Khazanah
Beranda » Berita » Kesederhanaan dalam Keberlimpahan: Dinamika Kehidupan Sahabat Nabi Pada Masa Penaklukan

Kesederhanaan dalam Keberlimpahan: Dinamika Kehidupan Sahabat Nabi Pada Masa Penaklukan

Kesederhanaan dalam Keberlimpahan: Dinamika Kehidupan Sahabat Nabi Pada Masa Penaklukan
Ilustrasi AI (Sumber gambar:chatgpt.com)

SURAU.CO – Kekayaan besar yang telah para sahabat Rasulullah raih setelah penaklukan bangsa-bangsa besar menjadi bukti bahwa Islam tidak menolak kemakmuran. Namun, kekayaan itu tetap tidak mempengaruhi kesederhananaa hidup,  dan penggunaan harta untuk tujuan kebenaran.

Ketika fanatisme bangsa Arab bersatu dalam semangat Islam, mereka berhasil menaklukkan bangsa Persia dan Romawi.  Dengan keberhasilan dan penaklukan ini, mereka membangun kekuasaan dan memperbaiki kehidupan. Mereka pun hidup dalam kemakmuran dan kemewahan.

Kehidupan sosial ekonomi pasca kemenangan

Sampai-sampai menurut Ibnu Khaldun, ada seorang perwira berkuda memiliki ghanimah dari salah satu peperangan sebanyak tiga puluh ribu keping emas atau sekitar jumlah itu. Mereka berhasil menguasai harta benda yang tak terhitung jumlahnya.

Meski demikian, mereka masih menerapkan hidup yang keras dan disiplin. Lihatlah Umar bin Al-Khaththab yang menyulam sendiri pakaiannya dengan kulit. Melihat hal ini, maka Ali bin Abi Thalib berkata,

“Wahai emas, wahai perak, pergilah dan pikatlah selain diriku.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Abu Musa menghindari konsumsi ayam, karena masyarakat Arab tidak mengenalnya dan jarang ada ketika itu. Begitu juga dengan alat-alat penyaring yang ketika itu belum ada. Mereka mengonsumsi gandum beserta kulitnya. Meski demikian, penghasilan mereka lebih melimpah daripada bangsa  yang lain.

Kepemilikan harta para sahabat Nabi

Al-Mas‘udi mengatakan: “Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, para sahabat memperoleh tanah dan harta kekayaan. Ketika Utsman terbunuh, kas kerajaan memiliki simpanan sebesar seratus lima puluh ribu dinar, satu juta dirham, dan nilai jual tanah yang ia miliki di Wadi Al-Qura, Hunain, dan yang lain mencapai dua ratus ribu dinar. Ia meninggalkan beberapa ekor unta dan kuda.”

Harta peninggalan Az-Zubair setelah wafatnya mencapai lima puluh ribu dinar, seribu kuda, dan seribu budak perempuan. Penghasilan Thalhah dari Irak mencapai seribu dinar setiap harinya, dan dari As-Sarrah lebih dari itu.

Dalam kandang Abdurrahman bin Auf terdapat seribu ekor kuda, seribu ekor unta, ribuan ekor kambing, dan seperempat harta warisannya setelah ia meninggal dunia mencapai delapan puluh empat ribu dinar.

Zaid bin Tsabit meninggalkan harta pusaka berupa emas dan perak yang berbentuk kepingan. Terdapat aset tanah dan harta benda sebanyak seratus ribu dinar. Az-Zubair  membangun rumahnya yang ada di Al-Bashrah, Mesir, Kufah, dan Alexandria.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Thalhah membangun rumahnya di Kufah serta merenovasi rumahnya di Madinah yang menggunakan plester, batu bata, dan kayu berlapis. Sa‘ad bin Abi Waqqash membangun rumahnya dengan batu akik, meninggikan bangunan, serta memperluas halamannya. Pada bagian atasnya terpasang balustrade–elemen arsitektur dekoratif berupa pagar. Al-Miqdad juga membangun rumahnya menggunakan plester luar dan dalam.

Ali bin Munabbih mewariskan uang sebanyak lima puluh ribu dinar, tanah, dan lainnya yang nilainya mencapai tiga ratus ribu dirham.

Sahabat Nabi tidak membelanjakan harta secara berlebihan

Penghasilan dan harta sahabat Nabi bukanlah larangan dalam Islam. Sebab harta-harta tersebut halal karena ghanimah dan fai’. Lagi pula, mereka tidak membelanjakan harta tersebut secara berlebihan, tetapi untuk kebutuhan hidup mereka secara sederhana.

Menurut Ibnu Khaldun, pembelanjaan harta semacam ini tentulah bukan perbuatan tercela dan terlarang. Menumpuk-numpuk harta dan mengumpulkannya sebanyak-banyaknya menjadi tercela dan Allah larang karena terjadi pemborosan dalam pembelanjaannya. Namun, selama mereka tetap hidup sederhana dan pembelanjaannya mengarah pada jalan-jalan kebenaran dan sejenisnya, maka menumpuk harta yang demikian justru sangat membantu mereka dalam perjuangan untuk mencapai kebenaran dan mendapatkan rumah akhirat.

Penderitaan berganti dengan kekuasaan

Ketika kehidupan primitif serta penderitaan menghilang, lalu tergantikan dengan karakter kekuasaan. Puncaknya berupa kemenangan serta kekuasaan atas bangsa-bangsa lain, maka hukum kekuasaan yang mereka miliki sejalan dengan kemegahan dan kemewahan hidup yang mereka nikmati. Mereka tidak mempergunakan kekuasaan dan kekayaan tersebut untuk hura-hura dan kebatilan, dan tidak pula keluar dari tujuan-tujuan agama dan kebenaran.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Kondisi  para sahabat Rasulullah pasca kemenangan menunjukkan bahwa  kemewahan dan kekuasaan bukanlah alasan untuk hidup berlebihan. Justru dengan harta yang melimpah, mereka tetap memilih kesahajaan, disiplin, dan berada pada rel kebenaran. (St.Diyar)

Referensi: Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun.Muqaddimah Ibnu Khaldun, 2011


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement