SURAU.CO. Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung, populer dengan sebutan Masjid Datu Abulung, merupakan salah satu masjid tertua di Provinsi Kalimantan Selatan. Bangunan bersejarah ini terletak di Desa Sungai Batang, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah; ia adalah Saksi bisu perjalanan sejarah dan spiritual yang panjang di tanah Banjar. Kekayaan sejarahnya menjadikan Masjid Datu Abulung sebagai destinasi penting bagi peziarah dan penikmat sejarah.
Pembangunan masjid ini memiliki latar belakang yang mendalam. Konon, Sultan Tahmidullah II, Raja Banjar yang memerintah antara tahun 1761-1801, memerintahkan pembangunan masjid. Pembangunan ini menjadi bentuk penebusan dosa atas perintah eksekusi Datu Abulung. Datu Abulung adalah seorang ulama kharismatik yang sempat mendapatkan fitnah menyebarkan ajaran sesat pada masanya. Kisah tragis ini menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi Masjid Datu Abulung. Kini, masjid tersebut termasuk dalam daftar cagar budaya penting di Kabupaten Banjar.
Arsitektur Khas Banjar: Simbol Filosofi Mendalam
Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung berlokasi strategis di Jalan Martapura Lama, Desa Sungai Batang, Martapura Barat. Bangunan berusia ratusan tahun ini memiliki beberapa ruang utama. Ruang-ruang tersebut meliputi ruang salat utama, ruang pengimaman (mihrab), serta bagian serambi yang luas. Desain arsitektur masjid ini sangat khas. Ia mengusung bentuk atap tumpang tiga dengan satu hiasan kemuncak di puncaknya. Secara filosofis, bentuk atap ini merefleksikan ciri khas bangunan masjid kuno di Nusantara.
Struktur bangunan disangga oleh empat tiang soko guru yang kokoh. Selain itu, terdapat enam belas tiang penyangga lainnya. Tiang-tiang ini membuat ruang masjid terasa sangat luas dan mampu menampung banyak jamaah. Atap tumpang tiga juga sering konservasi mengandung filosofi Agama Islam. Tafsiran tersebut meliputi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Gaya arsitektur kuno seperti ini kini semakin langka. Ini menegaskan nilai historis dan filosofis yang sangat penting dari Masjid Datu Abulung.
Perjalanan Panjang
Sejarah Masjid Syekh Abdul Hamid Abulung penuh dengan liku-liku. Masjid ini berdiri di tepi jalan sibuk yang menghubungkan Martapura dan Banjarmasin dan berdiri pada tahun 1931. Ini merupakan perpindahan dari masjid sebelumnya yang terletak tak jauh dari makam yang ada di seberang sungai. Namun pengurus masjid, Jauhari, memberikan informasi yang berbeda. Ia menyebut bangunan masjid telah pindah hingga tiga kali.
Masjid ini khas dengan arsitektur Banjar yang unik. Dahulu, bangunan ini berbentuk rumah panggung. Namun, sisa-sisanya kini tak lagi terlihat. Lantai panggung telah berganti dengan lantai biasa. Dinding dinding keramik setinggi setengah meter kini mengisi bagian dasarnya. Meskipun demikian, dinding-dinding hingga plafon dan atap masih mempertahankan bahan aslinya. Kayu ulin nan tangguh mendominasi konstruksinya dengan sentuhan warna hijau yang menyejukkan.
Atap luar masjid juga terbuat dari lempeng-lempeng kayu ulin. Terakhir menjali rekonstruksi tahun 1983. Pada ruang mihrab, terdapat mimbar kuna berwarna-warni. Namun, sejarah mimbar ini kurang jelas. Tempat imam salat ini dirancang agak lapang. Bentuknya setengah persegi delapan yang membentuk separuh lingkaran. Dindingnya bermandikan cahaya, karena telah diganti delapan jendela seukuran pintu. Saat waktu salat zuhur tiba, imam berdiri memandu makmum yang tak sampai satu saf saja jumlahnya.
Penebusan Dosa
Pembangunan masjid ini diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah II. Ini merupakan bentuk penebusan dosa. Penebusan ini atas hukuman mati yang menimpa Syekh Abdul Hamid Abulung, atau Datu Abulung. Kisah tragis ini menjadi fondasi masjid spiritual. Menurut cerita turun-temurun, masjid ini awalnya terletak di seberang Sungai Abulung. Kemudian, ia dipindahkan ke lokasi sekarang di Desa Sungai Batang.
Pada awalnya, masjid ini mungkin hanya bernama Masjid Sungai Batang.
Namun seiring berjalannya waktu, ia lebih dikenal sebagai Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung. Hal ini terjadi karena banyaknya peziarah yang datang ke Makam Datu Abulung. Arsitektur khas masjid ini, dengan atap tumpang tiga, melambangkan tingkatan dalam Islam. Tingkatan tersebut meliputi syariah, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Masjid Datu Abulung tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah. Ia juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat penting. Masjid ini memberikan kontribusi besar bagi masyarakat Martapura Barat. Banyak peziarah yang datang ke Makam Datu Abulung. Mereka juga menyempatkan diri untuk beribadah di masjid ini. Hal ini menjadikan Masjid Datu Abulung sebagai pusat kegiatan keagamaan dan destinasi wisata religi yang bermakna.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
