Opinion
Beranda » Berita » Tanda-Tanda Orang Munafik Menurut Islam

Tanda-Tanda Orang Munafik Menurut Islam

Tanda-Tanda Orang Munafik Menurut Islam
Tanda-Tanda Orang Munafik Menurut Islam

SURAU.CO. Orang munafik adalah orang yang menampakkan keimanan atau kebaikan lahiriah, tetapi menyembunyikan kekufuran atau niat jahat dalam hatinya. Selanjutnya Ciri-ciri utama orang munafik, menurut hadis, adalah berdusta saat berbicara, mengingkari janji, dan berkhianat saat dipercaya. Dengan demikian, Kemunafikan merupakan penyakit hati yang berbahaya dan dapat menyebabkan fitnah, perpecahan, serta hilangnya kepercayaan dalam masyarakat.

Makna literal dari nafaqa adalah lubang atau terowongan, seperti lubang tikus. Dengan kata lain, seekor tikus keluar dari lubang tersembunyi; jika satu lubang ditutup, ia akan mencari lubang lain untuk melarikan diri. Selanjutnya, Mereka berpaling dari kebenaran dengan menampakkan sesuatu yang berbeda dari isi hati mereka. Dalam istilah agama, nifaq menunjukkan ketidaksesuaian antara hati (batin) dan ucapan atau tindakan (lahir). Selain itu, Orang munafik menutupi sifat aslinya dan memperlihatkan kebaikan, namun di dalam hatinya mereka kufur atau menyimpan niat buruk.

Selanjutnya, Kata “munafik” berasal dari bahasa Arab dari akar kata nafaqa (نَفَقَ) yang berarti lubang persembunyian atau tempat keluarnya tikus. Akar kata ini juga terkait dengan nifaq yang berarti menyembunyikan atau berpura-pura. Dengan demikian, Makna ini menggambarkan sifat orang munafik yang menampakkan sesuatu di luar (kebaikan) padahal di dalam hati menyembunyikan keburukan atau kekafiran.

Istilah “munafik” berasal dari bahasa Arab (منافق) dan merujuk pada orang yang berpura-pura mengikuti ajaran agama (dalam Islam), namun sebenarnya tidak mengakuinya dalam hati. Ada kontradiksi antara tampilan luar (iman dan kebaikan) dan batin (kekufuran dan niat buruk).

Ciri-Ciri Orang Munafik

Hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ciri-ciri orang munafik: 

  • Jika berbicara berdusta: (berbohong).
  • Jika berjanji, mengingkarinya .
  • Jika diberi amanat (dipercaya), ia berkhianat .

Bahaya Kemunafikan

Bahaya kemunafikan sangat merugikan diri sendiri dan masyarakat, karena mereka yang munafik menyembunyikan kebohongan dan niat buruk di balik tampilan kebaikan, sehingga dapat menimbulkan fitnah, perpecahan, ketidakpercayaan, serta konflik dan ketidakstabilan sosial. Ajaran agama Islam menganggap kemunafikan lebih berbahaya daripada kekafiran yang nyata karena Allah SWT menempatkan pelakunya lebih merusak dari dalam dan menakdirkan azab yang sangat pedih di akhirat.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Bahaya Kemunafikan bagi Diri Sendiri

Kemunafikan, sebagai penyakit hati, mendatangkan ketidaknyamanan dan ketentraman, serta membawa pada perilaku buruk.

Penyakit Hati:

Kemunafikan adalah penyakit hati yang akan memicu perilaku buruk lainnya, seperti berbohong, ingkar janji, dan berkhianat.

Kehilangan Kepercayaan:

Orang lain tidak mempercayai orang munafik karena mereka sering berkhianat.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Azab Pedih:

Dalam agama Islam, orang munafik akan ditempatkan pada tingkatan paling bawah neraka dan akan menerima azab yang pedih selamanya.

Bahaya Kemunafikan bagi Masyarakat

Orang munafik bisa menyebabkan fitnah, perpecahan, dan ketidakpercayaan, sehingga mengikis keharmonisan dan kestabilan sosial.

Merusak Tatanan Harmoni:

Niat dan tindakan yang tidak jujur dari orang munafik dapat merusak tatanan harmoni dalam masyarakat.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Menimbulkan Fitnah dan Perpecahan:

Mereka yang munafik dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di antara umat.

Menyebabkan Ketidakpercayaan:

Keberadaan orang munafik menciptakan ketidakpercayaan di dalam masyarakat.

Menghambat Kemajuan:

Mereka sering kali menjadi “musuh dalam selimut” yang mencari kelemahan umat untuk disampaikan kepada pihak lawan, menghambat kemajuan dan stabilitas.

Cara Menghindari Sifat Munafik

Memperbaiki Hati: Perbaiki hati dengan takwa kepada Allah dan perbanyak ibadah untuk menumbuhkan rasa takut dan cinta kepada-Nya.

Menjaga Amanah dan Janji: Memelihara amanah dan menepati janji adalah cara untuk menghindari sifat munafik.

Berdoa: Berdoa agar dijauhkan dari sifat munafik.

Berpegang Teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah: Jauhi sifat munafik dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Jaga Kejujuran: Berusahalah untuk menjadi pribadi yang jujur dan bertanggung jawab dalam perkataan dan perbuatan.

Penyebab Munafik

Penyebab kemunafikan meliputi kelemahan iman, rasa takut, keinginan kuat untuk diterima kelompok sosial, keuntungan pribadi, konflik nilai, serta pengaruh lingkungan yang mendukung kemunafikan. Seseorang dapat terjebak dalam kemunafikan karena tidak menyadari inkonsistensi antara ucapan dan tindakan mereka, dan hal ini dapat berkembang dari sifat nifaq kecil menjadi nifaq besar yang mengeluarkan seseorang dari agama.

Kelemahan Iman dan Keraguan:

Kurangnya pemahaman agama yang mendalam dan penghayatan spiritual dapat menyebabkan seseorang mudah terjebak dalam kemunafikan. Imannya lemah sehingga mudah tergoda menunjukkan sikap pura-pura beriman demi keuntungan duniawi.

Adanya keraguan kepada Tuhan dan menunda-nunda amal saleh juga menjadi pemicu.

Takut dan Khawatir:

Ketakutan akan konsekusi negatif dari keyakinan atau pendapat pribadi dapat mendorong seseorang menyembunyikan diri yang sebenarnya. Munafik dapat menyebabkan kerugian besar bagi diri sendiri dan orang lain, serta hidup yang tidak tenang.

Keinginan untuk Diterima dan Pengaruh Lingkungan:

Keinginan untuk diterima oleh kelompok sosial tertentu atau untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial dapat mendorong perilaku munafik.

Keuntungan Pribadi:

Mencari keuntungan materi, status, atau kekuasaan dapat menjadi motif seseorang bersikap munafik, dengan menampilkan citra palsu untuk mencapai tujuan. Kemunafikan, terutama kemunafikan besar yang terkait dengan hati, dianggap sebagai dosa yang tidak terampuni jika dibawa hingga kematian dan dapat menempatkan seseorang di lapisan terbawah neraka.

Konflik Nilai:

Bertentangan antara nilai-nilai yang dianut seseorang dengan keinginan atau kebutuhan pribadinya, dapat menyebabkan inkonsistensi dalam ucapan dan tindakannya.  Dorongan untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan, atau penerimaan sosial.

Ketidakmampuan Menyadari Diri:

Beberapa orang tidak menyadari bahwa mereka bersikap munafik karena kurangnya pemahaman diri atau ketidakmampuan melihat inkonsistensi dalam perilaku mereka. Sifat munafik dapat membuat seseorang jauh dari Allah dan mendapatkan dosa. Ada masalah di dalam hati, seperti keraguan, kekufuran, atau dorongan syahwat, yang menghalangi keimanan.

Surat al-Munafiqun (Ayat 1-4)

إِذَا جَآءَكَ ٱلْمُنَٰفِقُونَ قَالُوا۟ نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ

Arab-Latin: iżā jā`akal munāfiqụna qālụ nasy-hadu innaka larasụlullāh, wallāhu ya’lamu innaka larasụluh, wallāhu yasy-hadu innal-munāfiqīna lakāżibụn

Artinya: 1. Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.

ٱتَّخَذُوٓا۟ أَيْمَٰنَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا۟ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّهُمْ سَآءَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

ittakhażū aimānahum junnatan fa ṣaddụ ‘an sabīlillāh, innahum sā`a mā kānụ ya’malụn

  1. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ ءَامَنُوا۟ ثُمَّ كَفَرُوا۟ فَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

żālika bi`annahum āmanụ ṡumma kafarụ fa ṭubi’a ‘alā qulụbihim fa hum lā yafqahụn

  1. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.

۞ وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِن يَقُولُوا۟ تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ ٱلْعَدُوُّ فَٱحْذَرْهُمْ ۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

wa iżā ra`aitahum tu’jibuka ajsāmuhum, wa iy yaqụlụ tasma’ liqaulihim, ka`annahum khusyubum musannadah, yaḥsabụna kulla ṣaiḥatin ‘alaihim, humul-‘aduwwu faḥżar-hum, qātalahumullāhu annā yu`fakụn

  1. Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?

Selanjutnya Surat al-Munafiqun (Ayat 5-8)

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ يَسْتَغْفِرْ لَكُمْ رَسُولُ ٱللَّهِ لَوَّوْا۟ رُءُوسَهُمْ وَرَأَيْتَهُمْ يَصُدُّونَ وَهُم مُّسْتَكْبِرُونَ

wa iżā qīla lahum ta’ālau yastagfir lakum rasụlullāhi lawwau ru`ụsahum wa ra`aitahum yaṣuddụna wa hum mustakbirụn

  1. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri.

سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

sawā`un ‘alaihim astagfarta lahum am lam tastagfir lahum, lay yagfirallāhu lahum, innallāha lā yahdil-qaumal-fāsiqīn

  1. Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

هُمُ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنفِقُوا۟ عَلَىٰ مَنْ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ حَتَّىٰ يَنفَضُّوا۟ ۗ وَلِلَّهِ خَزَآئِنُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ لَا يَفْقَهُونَ

humullażīna yaqụlụna lā tunfiqụ ‘alā man ‘inda rasụlillāhi ḥattā yanfaḍḍụ, wa lillāhi khazā`inus-samāwāti wal-arḍi wa lākinnal-munāfiqīna lā yafqahụn

  1. Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)”. Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.

يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعْنَآ إِلَى ٱلْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ ٱلْأَعَزُّ مِنْهَا ٱلْأَذَلَّ ۚ وَلِلَّهِ ٱلْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

yaqụlụna la`ir raja’nā ilal-madīnati layukhrijannal-a’azzu min-hal-ażall, wa lillāhil-‘izzatu wa lirasụlihī wa lil-mu`minīna wa lākinnal-munāfiqīna lā ya’lamụn

  1. Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya”. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.

Selanjutnya Surat al-Munafiqun (Ayat 9-11)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَٰدُكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ

yā ayyuhallażīna āmanụ lā tul-hikum amwālukum wa lā aulādukum ‘an żikrillāh, wa may yaf’al żālika fa ulā`ika humul-khāsirụn

  1. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.

وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقْنَٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

wa anfiqụ mimmā razaqnākum ming qabli ay ya`tiya aḥadakumul-mautu fa yaqụla rabbi lau lā akhkhartanī ilā ajaling qarībin fa aṣṣaddaqa wa akum minaṣ-ṣāliḥīn

  1. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”

وَلَن يُؤَخِّرَ ٱللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَا ۚ وَٱللَّهُ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Arab-Latin: wa lay yu`akhkhirallāhu nafsan iżā jā`a ajaluhā, wallāhu khabīrum bimā ta’malụn

Artinya: 11. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.

(Budi: mengutip dari berbagai sumber)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement