Mengapa Kita Hadir?: Memahami Alasan Hakiki Keberadaan di Dunia
SURAU.CO – Manusia seringkali bertanya-tanya tentang keberadaan dirinya. Lalu, pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: “Mengapa aku ada di dunia ini?” atau “Untuk apa aku hidup?” kerap muncul. Pertanyaan-pertanyaan fundamental ini. Semuanya terjawab dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an. Allah menciptakan manusia bukan tanpa tujuan yang pasti. Melainkan, manusia diciptakan untuk menjadi hamba-Nya. Lalu, manusia juga diciptakan untuk menjadi saksi. Saksi atas keesaan-Nya yang mutlak. Maka dari itu, inilah esensi dari keberadaan kita.
Sebagai seorang penulis, saya seringkali terkesima. Terkesima dengan kejelasan tujuan ini. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan dunia. Kita sering lupa akan misi utama kita. Kita sibuk mengejar fatamorgana. Fatamorgana duniawi yang sesaat. Padahal, petunjuk telah diberikan. Petunjuk itu begitu terang dan nyata. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama. Kita merenungkan kembali hakikat ini. Kita menguatkan niat. Niat untuk senantiasa kembali. Kembali pada tujuan penciptaan kita. Kemudian, tujuan yang luhur dan abadi.
Tujuan Kehidupan yang Hakiki: Mengabdi dan Mengesakan Allah
Allah SWT secara tegas berfirman dalam Kitab Suci-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ayat ini adalah pondasi utama. Ayat ini menegaskan bahwa alasan utama. Alasan utama keberadaan manusia di dunia. Yaitu untuk mengesakan Allah. Lebih dari itu, yang utama adalah untuk menyembah-Nya. Serta, untuk mengakui dengan sepenuh hati. Mengakui bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, selain Allah. Segala aktivitas hidup yang kita jalani. Baik itu belajar dengan tekun. Bekerja mencari nafkah halal. Bahkan, waktu istirahat sekalipun. Semua itu dapat bernilai ibadah yang tinggi. Maka pada akhirnya jika diniatkan. Diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah.
Ini berarti, setiap gerak dan diam kita. Setiap pikiran dan perasaan kita. Semuanya memiliki potensi. Potensi untuk menjadi bagian dari ibadah. Apabila kita menyandarkannya kepada Allah. Penulis meyakini bahwa pemahaman ini. Pemahaman ini akan mengubah cara pandang kita. Mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Tidak ada lagi hal yang sia-sia. Tidak ada lagi yang tanpa makna. Selama semua itu kita niatkan. Maka, kita niatkan untuk-Nya.
Janji Primordial: Menjadi Saksi Atas Tauhid Sejak Awal
Dalam Al-Qur’an, tepatnya QS. Al-A’raf: 172. Allah mengingatkan kita. Mengingatkan tentang perjanjian primordial. Perjanjian itu terjadi di alam arwah. Ketika seluruh jiwa manusia bersaksi. Bersaksi di hadapan-Nya. Allah bertanya:
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
Ayat ini adalah pengingat yang sangat kuat. Jauh sebelum kita lahir ke dunia ini. Ruh manusia telah lebih dahulu. Telah mengakui keesaan Allah. Maka, kehadiran kita di dunia fana ini. Itu hanyalah kelanjutan dari janji itu. Kita ditugaskan untuk menjalani hidup. Menjalani hidup dengan tetap menjadi saksi tauhid. Lalu, mengabdi sepenuhnya kepada-Nya. Dan yang terpenting, tidak menyekutukan-Nya. Tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Ini adalah sebuah amanah besar. Amanah yang harus kita pikul.
Refleksi atas ayat ini sungguh menggugah. Menggugah kesadaran kita. Kita bukanlah makhluk tanpa arah. Lebih dari itu, kita memiliki misi yang jelas. Misi untuk mempertahankan ikrar. Ikrar yang telah kita ucapkan dahulu kala. Dengan demikian, setiap pilihan hidup kita. Setiap keputusan yang kita ambil, seharusnya mencerminkan komitmen ini. Lalu, komitmen terhadap perjanjian primordial.
Kesaksian yang Terwujud dalam Amal: Bukan Sekadar Ucapan
Menjadi saksi keesaan Allah. Bukanlah sekadar diucapkan dengan lisan. Bukan hanya melalui kalimat syahadat. Melainkan, kesaksian itu harus dibuktikan. Dibuktikan dengan amal perbuatan kita. Menjaga shalat lima waktu. Menjauhi segala bentuk maksiat. Menebar kebaikan kepada sesama. Dan menegakkan keadilan di muka bumi. Semua itu adalah bentuk nyata. Bentuk nyata dari pengakuan kita. Pengakuan terhadap Allah Yang Maha Esa. Inilah wujud implementasi tauhid.
Rasulullah SAW, sang teladan, bersabda:
“Barang siapa mengucapkan ‘La ilaha illallah’ dengan ikhlas, maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari).
Hadis ini memberikan harapan besar. Harapan bagi setiap muslim. Namun, ikhlas dalam syahadat. Bukan hanya sekadar ucapan belaka. Ikhlas membutuhkan pembuktian. Pembuktian dalam seluruh aspek kehidupan kita. Artinya, keyakinan akan keesaan Allah. Harus meresap ke dalam hati. Lalu, terefleksi dalam setiap tindakan. Setiap perilaku sehari-hari.
Pada akhirnya, kehadiran kita di dunia ini. Itu bukanlah sebuah kebetulan. Apalagi tanpa tujuan yang jelas. Satu-satunya alasan kita hidup. Yaitu untuk menjadi saksi. Saksi atas keesaan Allah. Kemudian, juga untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Dan untuk mempersiapkan bekal terbaik. Bekal untuk kembali kepada-Nya kelak. Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan. Kekuatan untuk menjalankan amanah ini. Amanah menjadi hamba dan saksi. Saksi yang setia atas keesaan Allah. Dan semoga setiap langkah kita, setiap detik kehidupan kita bernilai di sisi-Nya. Dengan demikian, akan menjadi jalan menuju surga.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
