SURAU.CO – Demonstrasi besar seringkali menjadi puncak kekecewaan rakyat. Ketika rakyat merasa suaranya tidak lagi terdengar, mereka berkumpul di jalanan. Mereka menyuarakan tuntutan dengan harapan dapat mengubah kebijakan. Fenomena ini sejatinya adalah sebuah alarm keras. Alarm bagi para penguasa bahwa ada sesuatu yang salah dalam hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.
Gerakan massa seperti ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan buah dari tumpukan kekecewaan, kesulitan ekonomi, dan krisis kepercayaan. Rakyat merasa aspirasi mereka terabaikan dan saluran komunikasi formal terasa buntu. Akhirnya, jalanan menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa. Namun, sebagai seorang Muslim, kita perlu bertanya, bagaimana syariat Islam memandang cara penyampaian kritik semacam ini?
Realita di Lapangan: Puncak Kekecewaan Rakyat
Aksi turun ke jalan menunjukkan sebuah gejala sosial yang mendalam. Ia menandakan adanya persoalan mendasar yang belum pemerintah selesaikan. Ketika rakyat sudah berani menanggung risiko panas dan bentrokan, artinya kesabaran mereka telah mencapai batasnya. Tentu, ini adalah sinyal kuat yang tidak boleh penguasa remehkan.
Pengamat sosial, Mustofa B. Nahrawardaya, memberikan pandangan:
“Pemerintah perlu waspada dengan gerakan seperti ini. Ini adalah puncak gunung es dari kekecewaan rakyat. Jika tidak direspons dengan baik, bisa memicu gerakan yang lebih besar.”
Pandangan ini menyoroti sebuah realita. Protes adalah bentuk komunikasi terakhir ketika dialog terasa gagal. Ia adalah upaya rakyat untuk merebut kembali perhatian penguasa yang mereka anggap abai.
Syariat Memandang Protes Terbuka: Menimbang Mafsadat
Di sisi lain, syariat Islam menawarkan pandangan yang sangat hati-hati. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga stabilitas dan persatuan umat. Karena itu, para ulama secara umum tidak menganjurkan penolakan kepada penguasa secara terang-terangan di depan publik. Para ulama menganggap metode ini lebih banyak mendatangkan keburukan (mafsadat) daripada kebaikan (maslahat).
Sejarah membuktikan bahwa menasihati pemimpin dengan cara terbuka seringkali berujung pada kekacauan. Metode ini bisa memicu fitnah, pertumpahan darah, dan ketidakstabilan negara. Akibatnya, kondisi masyarakat justru bisa menjadi jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Rasulullah SAW memberikan petunjuk yang jelas dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, maka janganlah ia tampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya dan menyepi dengannya. Jika nasihatnya diterima, maka itulah (yang diharapkan). Jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad)
Jalan yang Dianjurkan: Nasihat Secara Tertutup
Oleh karena itu, hadits di atas menunjukkan kita jalan yang lebih bijaksana. Islam mengajarkan umatnya untuk menasihati pemimpin secara tertutup (sirr). Metode ini memiliki banyak hikmah. Pertama, ia menjaga kehormatan dan wibawa seorang pemimpin. Kedua, nasihat yang disampaikan secara personal lebih mungkin untuk pemimpin dengar dan terima. Ketiga, cara ini menutup pintu bagi para provokator yang ingin memanfaatkan situasi.
Menasihati secara tertutup bukan berarti diam terhadap kezaliman. Sebaliknya, ini adalah sebuah strategi efektif yang syariat ajarkan untuk melakukan perbaikan tanpa mengorbankan persatuan.
Menjembatani Realita dan Idealita
Lalu, bagaimana kita menjembatani kedua pandangan ini? Di satu sisi, ada realita rakyat yang merasa harus berteriak di jalanan. Di sisi lain, ada tuntunan syariat yang menganjurkan nasihat tertutup.
Jawabannya terletak pada introspeksi dua arah. Bagi rakyat, tuntunan syariat adalah pegangan utama. Carilah jalan-jalan nasihat yang paling minim mafsadatnya. Namun, yang lebih penting adalah introspeksi bagi penguasa. Munculnya demonstrasi besar adalah cermin bagi seorang pemimpin. Ia menjadi pertanda bahwa pintu nasihat secara tertutup mungkin telah tersumbat, atau nasihat yang masuk tidak lagi ia dengarkan.
Keadilan Adalah Kunci Stabilitas
Pada akhirnya, protes dan demonstrasi adalah sebuah gejala. Akar masalahnya seringkali adalah ketiadaan keadilan dan komunikasi yang baik. Islam menempatkan tanggung jawab terbesar pada pundak seorang pemimpin. Pemimpin wajib membuka telinganya lebar-lebar dan mudah diakses oleh rakyatnya. Ia juga wajib berlaku adil dalam setiap kebijakannya.
Jika seorang pemimpin adil dan mau mendengar, maka rakyat tidak akan punya alasan untuk turun ke jalan. Stabilitas akan terjaga bukan karena tekanan, melainkan karena adanya kepercayaan. Dengan demikian, suara-suara di jalanan itu bukanlah ancaman, melainkan pengingat bagi setiap penguasa akan besarnya amanah yang mereka emban di hadapan Allah SWT.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
