SURAU.CO. Dalam sejarah bangsa mana pun, kemarahan rakyat yang meledak dalam bentuk demonstrasi besar-besaran tidak pernah muncul tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari kekecewaan, keputusasaan, dan ketimpangan yang telah lama terpendam. Ketika suara tidak lagi ada yang mendengar, ketika keadilan menjadi barang mewah, dan ketika penguasa sibuk dengan narasi tanpa aksi, maka jalanan menjadi tempat di mana rakyat akhirnya berbicara dengan bahasa yang keras, bahkan destruktif. Inilah yang sedang terjadi di negeri kita.
Serangkaian demonstrasi yang menyebar di berbagai wilayah kini telah menjelma menjadi krisis yang kompleks. Bukan hanya kerusakan fisik yang terlihat di depan mata, tetapi juga retaknya kepercayaan antara rakyat dan penguasa. Banyak gedung DPRD yang dibakar atau kantor polisi yang diserbu, hingga fasilitas umum lainnya. Api membara di mana-mana seantero nusantara. Amarah yang semula untuk memperjuangkan keadilan, kini menjadi bara yang melahap fasilitas umum dan simbol-simbol kekuasaan. Ini bukan lagi sekadar unjuk rasa, melainkan tanda dari kerusakan hubungan sosial-politik yang serius.
Demokrasi Kehilangan Makna: Musibah Sosial Sebagai Akibat dan Isyarat
Dalam paradigma sosial-politik, memahami musibah kolektif tidak bisa hanya sebagai peristiwa fisik semata, melainkan sebagai indikator kegagalan sistemik. Ketika suara rakyat tidak ada yang menanggapi, ketika mekanisme formal demokrasi mandek, dan ketika elite negara sibuk dengan citra diri ketimbang mendengar jeritan akar rumput, maka ledakan sosial menjadi keniscayaan.
Dalam negara demokrasi, menyampaikan pendapat di muka umum melalui demonstrasi adalah hak konstitusional. Namun ketika protes tidak mendapat tanggapan, sering kali anarkis menjadi solusi. Kerusuhan yang terjadi adalah musibah sosial bagi bangsa.
Demokrasi menjanjikan ruang untuk mendengar dan didengar. Namun, saat saluran-saluran itu tersumbat oleh arogansi politik, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan hukum, maka rakyat mencari jalan alternatif. Sayangnya jalan kekerasan seringkali menjadi pilihan. Ini adalah momen ketika demokrasi kehilangan ruhnya. Negara kehilangan legitimasi bukan karena kudeta, melainkan karena hilangnya kepercayaan publik.
Kita perlu memahami bersama bahwa tindakan anarkis bukanlah pilihan ideal rakyat. Ia adalah pilihan terakhir dari mereka yang merasa tidak lagi punya pilihan. Oleh karena itu, jangan hanya melihat tindakan rakyat yang marah, tetapi lebih dalam lagi: mengapa mereka bisa sampai pada titik itu?
Dalam Islam, Al-Qur’an menegaskan sebuah prinsip penting: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30).
Ayat ini menunjukkan bahwa musibah bukan semata hukuman, melainkan juga akibat logis dari tindakan manusia. Rakyat yang lepas kendali emosinya, serta penguasa yang lalai menjaga keadilan, sama-sama berkontribusi terhadap kehancuran yang terjadi. Maka musibah ini bukan hanya tragedi, melainkan teguran Tuhan agar kita semua merenung dan bertobat, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa.
Refleksi Mendalam Bagi Semua Pemangku Kepentingan
Pemerintah dalam hal ini eksekutif, legislatif dan yudikatif harus kembali refleksi diri atas semua yang terjadi. Kekacauan negeri adalah peringatan bagi semua pihak. Tidak hanya bagi rakyat atau pendemo saja, lebih lagi bagi pemangku kepentingan serta para ulama dan tokoh masyarakat.
Kebijakan bukanlah sekadar janji dan pidato, tetapi harus terwujud dalam tindakan nyata. Ketika rakyat antri bantuan dan harga kebutuhan pokok melonjak, maka respons negara harus cepat, tegas, dan tepat. Ketika rakyat terjepit dalam ekonomi akibat tingginya pajak, maka negara harus responsif mencarikan solusi. Negara harus hadir secara nyata, bukan hanya dalam simbol atau retorika.
Para wakil rakyat harus kembali ke jati dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Gedung parlemen bukan panggung hiburan, melainkan ruang pertanggungjawaban moral dan konstitusional. Bila rakyat menjerit kelaparan dan ketidakadilan, namun wakilnya justru berpesta, maka konflik adalah balasan logis dari pengkhianatan amanah.
Keadilan harus ditegakkan, meski terhadap mereka yang berkuasa. Bila hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka hukum bukan lagi instrumen keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Rasulullah ﷺ bersabda:”Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah karena apabila orang terhormat mencuri, mereka membiarkannya, dan jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya…” (HR. Bukhari-Muslim)
Demikian juga, tugas para pemuka agama bukan menjadi pendukung politik praktis, tetapi sebagai penjaga moral dan etika umat. Mereka harus menjadi penyejuk saat bara amarah membakar, bukan menambah api dengan ujaran kebencian. Islam mengajarkan adab dalam menyampaikan kritik, serta mengutamakan nasihat yang bijak (mau’izah hasanah) dalam amar ma’ruf nahi munkar.
Mengendalikan Diri
Secara psikologis, amarah adalah emosi yang sah dan manusiawi. Namun dalam Islam, emosi harus dikendalikan agar tidak melahirkan kerusakan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat. Sesungguhnya orang kuat adalah siapa yang dapat menahan dirinya saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika rakyat terbakar oleh amarah, dan elite terbakar oleh kesombongan, maka kehancuran adalah hasilnya. Maka bangsa ini harus menata kembali akhlak publik: belajar mengendalikan diri, bersabar dalam perjuangan, dan berani mengkritik dengan cara yang bermartabat.
Setiap orang harus mampu mengendalikan diri agar tidak berbuat berlebih-lebihan. Baik dalam mengekspresikan kemarahan ataupun mengekspresikan kesenangan. Dengan demikian, gesekan antara rakyat dan pejabat dapat diminimalisir.
Dari Retorika Menuju Aksi
Musibah ini seharusnya menjadi refleksi mendalam bahwa sudah waktunya bangsa ini berubah arah. Tidak cukup sekadar meminta rakyat bersabar, elite pun harus mengubah diri. Narasi berapi-api yang disampaikan dalam pidato di panggung-panggung megah itu, harus segera diwujudkan dalam aksi nyata.
Para pejabat, pemimpin negeri dan perwakilan rakyat harus kembali belajar memperbaiki komunikasi publik. Memilih diksi yang menyejukkan, agar tidak membakar luka. Pemimpin harus lebih berhati-hati dalam berbicara. Kata-kata adalah cermin empati. Jangan mempermainkan luka rakyat dengan ucapan yang menyakitkan.
Pendidikan moral harus menjadi prioritas. Tidak hanya bagi rakyat, tetapi juga bagi pejabat publik. Demonstrasi damai harus diajarkan sejak dini, bukan melalui kekerasan, tapi lewat dialog yang berisi. Agar kita bisa menyampaikan kritik dan protes yang jelas, serta terukur. Tokoh agama dan tokoh masyarakat juga harus mengambil peran untuk terus mendidik etika publik.
Tidak boleh lagi ada yang kebal hukum. Kepercayaan publik akan pulih jika hukum ditegakkan secara konsisten dan transparan. Menegakkan hukum secara adil bagi semua pihak, tidak pandang bulu.
Setiap kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak melalui pertimbangan rasa keadilan. Mengambil kebijakan berdasarkan data fakta kondisi masyarakat, bukan lagi berdasarkan angka statistik yang mengada-ada. Keadilan itu tidak hanya di atas kertas, tapi menyentuh pada rasa setiap rakyat Indonesia.
Momentum Tafakur Bangsa
Gelombang kemarahan yang terjadi saat ini adalah ujian besar, tetapi sekaligus peluang. Jika kita mampu menjadikannya sebagai titik balik, maka bangsa ini akan tumbuh lebih dewasa dan bermartabat. Setiap elemen bangsa belajar merendahkan ego, memperbaiki komunikasi, dan menegakkan keadilan. Namun jika kita abaikan, maka yang kita hadapi bukan hanya kemarahan rakyat, melainkan murka sejarah.
Mari kita kembali kepada nilai-nilai luhur: keadilan, empati, musyawarah, dan akhlak. Sebab negara bukan hanya dibangun dari hukum dan ekonomi, tetapi juga dari kepercayaan dan keadaban. Tanpa itu semua, kita bukan hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan jiwa sebagai bangsa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
