Opinion
Beranda » Berita » Menjarah Barang Ketika Kerusuhan, Apa Hukumnya Dalam Islam?

Menjarah Barang Ketika Kerusuhan, Apa Hukumnya Dalam Islam?

Menjarah Barang Ketika Kerusuhan
Menjarah barang ketika kerusuhan, hukumnya dalam Islam adalah haram. Gambar ilustrasi : AI

SURAU.CO – Masih lekat dalam ingatan kita semua tentang aksi demonstrasi massa di Jakarta akhir Agustus kemarin. Sebagai imbas dari wafatnya seorang pekerja ojek online-Affan Kurniawan, akibat terlindas mobil polisi dalam demonstrasi di Pejompongan, sontak demonstrasi merebak menjadi kerusuhan pada hampir seluruh kota di Indonesia. Kerusuhan sering kali meninggalkan jejak yang menyedihkan. Bangunan terbakar, perusakan kendaraan, dan tidak jarang muncul aksi penjarahan. Fenomena menjarah barang saat kerusuhan ini sudah berkali-kali terjadi pada berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Momen kacau yang berupa hilangnya kontrol sosial, lemahnya aparat penegak hukum, serta ketakutan masyarakat, kerap termanfaatkan oleh sebagian orang untuk mengambil barang-barang dari toko, gudang, atau rumah orang lain tanpa izin. Nah, sebagai kaum Muslimin kita patut memahami. Menjarah barang ketika kerusuhan, apa hukumnya dalam Islam?

Bagaimana Islam memandang perbuatan tersebut? Apakah ada keringanan hukum karena kondisi kacau dan tidak terkendali? Ataukah tetap kategorinya sebagai pencurian dan perampasan yang haram? Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang hukum menjarah barang ketika kerusuhan menurut perspektif Islam, serta memberikan nasihat agar umat Muslim terhindar dari perbuatan tercela ini.

Pengertian Menjarah dalam Perspektif Sosial dan Syariat

Secara bahasa, menjarah berarti mengambil barang milik orang lain dengan cara paksa, tidak sah, dan biasanya dalam situasi kekacauan atau perang. Dalam konteks modern, istilah ini identik dengan penjarahan (looting), yaitu perampasan barang secara massal yang sering terjadi ketika masyarakat kehilangan kontrol, misalnya saat bencana, demonstrasi anarkis, atau kerusuhan.

Dalam hukum Islam, perbuatan menjarah bisa tergolong sebagai bagian dari hal-hal berikut:

  1. Sariqah (pencurian) – yaitu mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi.
  2. Ghasab (merampas) – yaitu mengambil barang dengan cara paksa dan terang-terangan.
  3. Hirabah (perampokan/teror di muka umum) – yaitu perampasan yang dilakukan dengan cara menimbulkan ketakutan dan kerusakan di tengah masyarakat.

Menjarah ketika kerusuhan, meskipun tidak selalu melibatkan senjata, biasanya masuk dalam kategori ghasab atau bahkan hirabah, karena melakukanya secara terang-terangan, menimbulkan ketakutan, serta merugikan banyak pihak.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Dalil Al-Qur’an tentang Larangan Merampas Harta Orang Lain

Al-Qur’an secara tegas melarang umat Islam memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 188)

Ayat ini menegaskan bahwa mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, termasuk menjarah, adalah perbuatan batil dan dosa besar.

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu merampas harta-harta orang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisa [4]: 29)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Kedua ayat ini menegaskan prinsip keadilan kepemilikan dalam Islam. Harta seseorang terlindungi oleh syariat, dan tidak boleh mengambilnya kecuali dengan cara yang halal, seperti jual-beli, hibah, atau warisan.

Hadis Nabi tentang Haramnya Mengambil Harta Orang Lain

Rasulullah SAW juga menegaskan dalam hadis-hadisnya bahwa mengambil hak orang lain tanpa izin adalah dosa besar.

Dari Abu Hurairah r.a., Nabi bersabda:

“Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
(HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa harta seorang Muslim adalah suci dan tidak boleh diganggu gugat, apalagi dijarah.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa mengambil hak orang lain (meskipun) sepotong kayu, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan memikulnya di atas pundaknya.”
(HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa sekecil apa pun perampasan harta orang lain akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Pandangan Ulama tentang Penjarahan

Para ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa penjarahan adalah bentuk perampasan yang haram secara mutlak. Tidak ada keringanan hanya karena kondisi kerusuhan. Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa ghasab (merampas) termasuk dosa besar karena mengandung unsur kezaliman yang nyata.

Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa orang yang mengambil kesempatan dalam kekacauan untuk mencuri atau merampas adalah sama dengan pencuri di waktu normal, bahkan lebih berat dosanya karena merusak tatanan masyarakat.

Sedangkan ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi juga menekankan bahwa penjarahan dalam kerusuhan termasuk hirabah jika melakukanya secara kolektif dan menimbulkan rasa takut, sehingga pelakunya bisa mendapat hukuman berat sesuai hukum Islam.

Hukum Menjarah dalam Kondisi Darurat

Sebagian orang mungkin beralasan bahwa penjarahan dilakukan karena darurat, misalnya saat bencana alam dan orang kelaparan. Dalam kondisi ini, hukum Islam membedakan:

  1. Darurat untuk bertahan hidup. Jika seseorang benar-benar terancam mati kelaparan, ia boleh mengambil makanan secukupnya untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, syaratnya ; hanya sebatas kebutuhan mendesak, harus mengembalikan atau mengganti ketika keadaan sudah normal, serta tidak boleh mengambil lebih dari yang diperlukan.
  2. Darurat karena kesempatan. Misalnya memanfaatkan kerusuhan untuk mengambil barang elektronik, pakaian, atau barang mewah. Hal ini tidak bisa dianggap darurat, karena tidak berkaitan dengan keselamatan jiwa. Oleh karena itu, hukumnya tetap haram.

Dengan demikian, alasan darurat tidak bisa dijadikan dalih untuk menjarah barang dalam kerusuhan, kecuali untuk kebutuhan vital yang menyelamatkan jiwa.

Sanksi Hukum Islam untuk Penjarah

Dalam hukum Islam, penjarah bisa menerima beberapa sanksi tergantung jenis dan tingkat kejahatannya:

  1. Hudud (hukuman tetap) – Jika penjarahan masuk kategori pencurian (sariqah), maka pelaku bisa terkena hukuman potong tangan sesuai syariat, dengan syarat-syarat tertentu.
  2. Ta’zir (hukuman sesuai kebijakan hakim) – Jika penjarahan tidak memenuhi syarat hudud, pelaku tetap bisa mendapat  hukuman ta’zir, seperti penjara, denda, atau cambuk.
  3. Hirabah (perampokan/teror) – Jika penjarahan terjadi secara massal, menimbulkan ketakutan, dan kerusakan besar, maka pelakunya termasuk dalam kategori hirabah yang hukumannya sangat berat, bahkan bisa sampai hukuman mati menurut sebagian ulama.

Menjaga Diri dari Godaan Menjarah

Sebagai Muslim, Islam menuntut kita untuk menjaga diri dari godaan menjarah, meskipun kondisi kacau. Ada beberapa cara:

  1. Menguatkan iman – Menyadari bahwa setiap harta orang lain adalah amanah dari Allah, sehingga mengambilnya adalah kezaliman.
  2. Ingat balasan akhirat – menjarah harta orang lain sekecil apa pun akan ada pertanggungjawaban di hadapan Allah.
  3. Menahan hawa nafsu – Kerusuhan sering memicu sifat rakus. Seorang Muslim harus melawan godaan itu dengan mengingat akibat buruknya.
  4. Mengutamakan sabar dan doa – Dalam kondisi kacau, sebaiknya umat Islam memperbanyak doa agar mendapat keselamatan dan jauh dari fitnah kerusuhan.

Kesimpulan

Menjarah barang ketika kerusuhan hukumnya haram dalam Islam. Tindakan ini tergolong sebagai perampasan (ghasab) bahkan bisa masuk kategori hirabah jika terjadi secara massal dan menimbulkan ketakutan. Dalil Al-Qur’an, hadis Nabi, serta pandangan para ulama menegaskan bahwa tidak boleh mengambil harta orang lain kecuali dengan cara yang halal.

Alasan darurat tidak bisa menjadi dalih, kecuali untuk menyelamatkan nyawa dan hanya sebatas kebutuhan vital. Penjarahan bukan hanya merusak moral individu, tetapi juga menghancurkan kepercayaan sosial dan perekonomian masyarakat.

Seorang Muslim hendaknya menjauhi perbuatan ini, menjaga diri dengan iman, serta mengutamakan kesabaran di tengah situasi kacau. Islam mengajarkan bahwa harta, darah, dan kehormatan setiap Muslim adalah suci. Oleh karena itu, mengambil barang orang lain ketika kerusuhan adalah dosa besar.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement