa sendirian.
Firman yang menuntun langkah
Allah ﷻ berfirman:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ
“Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. At-Talaq: 3)
Kata hasbuh artinya “cukup”. Artinya, kalau kita benar-benar bersandar pada Allah, kita akan merasakan kecukupan, meski dunia berkata kita kekurangan.
Antara kontrol manusia dan takdir Tuhan
Kita terbiasa ingin mengontrol segalanya: nilai ujian, karier, pasangan, masa depan anak. Padahal hidup penuh variabel yang tidak bisa kita genggam. Tawakal adalah kemampuan menempatkan diri: berusaha semaksimalnya, lalu menerima kenyataan dengan lapang.
Seorang sahabat Nabi ﷺ pernah bertanya:
“Ya Rasulullah, apakah aku ikat untaku lalu bertawakal, atau aku lepaskan saja lalu bertawakal?”
Rasulullah ﷺ menjawab:
اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah (untamu) lalu bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini sederhana tapi tegas: usaha itu wajib, tawakal itu ruhnya. Tanpa ikhtiar, tawakal jadi malas. Tanpa tawakal, ikhtiar jadi angkuh.
Dunia yang penuh ilusi kendali
Fenomena modern memperlihatkan orang semakin cemas meski akses informasi makin luas. Laporan American Psychological Association (2022) menyebut kecemasan meningkat karena orang ingin mengontrol hal-hal di luar jangkauannya, seperti ekonomi global atau politik dunia.
Tawakal, dalam konteks ini, adalah obat mental. Ia mengajarkan: fokus pada lingkaran ikhtiar, serahkan sisanya pada Allah. Dengan begitu, energi tidak habis pada hal-hal yang mustahil kita kendalikan.
Renungan Singkat
Tawakal bukan berarti berhenti mendayung, melainkan sadar bahwa angin dan gelombang tetap milik Allah.
Dialog batin antara resah dan pasrah
Resah: “Bagaimana kalau gagal? Bagaimana kalau semua runtuh?”
Pasrah: “Kalau pun runtuh, Allah tetap ada. Bukankah Dia yang menegakkanmu sejak awal?”
Resah: “Tapi aku takut.”
Pasrah: “Takutlah, tapi tetap melangkah. Biarkan Allah yang menyempurnakan langkahmu.”
Menemukan arah dalam kehilangan kendali
Saya pernah bertemu seorang ibu penjual sayur. Ketika harga naik, ia tetap tersenyum. Saya bertanya, “Ibu nggak takut rugi?” Ia menjawab pelan, “Takut itu ada, Nak. Tapi kalau Allah sudah menulis rezekiku, rugi pun bisa jadi untung. Yang penting aku dagang jujur.”
Dari wajah ibu itu, saya melihat definisi tawakal yang nyata. Melepas kendali, tapi tidak kehilangan arah.
Langkah Praktis Merawat Tawakal
- Bedakan antara ikhtiar dan hasil – fokus pada usaha yang bisa dikerjakan, lepaskan hasil pada Allah.
- Perbanyak doa setelah ikhtiar – bukan untuk memaksa hasil, tapi untuk menenangkan hati.
- Latih keikhlasan pada hal kecil – misalnya saat macet atau antre panjang, uji kesabaran dan tawakal.
- Kurangi obsesi kontrol – batasi konsumsi berita/hal yang di luar kendali kita.
- Ingat pengalaman lalu – catat momen ketika Allah menolong dengan cara tak terduga.
Penutup: doa di persimpangan hidup
Ya Allah, ajari kami tawakal yang benar. Jangan biarkan kami malas, tapi juga jangan biarkan kami sombong. Tuntun kami agar bisa melepas kendali tanpa kehilangan arah, sebab kami tahu, pada akhirnya, arah sejati hanyalah menuju-Mu.
Mungkin kita tidak bisa mengontrol segalanya, tapi kita bisa memilih: apakah hidup ini akan dijalani dengan resah, atau dengan tawakal?
*Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
