SURAU.CO – Setiap tahun, umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati kelahiran Nabi Muhammad ﷺ dengan penuh suka cita. Umat Islam menyebut perayaan itu dengan Maulid Nabi. Mereka mengisinya dengan pembacaan shalawat, doa, kajian sirah Nabi, hingga sedekah. Namun banyak orang bertanya-tanya: apakah peringatan Maulid Nabi memang ada tutunannya dalam Islam? Bagaimana ulama memandangnya?
Artikel ini mengulas secara sederhana pandangan para ulama tentang Maulid Nabi, baik yang mendukung maupun yang mengkritisi. Dengan demikian, kita dapat memahami permasalahan ini secara lebih jernih.
Asal Usul Tradisi Maulid
Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah merayakan Maulid. Tradisi itu baru muncul beberapa abad kemudian, terutama pada masa Dinasti Fathimiyah di Mesir dan juga dikenal pada masa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi. Tujuannya sederhana. Umat Islam ingin menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah ﷺ dan memperkuat semangat keislaman dengan mengenang kisah hidup beliau.
Meskipun tidak ada riwayat langsung yang memerintahkan perayaan Maulid, semangat yang melandasinya adalah mengagungkan Nabi dan memperbanyak shalawat. Dari situ muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama yang Mendukung Maulid Nabi
Banyak ulama besar yang mendukung peringatan Maulid Nabi. Mereka menilai, jika umat Islam mengisi Maulid dengan kebaikan, maka perayaan itu hukumnya boleh bahkan dianjurkan.
- Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H)
Imam As-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi lil Fatawi menyebut Maulid sebagai bentuk bid’ah hasanah atau perkara baru yang baik. Beliau menegaskan, siapa pun yang merayakan Maulid dengan mengagungkan Nabi, membaca sirah, dan bersedekah telah melakukan hal terpuji. - Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H)
Ulama ahli hadis ini menjelaskan, peringatan Maulid bernilai baik ketika umat mengisinya dengan membaca Al-Qur’an, memberi makan orang miskin, atau bershalawat. Namun ia mengingatkan, jika umat mengisinya dengan perbuatan yang bertentangan dengan syariat, maka hal itu tidak boleh. - Imam Al-Sakhawi (w. 902 H)
Murid Ibnu Hajar ini dalam Subul al-Huda wa al-Rasyad menyebutkan bahwa Maulid adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak umat Islam, dan di dalamnya terdapat kebaikan berupa ekspresi cinta kepada Rasulullah ﷺ. - Syaikh Yusuf Al-Qaradawi (kontemporer)
Ulama kontemporer ini juga mendukung Maulid. Menurut beliau, Maulid memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menanamkan kembali nilai-nilai Islam dan memperkenalkan teladan Nabi kepada generasi muda.
Dari pandangan mereka, jelas bahwa banyak tokoh besar Islam yang mebolehkan perayaan Maulid, asalkan umat melaksanakannya sesuai syariat dan tidak berlebihan.
Ulama yang Mengkritisi Maulid Nabi
Disisi lain, ada juga ulama yang tidak sepakat dengan perayaan Maulid Nabi. Mereka berpandangan bahwa Maulid termasuk amalan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, sahabat, maupun generasi awal Islam.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
Dalam Iqtida’ Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah mengajarkan perayaan Maulid. Namun ia juga menambahkan, orang yang merayakan Maulid dengan niat mencintai Nabi tetap bisa memperoleh pahala karena niatnya, Namun, perayaan itu sendiri tidak disyariatkan. - Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H)
Tokoh pembaharu di Jazirah Arab ini dengan tegas melarang Maulid. Ia menilai Maulid sebagai bid’ah yang bisa menjerumuskan umat ke dalam praktik-praktik yang tidak ada dalilnya. - Sebagian ulama Salafi kontemporer
Ulama Salafi kontemporer mengkritisi Maulid karena khawatir umat akan berlebihan dalam mengagungkan Nabi hingga mendekati syirik. Mereka menekankan bahwa cara terbaik untuk menyelamatkan Rasulullah ﷺ adalah dengan mengikuti sunnah beliau, bukan dengan membuat perayaan-perayaan baru.
Titik Temu: Niat dan Isi Perayaan
Jika kita cermati, perbedaan ulama lebih banyak terletak pada cara mereka memandang Maulid. Ulama yang mendukung penekanan aspek niat dan isi perayaan. Selama umat menjadikan Maulid sebagai sarana kebaikan, mereka berpikir boleh. Sedangkan ulama yang menolak lebih banyak menekankan pada ketiadaan contoh dari Rasulullah ﷺ dan kekhawatiran munculnya penyimpangan.
Dengan demikian kita bisa menarik titik temu:
- Niat – Ketika umat meniatkan Maulid untuk menumbuhkan cinta kepada Rasulullah ﷺ dan memperbanyak amal saleh, maka niat itu bernilai baik.
- Isi perayaan – Ketika umat mengisi Maulid dengan kegiatan bermanfaat, seperti kajian sirah Nabi, membaca shalawat, sedekah, dan menolong sesama, maka perayaan itu sejalan dengan semangat Islam. Namun, ketika umat mengisinya dengan berlebihan, pamer, atau maksiat, maka perayaan itu menjadi terlarang.
Sikap Bijak dalam Menyikapi Perbedaan
Perbedaan pandangan ulama tentang Maulid Nabi menunjukkan kekayaan ijtihad dalam Islam. Oleh karena itu, sebagai umat, kita perlu mengambil tindakan yang bijak.
Pertama, kita jangan mudah menyalahkan atau menghakimi orang lain hanya karena pandangan berbeda. Kedua, kita harus memastikan bahwa perayaan Maulid tetap berjalan sesuai syariat dan jauh dari sikap yang berlebihan. Ketiga, kita perlu menjadikan Maulid sebagai sarana memperkuat cinta kepada Rasulullah ﷺ, bukan sebagai pemicu perpecahan.
Ulama memandang Maulid Nabi dengan cara yang berbeda. Sebagian mendukungnya sebagai bid’ah hasanah, sementara yang lain menolaknya karena tidak memiliki tuntunan langsung. Namun keduanya sepakat bahwa setiap Muslim wajib mencintai Rasulullah ﷺ.
Pada akhirnya, peringatan Maulid Nabi bukan hanya soal boleh atau tidaknya. Peringatan ini lebih kepada bagaimana kita meneladani Rasulullah ﷺ dalam kehidupani. Selama umat mengisi Maulid dengan kebaikan, perayaan itu bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus menumbuhkan cinta kepada Nabi-Nya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
