Cahaya yang tertutup asap tipis
Riya bukan sekadar penyakit hati, ia adalah racun yang pelan-pelan menggerogoti amal. Dalam Kimiyaus Sa’adah, Imam al-Ghazali menyebut riya sebagai salah satu penyakit paling berbahaya, karena ia tidak hanya merusak ibadah, tapi juga menghapus pahala yang mestinya menjadi tiket ke surga.
Bayangkan, seumur hidup kita shalat, puasa, atau sedekah, tapi semua berubah menjadi debu hanya karena niatnya bercampur pandangan manusia. Itulah mengapa frasa kunci “riya penyakit yang mengubah surga jadi debu” bukan sekadar metafora, tapi peringatan.
Kisah kecil di tengah panggung
Saya pernah menyaksikan seorang teman tampil di acara pengajian. Suaranya indah, bacaan Qur’annya fasih. Namun setelah selesai, ia berbisik,
“Tadi gimana suaraku? Bagus nggak kayak qari Mesir?”
Sekilas tak ada salahnya. Tapi di situlah penyakit riya bersembunyi. Amal yang harusnya menuju Allah tiba-tiba minta tiket masuk panggung manusia.
Al-Qur’an menegur dengan tegas:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ، الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) mereka yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4–6)
Bahkan shalat bisa jadi celaka jika niatnya bukan Allah.
Bayang-bayang zaman layar
Fenomena riya hari ini kian subur. Orang berlomba menampilkan kebaikan di beranda media sosial. Ada yang sedekah, tapi harus terekam kamera. Ada yang menangis dalam doa, tapi tidak lupa memberi caption panjang.
Riset dari Psychology of Popular Media (2021) menunjukkan bahwa orang yang sering mengunggah aktivitas religiusnya di media sosial cenderung mengalami tekanan batin lebih besar, karena ada dorongan membangun citra spiritual. Artinya, sosial media memperbesar potensi riya tanpa kita sadari.
Dialog di persimpangan hati
Hati: “Aku ingin dekat dengan Allah.”
Nafsu: “Tapi jangan lupa kasih tahu orang-orang biar kamu dipuji.”
Amal: “Kalau begitu, aku tak jadi terbang ke langit. Aku berhenti di tepuk tangan.”
Itulah bahaya riya: amal terhenti di bumi, tak sempat naik ke langit.
Hadits yang menyingkap wajah samar
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad)
Riya dianggap syirik kecil karena ia mengalihkan ibadah yang seharusnya hanya untuk Allah, menjadi untuk manusia. Amal yang mestinya berharga di sisi Allah berubah jadi debu tak bernilai.
Renungan Singkat
Riya itu bukan sekadar pamer, tapi pemindahan arah cinta.
Dari Allah ke manusia. Dari surga ke debu.
Jejak halus yang sering kita abaikan
Kalau kita jujur, siapa di antara kita yang benar-benar bersih dari riya? Bukankah ada rasa senang saat nama kita disebut di forum masjid? Bukankah kita kadang menata doa agar terdengar indah?
Kita sulit mengenali riya, yang menurut Imam al-Ghazali lebih samar daripada langkah semut di atas batu hitam di malam gelap. Hal ini semakin sulit jika kita sibuk menilai orang lain daripada diri sendiri.
Langkah Praktis Membersihkan Hati dari Riya
- Periksa niat sebelum amal. Tanyakan dalam hati: “Untuk Allah atau untuk manusia?”
- Sembunyikan sebagian ibadah. Simpan doa, sedekah, atau amal yang hanya Allah yang tahu.
- Biasakan istighfar. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Aku beristighfar dari riya lebih sering daripada istighfarku dari dosa.”
- Lawan keinginan dipuji. Jika dipuji, kembalikan kepada Allah dengan ucapan: Alhamdulillah, itu semua karunia-Nya.
- Kecilkan diri di hadapan Allah. Sadar bahwa tanpa rahmat-Nya, semua amal hanyalah angka nol.
Surga yang bisa hilang di beranda
Ada orang berkata,
“Tapi bukankah kalau orang lain lihat amal kita, mereka bisa ikut termotivasi?”
Betul. Tetapi perbedaan halusnya ada pada niat. Jika benar untuk syiar, biarlah Allah yang tahu isi hati. Namun jika tujuan utamanya adalah “likes”, maka pahala bisa menguap.
Surga yang kita harap bisa berubah jadi debu digital. Amal besar bisa runtuh hanya karena niat kecil.
Hati yang tetap ingin tersembunyi
Riya bisa jadi cermin. Kalau kita masih sedih amal tidak dilihat manusia, mungkin kita belum yakin Allah Maha Melihat. Kalau kita masih kecewa tidak dipuji, berarti kita belum merasa cukup dengan pujian Allah.
Sains modern juga menunjukkan hal menarik: penelitian Journal of Happiness Studies (2017) menemukan bahwa orang yang ikhlas membantu tanpa pamrih mengalami tingkat kebahagiaan lebih tinggi daripada mereka yang menolong demi pengakuan sosial. Ternyata ikhlas bukan hanya soal pahala, tapi juga kesehatan batin.
Doa di penghujung jalan
Ya Allah, jauhkan kami dari riya yang merusak amal. Jadikan hati kami ikhlas, agar setiap sujud, setiap dzikir, setiap tetes air mata hanya Engkau yang tahu.
Bukankah lebih indah jika surga tetap utuh, daripada berubah jadi debu?
*Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
