SURAU.CO – Kisah pembunuhan tragis Khalifah Ali bin Abi Thalib terjadi pada bulan Ramadhan, bulan yang mestinya umat jalani dengan penuh ibadah dan kedamaian. Namun, sejarah justru mencatat darah seorang khalifah suci tertumpah di bulan mulia tersebut.
Ali bin Abi Thalib bukan sekadar sahabat Nabi Muhammad ﷺ. Ia menantu Rasulullah, suami dari Sayyidah Fatimah, sekaligus khalifah keempat. Banyak orang yang mencintainya karena keberanian, kecerdasan, dan keteguhannya dalam menegakkan kebenaran. Namun, tidak sedikit pula yang memusuhinya karena persoalan politik dan perebutan kekuasaan.
Latar Belakang Kekuasaan yang Bergejolak
Setelah wafatnya Utsman bin Affan, umat Islam menghadapi guncangan besar. Pemberontakan, fitnah, dan pertentangan politik merajalela. Ali menerima amanah sebagai khalifah dalam suasana penuh gejolak. Ia harus menata pemerintahan, menghadapi lawan politik, sekaligus menjaga kesatuan umat.
Sayangnya, situasinya semakin rumit. Perang Jamal meletus karena perbedaan sikap antara Ali dengan Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Setelah itu, Ali juga menghadapi Perang Shiffin melawan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perang besar ini berakhir dengan tahkim (arbitrase), namun keputusan itu justru melahirkan kelompok baru: kaum Khawarij.
Khawarij menuduh Ali dan Muawiyah sama-sama bersalah karena menerima arbitrase manusia dalam persoalan agama. Mereka menilai hanya hukum Allah yang boleh berlaku, sehingga siapa pun yang menerima tahkim dianggap kafir. Dari kelompok inilah kemudian lahir niat jahat yang berakhir pada tragedi pembunuhan Ali.
Rencana Jahat Kaum Khawarij
Sejarah mencatat, sekelompok orang dari Khawarij berkumpul di Mekah. Mereka bersepakat untuk membunuh tiga tokoh besar sekaligus: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Mereka ingin mengakhiri perpecahan umat dengan cara keji: membunuh para pemimpin yang mereka anggap biang perpecahan.
Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij, mendapat tugas untuk membunuh Ali. Ia terkenal keras kepala dan penuh kebencian kepada khalifah. Ibnu Muljam berangkat ke Kufah, tempat Ali bermukim, sambil menyimpan niat busuk di hatinya.
Di Kufah, ia bertemu dengan seorang perempuan bernama Qutham. Perempuan ini menyimpan dendam kepada Ali karena keluarganya tewas dalam melawan pasukan khalifah. Ibnu Muljam jatuh hati padanya. Qutham bersedia menikah dengannya dengan satu syarat: Ibnu Muljam harus membunuh Ali. Syarat itu ia terima dengan penuh nafsu balas dendam.
Ibnu Muljam pun membeli pedang yang sangat tajam. Ia merendam pedang itu dalam racun selama berhari-hari agar setiap lukanya mematikan. Bersama dua rekannya, ia menyusun rencana pembunuhan di malam bulan Ramadhan.
Malam yang Mencekam
Malam itu, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Kaum muslimin bersiap melaksanakan shalat Subuh di Masjid Kufah. Khalifah Ali, seperti biasa, datang lebih awal. Ia membangunkan orang-orang agar segera ke masjid. Wajahnya bersinar dalam ketenangan ibadah.
Ketika Ali masuk ke dalam masjid dan berdiri untuk shalat, Ibnu Muljam sudah menunggu dengan pedang beracun di tangannya. Hatinya dipenuhi kebencian, matanya merah karena dendam. Ia bersembunyi sambil menunggu saat yang tepat.
Ali mengumandangkan takbir, memulai shalat Subuh bersama jamaah. Saat ia sujud, Ibnu Muljam melompat dan menghantamkan pedang racunnya ke kepala Ali dengan keras. segar langsung menetes darah sajadah. Masjid Kufah pun gempar. Jamaah berteriak, sebagian menangis, sebagian mengejar pembunuh itu.
Namun, luka itu terlalu dalam. Pedang beracun itu merobek kepala Ali dan membuatnya jatuh tersungkur. Dengan suara lirih, Ali berkata, “Fuztu wa rabbil Ka’bah.” (Demi Tuhan Ka’bah, aku telah menang). Ucapan itu menunjukkan bahwa ia melihat kematian sebagai kemenangan karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan Allah dan Rasul-Nya.
Saat-Saat Terakhir Sang Khalifah
Orang-orang segera menangkap Ibnu Muljam. Mereka juga ingin membunuh di tempat itu, tetapi Ali melarang. Dengan kelembutan hatinya, Ali tetap berkata, “Jangan bunuh dia sebelum aku benar-benar wafat. Jika aku hidup, aku akan memutuskan sendiri hukum untuknya. Jika aku mati, hukumlah dia dengan setimpal, jangan melampaui batas.”
Ucapannya itu membuat banyak orang terkejut. Dalam keadaan terluka parah, Ali tetap menunjukkan akhlak mulia dan menolak berlaku zalim.
Ali kemudian dibawa pulang ke rumahnya. Anak-anaknya, Hasan dan Husain, menangis melihat keadaan ayah mereka. Para sahabat datang silih berganti. Tabib mencoba mengobati, namun racun di pedang bin Muljam sudah menyebar ke seluruh tubuh.
Dua hari kemudian, tepat pada tanggal 21 Ramadhan, Khalifah Ali menghembuskan nafas terakhirnya. Umat Islam kehilangan seorang pemimpin besar, seorang sahabat utama Nabi, seorang mujahid sejati yang hidupnya penuh perjuangan.
Penghukuman terhadap Ibnu Muljam
Setelah Ali wafat, umat segera menjatuhkan hukuman kepada Abdurrahman Ibnu Muljam. Hasan bin Ali, sebagai putra tertua, mengambil alih urusan. Ia menegakkan hukum sesuai pesan ayahnya: membunuh pembunuh dengan cara yang setimpal, tidak lebih dan tidak kurang.
Orang-orang membawa Ibnu Muljam ke hadapan Hasan. Ia menerima hukuman mati. Ibnu Muljam menjalani ajalnya dengan pedang sebagai balasan dari pedang beracun yang ia ayunkan kepada Ali.
Dengan demikian, kisah keji itu berakhir. Namun luka yang ditinggalkan tetap membekas dalam sejarah umat Islam.
Ali dalam Kenangan Umat
Hingga kini, umat Islam mengenang Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu tokoh besar yang sangat mulia. Ia dikenal sebagai singa Allah, pahlawan di medan perang, ahli ilmu, dan manusia yang sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ.
Meski ia wafat dengan cara yang tragis, umat Islam tetap mencintainya. Kisah hidup dan wafatnya menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin menegakkan kebenaran tanpa rasa takut menghadapi tekanan.
Ali menunjukkan bagaimana seorang pemimpin sejati tetap menjunjung keadilan, bahkan di saat terluka parah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
