Berita
Beranda » Berita » Pawai Ancak Agung: Tradisi Maulid di Bondowoso

Pawai Ancak Agung: Tradisi Maulid di Bondowoso

Pawai Ancak Agung: Tradisi Maulid di Bondowoso
Foto Pawai Ancak Agung

SURAU.CO – Di berbagai daerah, bentuk peringatan Maulid hadir dengan corak yang beragam, dipengaruhi oleh budaya, adat, dan tradisi masyarakat setempat. Salah satu yang unik dan menarik muncul di Bondowoso, Jawa Timur, dengan Pawai Ancak Agung sebagai bagian dari peringatan Maulid.

Bondowoso, sebuah kabupaten yang dikenal sebagai “Kota Tape”, memiliki cara khas untuk merayakan kelahiran Nabi. Masyarakat tidak hanya menggelar pengajian dan melantunkan sholawat bersama, tetapi juga menyelenggarakan pawai budaya yang sarat makna keagamaan. Pawai Ancak Agung selalu menjadi pusat perhatian karena masyarakat memadukan nilai keagamaan, sosial, dan budaya dalam satu rangkaian acara.

Makna Maulid dalam Kehidupan Masyarakat Bondowoso

Masyarakat Bondowoso menjadikan Maulid Nabi sebagai momentum untuk bersilaturahmi. Dalam tradisi ini, mereka meyakini bahwa memperingati kelahiran Rasulullah ﷺ berarti mengungkapkan rasa syukur sekaligus mengingat teladan beliau. Selain itu, warga juga menjadikan peringatan Maulid sebagai sarana mempererat persaudaraan, memperkuat kebersamaan, dan menumbuhkan semangat berbagi.

Masyarakat mewujudkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui berbagai kegiatan seperti pengajian, pembacaan sholawat, dan doa bersama. Aadanya Pawai Ancak Agung membuat peringatan Maulid di Bondowoso terasa lebih istimewa karena tradisi ini memadukan unsur budaya lokal dengan nilai spiritual.

Pawai Ancak Agung: Warisan Budaya Bernuansa Religi

Masyarakat Bondowoso mengenal Pawai Ancak Agung sebagai salah satu tradisi khas saat memperingati Maulid Nabi. Kata ancak sendiri Merujuk pada wadah atau kegunaan yang dihias indah dengan berbagai hasil bumi, makanan, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Warga biasanya menata ancak dengan penuh kreativitas. Mereka menghiasinya dengan aneka buah, nasi tumpeng, lauk-pauk, jajanan tradisional, bahkan pakaian dan peralatan rumah tangga seperti panci, wajan, hingga peralatan dapur lainnya. Namun, daya tarik utama terletak pada cara masyarakat menghiasi ancak sedemikian rupa sehingga simbol kemakmuran dan kebersamaan benar-benar terlihat.

Setelah menghias ancak, warga mengaraknya dalam sebuah pawai besar. Mereka mengiringi arak-arakan dengan rebana, lantunan sholawat, serta yel-yel kebersamaan. Jalanan Bondowoso pun dipenuhi suasana meriah, penuh warna, dan tetap kental dengan nuansa religius.

Tradisi yang Menjaga Identitas Lokal

Masyarakat Bondowoso tidak menganggap tradisi maulid menjadi bagian dari identitas budaya lokal. Di tengah arus modernisasi, masyarakat tetap memegang erat nilai-nilai budaya sekaligus memadukannya dengan ajaran agama.

Jika menelusuri lebih dalam, inti tradisi Maulid di Bondowoso terletak pada semangat kebersamaan dan syiar Islam. Pawai Ancak Agung menjadi wadah bagi warga untuk mengingat kembali perjuangan Rasulullah ﷺ sekaligus mengajarkan arti penting kebersamaan.

Masyarakat dari berbagai kalangan—anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga lansia—ikut berpartisipasi. Mereka tidak mengenal sekat sosial, tetapi bahu membahu menyukseskan acara. Dengan demikian, tradisi ini menghadirkan wujud nyata ukhuwah Islamiyah yang menjadi landasan persaudaraan umat.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Merawat Tradisi, Menguatkan Iman

Dalam setiap langkah pawai, setiap irama sholawat, dan setiap doa yang warga panjatkan, terselip pesan bahwa cinta kepada Nabi ﷺ harus selalu hidup di hati umat Islam. Tradisi ini mengingatkan kita bahwa peringatan Maulid tidak sebatas seremoni, tetapi momentum untuk memperkuat iman, meneguhkan rasa syukur, dan mempererat silaturahmi.

Masyarakat Bondowoso juga menegaskan bahwa Islam dapat berjalan seiring dengan budaya lokal tanpa mengurangi esensi ajaran agama. Nilai religius dan budaya justru saling menguatkan sehingga menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, menjaga dan melestarikan tradisi ini bukan hanya berarti merawat budaya, tetapi juga memperkuat jati diri dan keimanan Masyarakat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement