SURAU.CO – Sebuah tragedi memilukan kembali menyentak rasa keadilan kita. Sebuah kendaraan polisi diduga melindas seorang pengemudi ojek online (ojol) hingga tewas. Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan biasa. Ia membuka luka lama dalam hubungan antara rakyat dan aparat. Insiden ini menjadi cermin retak dari keadilan yang kita dambakan. Lebih jauh, ia memicu pertanyaan tentang sistem yang menaungi kita semua.
Tragedi ini segera memantik kemarahan dan solidaritas publik. Banyak orang melihatnya sebagai simbol arogansi kekuasaan. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, justru menjadi sumber ancaman. Peristiwa semacam ini berpotensi memicu perlawanan yang jauh lebih besar. Perlawanan itu lahir dari tumpukan kekecewaan rakyat terhadap ketidakadilan.
Suara dari Jalanan: Ketika Rakyat Menuntut Haknya
Peristiwa tewasnya pengemudi ojol menunjukkan sebuah realitas pahit. Keadilan seringkali terasa tumpul ke atas namun sangat tajam ke bawah. Bagi masyarakat kecil, mencari keadilan adalah sebuah perjuangan yang terjal. Mereka harus berhadapan dengan tembok birokrasi yang kokoh. Solidaritas sesama pengemudi ojol dan sorotan publik menjadi harapan terakhir mereka.
Pengamat Sosial Sigit Rochadi memberikan pandangan tajam. Menurutnya, insiden ini bisa menjadi bola salju yang berbahaya.
“Perlawanan diam-diam ini, ketika menjadi gerakan sosial yang masif akan menjadi kekuatan yang meruntuhkan tirani kekuasaan.”
Pernyataan ini menggarisbawahi sebuah kebenaran universal. Kekuasaan yang menzalimi rakyat pada akhirnya akan memanen perlawanan. Perlawanan itu adalah respons alami manusia dalam memperjuangkan hak dan keadilannya.
Noda Hitam Sistem: Sebuah Refleksi Kritis
Peristiwa tragis ini kemudian mendorong kita untuk bertanya lebih dalam. Mengapa ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan terus berulang? Sebagian pihak tidak lagi melihatnya sebagai kesalahan oknum semata. Mereka menganggapnya sebagai gejala dari kelemahan sistemik. Dalam hal ini, sistem demokrasi yang kita anut sering menjadi sasaran kritik.
Demokrasi secara teori menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Namun, dalam praktiknya, banyak pihak merasa sistem ini dibajak oleh kepentingan modal dan kekuasaan. Suara mayoritas tidak selalu menghasilkan kebenaran atau keadilan. Sistem ini bisa saja melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak amanah. Akibatnya, hukum dan kebijakan yang mereka hasilkan tidak berpihak pada rakyat kecil.
Salah satu artikel kritik menulis:
“Demokrasi cacat sejak lahir. Ia tidak akan pernah bisa menjadi solusi. Karena demokrasi tegak di atas pilar kesyirikan, yaitu memberikan hak membuat hukum kepada selain Allah.”
Meskipun pandangan ini sangat ideologis, ia menyoroti satu poin penting. Setiap sistem buatan manusia pasti memiliki celah kelemahan. Celah inilah yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Perspektif Islam: Keadilan Adalah Tolok Ukur Utama
Islam menawarkan sudut pandang yang fundamental, yaitu keadilan atau Al-‘Adl. Keadilan adalah tujuan utama dari setiap sistem pemerintahan. Islam tidak terpaku pada nama sebuah sistem. Islam menilai hasilnya. Tolok ukur keberhasilan sebuah sistem adalah kemampuannya menegakkan keadilan bagi semua. Tragedi pengemudi ojol adalah cerminan dari kegagalan sistem dalam melindungi kaum lemah (mustad’afin).
Islam memandang pemimpin atau aparat sebagai pelayan umat. Rasulullah SAW menggambarkan pemimpin laksana gembala. Seorang gembala bertanggung jawab penuh atas setiap domba yang ia jaga. Jika ada serigala (kezaliman) yang memangsa dombanya, maka gembala adalah pihak pertama yang akan Allah mintai pertanggungjawaban.
Ketika aparat menyalahgunakan kekuasaannya, ia telah mengkhianati amanah besar itu. Di sinilah peran rakyat menjadi penting. Islam mengajarkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Tuntutan rakyat atas keadilan adalah bentuk nyata dari nahi munkar. Mereka melawan kezaliman dan menuntut pertanggungjawaban.
Dengan demikian, peristiwa di jalanan adalah gejala. Kritik terhadap sistem adalah diagnosisnya. Sementara itu, Islam menawarkan tolok ukurnya, yaitu keadilan. Kita menilai sebuah sistem baik jika ia mampu melindungi nyawa seorang pengemudi ojol. Sebaliknya, sistem itu telah gagal jika membiarkan kezaliman terus terjadi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
