Opinion
Beranda » Berita » Islam Melihat Fenomena “Ordal” yang Merusak Keadilan

Islam Melihat Fenomena “Ordal” yang Merusak Keadilan

Fenomena ordal dalam dunia kerja
Ilustrasi proses seleksi profesional dalam dunia kerja. Foto:Meta AI

SURAU.CO. Kekinian, tantangan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin terasa berat. Persaingan yang ketat, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, serta jumlah pencari kerja yang terus bertambah menjadikan peluang pekerjaan semakin terbatas. Namun, yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa proses rekrutmen kerja kerap tidak berjalan secara adil. Banyak individu merasa kalah bukan karena kurangnya kemampuan atau kualifikasi, melainkan karena praktik orang dalam, yang lebih populer dengan istilah ordal.

Fenomena ordal ini bukanlah hal baru. Dalam Debat Capres 2024, Anies Baswedan dengan tegas menyuarakan keresahan ini. Ia menyatakan, “Fenomena ordal ini menyebalkan, di seluruh Indonesia kita menghadapi fenomena ordal. Mau ikut kesebelasan ada ordalnya, mau jadi guru ordal, mau masuk sekolah ada ordal, mau dapat tiket konser ada ordal.” Pernyataan ini menunjukkan betapa dalam dan meluasnya masalah ordal di berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Istilah ordal merupakan singkatan dari “orang dalam”, yang merujuk pada praktik di mana seseorang memperoleh suatu posisi, jabatan, atau fasilitas tertentu bukan karena kualitas dan kemampuannya, melainkan karena hubungan pribadi, kedekatan dengan pejabat tertentu, atau intervensi dari pihak internal lembaga. Banyak orang menganggap praktik ini tidak adil dan dapat merusak moral serta produktivitas karena mengesampingkan prinsip kesetaraan. Perilaku ini sejatinya merupakan bentuk nepotisme atau kolusi yang menodai prinsip meritokrasi.

Dampak Buruk Ordal terhadap Dunia Kerja dan Masyarakat

Masalah dari ordal tidak hanya terletak pada ketidakadilannya, tapi juga pada dampaknya terhadap moralitas dan kinerja suatu lembaga. Ketika orang yang tidak layak mendapatkan posisi penting, maka risiko terjadinya ketidakprofesionalan dan penurunan kualitas kerja menjadi sangat tinggi. Hal ini juga memicu rasa kecemburuan sosial bagi mereka yang sudah berusaha keras mengikuti prosedur secara benar namun tetap gagal karena kalah oleh ‘jalur ordal’.

Praktik ordal mengikis kepercayaan publik terhadap sistem seleksi dan integritas institusi. Ketika seseorang melihat bahwa kemampuan dan usaha tidak cukup untuk meraih pekerjaan impian, semangat dan motivasi mereka bisa hilang. Akibatnya, muncul budaya pesimis dan apatis dalam masyarakat, terutama generasi muda.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Selain itu, ordal menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi. Mereka yang tidak memiliki akses ke “orang dalam” otomatis tersisih, meskipun memiliki kapabilitas yang jauh lebih baik. Akhirnya, mereka yang tidak siap secara keilmuan dan keterampilan memenuhi dunia kerja, sehingga memperlambat produktivitas dan kemajuan bangsa.

Perspektif Islam Terhadap Ordal dan Suap

Dalam Islam, segala bentuk suap menyuap (dalam bahasa Arab, risywah) merupakan tindakan tercela yang merusak tatanan masyarakat. Menyuap untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi jabatan penting dalam pelayanan publik, adalah perbuatan haram. Rasulullah SAW bahkan melaknat tiga pihak dalam praktik suap: pemberi, penerima, dan perantara. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam menolak tindakan tersebut.

“Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya.” (HR Ahmad).

Allah sangat tegas melarang manusia saling memakan harta dengan cara yang haram. “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan melakukan) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 188).

Para ulama menetapkan beberapa kriteria yang menjadikan suatu tindakan tergolong sebagai suap:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

1. Adanya kesepakatan atau persyaratan dari pihak penerima, bahwa jika ia diberi hadiah atau imbalan, maka ia akan memenuhi keinginan pemberi.

2. Hadiah itu diberikan dengan tujuan tertentu, yaitu agar keinginan si pemberi dapat dipenuhi. Misalnya, agar ia diterima kerja meski tidak memenuhi kriteria.

3. Tindakan itu melanggar aturan yang berlaku di lembaga tersebut, walaupun hadiah tidak secara eksplisit dijanjikan sebelumnya.

Jika salah satu atau lebih dari tiga syarat ini terpenuhi, maka perbuatan tersebut termasuk suap. Dan siapa pun yang mendapatkan pekerjaan bukan karena kemampuannya, tapi karena intervensi orang dalam, maka ia mendapatkan pekerjaan dengan suap. Tindakan ini telah ikut serta dalam menghancurkan sistem yang adil dan profesional.

Praktik suap tidak hanya menimbulkan dosa besar, tetapi juga merusak sistem sosial dan rasa keadilan. Orang yang mendapatkan pekerjaan dengan cara menyuap biasanya tidak memegang amanah pekerjaannya dengan baik. Ini bisa menyebabkan pelayanan publik yang buruk, proyek-proyek yang mangkrak, dan birokrasi yang tidak efektif.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Apakah Semua Bantuan “Orang Dalam” Dilarang?

Penting untuk membedakan antara bantuan teknis dan bantuan manipulatif. Jika seseorang dibantu oleh “orang dalam” untuk mendapatkan informasi tentang lowongan kerja, alur seleksi atau tips menghadapi wawancara, maka ini termasuk bagian dari tolong-menolong dalam kebaikan. Islam justru mendorong sikap saling membantu yang tidak melanggar norma dan hukum. Firman Allah: “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).

Bantuan semacam ini umumnya dianggap wajar dalam kebiasaan masyarakat (urf) dan tidak termasuk dalam kategori suap (risywah), karena tidak ada manipulasi hasil, tekanan, atau pelanggaran prosedur yang terjadi.

Namun, jika bantuan tersebut sampai pada tahap mengintervensi keputusan seleksi, apalagi dengan memberikan tekanan, uang, atau intervensi jabatan untuk memengaruhi hasil, maka itu termasuk dalam kategori suap. Baik dilakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, praktik ini tetap dilarang.

Lebih jauh lagi, ada juga kasus di mana orang dalam memanfaatkan jabatannya untuk “mengatur” agar kerabat atau kenalannya bisa diterima, padahal tidak memenuhi kriteria atau bahkan tanpa melalui proses seleksi profesional. Walaupun tidak ada uang yang berpindah tangan, perintah langsung untuk meloloskan seseorang tanpa tes yang profesional tergolong bentuk suap nonmateri.

Dalam Islam, semua jenis suap, baik berupa uang maupun bentuk kekuasaan atau pengaruh, sama-sama dilarang jika tujuannya untuk meraih sesuatu yang seharusnya hanya didapat lewat cara yang sah. Islam melarang keras tindakan ini karena telah mencederai keadilan dan merampas hak orang lain yang seharusnya lebih berhak mendapatkan posisi tersebut.

Halalkah Gaji dari Pekerjaan yang Didapat Melalui Suap?

Para ulama membedakan hukum gaji dari pekerjaan yang diperoleh lewat suap berdasarkan dua kondisi penting:

1. Haram

Jika seseorang tidak memiliki kompetensi, maka gajinya haram. Ia telah menempati posisi yang bukan haknya, dan keberadaannya bisa mencelakakan orang lain. Karena itu, wajib baginya untuk bertaubat dan segera mengundurkan diri. Pekerjaan adalah amanah, dan Allah memerintahkan agar amanah diserahkan kepada ahlinya.

Allah Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerima .” (QS. An-Nisa: 58).

2. Halal

Jika seseorang sebenarnya kompeten dan memiliki kualifikasi, maka gajinya halal. Tetapi ia wajib bertaubat karena telah menyuap. Dalam hal ini, meskipun proses masuknya salah, selama ia mampu menjalankan tugasnya dengan profesional dan pekerjaan tersebut halal, maka gajinya dianggap sah secara syar’i. Namun, tetap saja tanpa mengabaikan dosa menyuap dan ia harus menebusnya dengan taubat, zakat, dan amal kebaikan lainnya.

Dasar dari pendapat ini adalah hadis Rasulullah SAW,”Kaum muslimin [bertindak] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa gajinya halal apabila dia adalah seorang yang kompeten dan ahli, namun dia harus bertaubat dari perbuatan menyogok. “Tidak mengapa (gajinya halal) “insyaallah” dan wajib dia bertaubat karena telah melakukan sogok. Hal ini jika ia mampu (kompeten) melakukan pekerjaan tersebut sebagaimana mestinya. Tidak mengapa dia dari sisi pekerjaannya (gajinya), akan tetapi dia telah salah dalam perbuatan sogok sebelumnya dan wajib dia bertaubat kepada Allah.” [Majmu’ Fatawa 19/31]

Hendaknya ia benar-benar memperhatikan zakat hartanya untuk membersihkan hartanya. Dan hendaknya banyak bersedekah juga dari gajinya tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka” (QS. At-Taubah: 103)

Jalan Berkah Selalu Lebih Baik dari Jalan Pintas

Di tengah realitas yang sulit, banyak orang tergoda mencari jalan pintas. Namun, penting bagi kita untuk tetap berpegang pada prinsip dan etika. Islam menekankan pentingnya kompetensi, integritas, dan keadilan. Ketika seseorang meraih sesuatu dengan cara yang benar, maka keberkahan dan ketenangan akan mengikuti. Sebaliknya, memperoleh pekerjaan melalui cara curang bisa menjadi sumber kegelisahan, dosa, dan penyesalan di kemudian hari.

Fenomena ordal, suap, dan kolusi memang menjadi masalah serius dalam masyarakat kita. Namun, sebagai individu yang beriman dan berakhlak, kita harus mampu menjadi bagian dari solusi. Jangan biarkan mentalitas instan merusak sistem dan masa depan. Marilah kita bangun budaya kerja yang adil, terbuka, dan berdasarkan kompetensi.

Setiap usaha yang jujur, sekecil apapun, akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Maka jangan lelah berjuang dengan cara yang benar. Karena sesungguhnya, rezeki yang halal dan penuh berkah selalu lebih bernilai daripada jabatan tinggi yang mendapatkannya dengan cara yang kotor.

Wallahu a’lam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement