SURAU.CO – Setiap tahun, umat Islam di seluruh penjuru tanah air memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Di masjid, mushola, dan langgar, jamaah melantunkan shalawat dengan penuh khidmat. Di podium-podium, para penceramah mengingatkan jamaah tentang kemuliaan akhlak Nabi: kejujuran, kesederhanaan, kasih sayang, serta keadilan. Namun, jika dicermati lebih jauh, ada satu dimensi penting dari keteladanan Nabi yang sering luput dari perhatian: Nabi Muhammad bukan hanya teladan pribadi, melainkan juga seorang kepala negara yang menjalankan kepemimpinan politik. Ia membangun masyarakat Madinah dengan tata kelola politik yang adil, terbuka, dan berpihak kepada rakyat kecil.
Berbeda dengan teladan itu, demokrasi Indonesia hari ini justru menunjukkan ironi. Media sering memberitakan bahwa anggota DPR menerima gaji dan tunjangan hingga ratusan juta rupiah per bulan, bebas pajak, bahkan mendapat jaminan pensiun seumur hidup. Namun, banyak orang yang mempertanyakan kualitas legislasi yang mereka hasilkan. Banyak undang-undang yang lahir bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk melanggengkan hak istimewa elite politik atau kelompok tertentu yang memiliki modal besar.
Di sisi lain, eksekutif juga sering mengecewakan publik. Pemerintah menerbitkan kebijakan yang sering mengabaikan kepentingan rakyat. Harga kebutuhan pokok terus melambung, tarif pajak meningkat, tata kelola sumber daya alam lebih menguntungkan investor dibandingkan masyarakat sekitar, dan program perlindungan sosial sering kali hanya menjadi jargon. Rakyat pun merasa terpinggirkan, sementara para pemimpin politik menikmati kenyamanan dari kursi kekuasaan.
Padahal, jika kita meneladani Nabi Muhammad SAW, kita akan menemukan model kepemimpinan yang jauh berbeda. Nabi tidak pernah membangun istana megah untuk dirinya sendiri. Ia hidup di tengah umat, ikut merasakan derita, dan berbagi rasa dengan mereka. Rumahnya sederhana, pakaiannya biasa, dan hidupnya jauh dari fasilitas istimewa. Sebagai kepala negara, ia menolak menggunakan kekayaan negara untuk keluarganya. Nabi menempatkan kekuasaan sebagai amanah besar, bukan sebagai keistimewaan.
Kepemimpinan Situasional Nabi: Peka Pada Rakyat
Mirzal dan Ninglasari dalam penelitian berjudul Kepemimpinan Situasional dalam Islam: Analisis Model Kepemimpinan Nabi Muhammad (2021) menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW menerapkan kepemimpinan situasional. Beliau menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan kondisi sosial dan kemampuan umat, baik di Makkah maupun di Madinah. Nabi menggunakan prinsip tadarruj atau gradualitas: kebijakan yang disampaikan secara bertahap agar masyarakat mampu menerima kesiapan mental, spiritual, dan sosial.
Model kepemimpinan semacam ini justru sangat relevan dengan konteks demokrasi modern. Seorang pemimpin seharusnya membaca kondisi nyata rakyat, bukan memaksakan kebijakan tanpa mempertimbangkan daya tahan masyarakat. Namun, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya: kebijakan sering muncul tanpa memperhitungkan kemampuan masyarakat menanggung dampaknya. Kenaikan, tarif listrik, hingga harga BBM, misalnya, kerap ditetapkan secara sepihak dengan dalih pembangunan, padahal banyak rakyat masih berjuang sekadar untuk bertahan hidup.
Prinsip Amanah yang Ditinggalkan
Islam menempatkan amanah sebagai landasan kepemimpinan. Nabi menegaskan, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai tanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini menekankan bahwa jabatan merupakan tanggung jawab besar, bukan tiket untuk kesejahteraan pribadi.
Jika kita kaitkan dengan konteks DPR maupun pemerintah hari ini, para pejabat mestinya memahami bahwa mandat rakyat bukan ruang untuk menyejahterakan diri, melainkan sarana menyejahterakan masyarakat luas. Namun, banyak pejabat yang lebih mementingkan pengamanan kursi dan kepentingan pribadi daripada menunaikan tanggung jawab sebagai “penggembala rakyat.”
Hukum Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah
Nabi juga menunjukkan keberanian untuk menegakkan keadilan tanpa memandang bulu. Kisah masyhur menggambarkan hal itu ketika seorang perempuan bangsawan dari Bani Makhzum mencuri. Beberapa sahabat menasihati Nabi agar tidak menegakkan hukum karena status sosial perempuan tersebut. Namun, Nabi menolak dengan tegas usulan itu. Beliau berkata, “Seandainya Fatimah, putriku, mencuri, niscaya aku akan memotong tangan.” Pesan Nabi sangat jelas: hukum tidak boleh melayani kelas tertentu.
Sayangnya, praktik hukum di Indonesia masih sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Aparat bisa langsung memasukkan rakyat kecil ke penjara karena pelanggaran sepele, tetapi kasus korupsi triliunan rupiah sering berakhir dengan hukuman ringan, bahkan fasilitas istimewa di penjara. Ironi ini menegaskan bahwa hukum kita masih menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan.
Mustadh’afin sebagai Poros Perjuangan
Nabi Muhammad SAW juga selalu berpihak kepada kaum mustadh’afin, yaitu kelompok lemah dan tertindas. Beliau menjadikan buruh, petani, nelayan, dan masyarakat miskin sebagai poros perjuangan politik. Kehadiran Islam di Madinah justru menunjukkan keberpihakan Nabi kepada mereka yang terpinggirkan oleh struktur sosial saat itu.
Politik Indonesia hari ini justru memperlakukan rakyat kecil sebagai objek musiman. Para politisi menebar janji manis, membagikan sembako, dan mengumbar slogan populis ketika musim pemilu datang. Namun, setelah mereka duduk di kursi empuk, rakyat kembali terlupakan. Suara rakyat jarang benar-benar menjadi dasar kebijakan.
Musyawarah sebagai Basis Demokrasi
Keteladanan lain yang sering diabaikan adalah tradisi musyawarah. Meski berstatus Rasul, Nabi tidak pernah memonopoli kebenaran dalam urusan kenegaraan. Dalam Perang Uhud, beliau justru menerima pendapat mayoritas sahabat meskipun berbeda dengan pendapat. Nabi membuka ruang partisipasi, mendengar suara umat, dan memutuskan dengan penuh tanggung jawab.
Idealnya, DPR sebagai representasi rakyat harus menjadi arena suara rakyat. Namun, rapat-rapat legislatif justru lebih sering berubah menjadi panggung kepentingan politik praktis. Banyak anggota dewan sibuk membangun kekuasaan atau bahkan absen dari rapat penting, alih-alih mendengar dan memperjuangkan suara rakyat.
Maulid sebagai Momentum Refleksi
Momentum Maulid seharusnya kita jadikan ajang refleksi, bukan sekedar seremonial. Shalawat memang penting sebagai ungkapan cinta kepada Nabi, namun lebih dari itu, Maulid harus mengingatkan kita bahwa jabatan adalah amanah, bukan keistimewaan. Jika Nabi menolak menjadikan kepemimpinan sebagai ladang keuntungan, mengapa pejabat kita justru memelihara hak istimewa itu? Jika Nabi mengutamakan keadilan untuk rakyat kecil, mengapa banyak undang-undang justru berpihak pada pemilik modal?
Kita memang tidak bisa menuntut kesempurnaan dari pejabat. Namun, mereka setidaknya harus berusaha meneladani prinsip dasar Nabi: amanah, keadilan, musyawarah, kemudahan, dan akuntabilitas. Tanpa prinsip itu, peringatan Maulid hanya berhenti pada acara seremonial—shalawat menggema, konsumsi habis, pejabat berfoto, lalu kembali duduk nyaman di kursi empuk tanpa pernah bercermin pada teladan kepemimpinan agung.
Jika para pemimpin benar-benar menjadikan Nabi sebagai cermin, demokrasi kita tidak hanya berhenti pada prosedur pemilu. Demokrasi itu akan tumbuh menjadi demokrasi substantif—demokrasi yang berpihak pada rakyat kecil, adil dalam hukum, sederhana dalam gaya hidup pemimpin, dan amanah dalam setiap kebijakan. Inilah makna sejati Maulid Nabi yang seharusnya kita rayakan bersama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
