SURAU.CO – Dakwah Nabi Muhammad SAW menghadapi permusuhan paling keras dari penduduk Mekah, sebuah sikap yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka menganggap agama baru sebagai serangan langsung terhadap adat dan tradisi yang selama ini mereka hormati. Penduduk Mekah juga menolak larangan Islam terhadap kebebasan tanpa batas, seperti minum minuman keras, perzinaan, perang saudara, dan kebobrokan moral lainnya. Oleh karena itu, mereka bersiap mengangkat senjata melawan Rasulullah.
Meski menghadapi ancaman serius, Rasulullah tetap bertahan dalam mendakwahkan Islam dengan energi tak padam. Nyawa beliau menjadi target utama kaum kafir Quraisy, memaksa beliau hijrah ke Madinah.
Tujuh tahun berlalu sejak beliau meninggalkan Mekah. Allah SWT mengetahui betapa banyak aral dan rintangan yang harus Rasulullah hadapi. Pedang, api, racun, dan berbagai metode penyiksaan mereka gunakan untuk melenyapkan agama baru dan para pengikutnya. Namun, para pembela kebenaran tanpa gentar menyongsong setiap gelombang prahara. Semua siksaan ini tidak membuat para sahabat Muhajirin melupakan tanah kelahiran mereka; hati kecil mereka merindukan kampung halaman dengan luar biasa.
Setelah tujuh tahun dalam pengasingan, Rasulullah mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi Mekah dan menunaikan haji. Gegap gempita kegembiraan terlihat di wajah para sahabatnya. Bersama 1.400 kaum Muslimin, Rasulullah berangkat menuju Mekah, semuanya tanpa senjata dan mengenakan pakaian ihram. Rombongan haji berjalan hingga tiba di Hudaibiyah, sebuah tempat dekat Mekah. Di sana, tabir kesedihan kembali menyelimuti wajah-wajah ceria para jemaah haji.
Perundingan di Hudaibiyah
Seorang utusan dari Mekah datang menemui Rasulullah, menyatakan, “Kalian tidak boleh melanjutkan perjalanan ke Mekah. Bila melanggar peringatan ini berarti kebinasaan bagi kaum muslimin. Mekah adalah kota terlarang bagi kalian.”
Setelah perundingan alot, penduduk Mekah setuju mendiskusikan syarat-syarat perjanjian dan mengirim Sahal untuk berunding dengan kaum Muslimin. Sahal datang dan duduk di dekat Rasulullah. Selama perundingan, Sahal berkali-kali memegang jenggot Rasulullah dengan cara menghina. Perbuatannya membuat marah para sahabat, namun Rasulullah memerintahkan mereka tetap tenang.
Setelah diskusi alot, sepakat bahwa: “Kaum muslimin tidak boleh masuk ke kota Mekah tahun ini… Tahun berikutnya, mereka boleh datang ke Mekah tetapi mereka harus meninggalkan kota itu dalam tempo tiga hari.. Jika ada penduduk Mekah yang memasuki Madinah, kaum muslimin harus mengembalikan orang tersebut. Namun bila ada penduduk Madinah yang memasuki Mekah, penduduk Mekah tidak berkewajiban mengembalikan orang tersebut.”
Syarat-syarat perjanjian ini memancing kemarahan kaum Muslimin. Namun, Rasulullah menenangkan mereka dan memerintahkan Ali untuk menuliskan nota perjanjian. Saat Ali hendak menulis “Bismillah,” Sahal memprotes, “Kami tidak mengetahui siapakah Tuhan kalian. Kalian harus membuang kalimat itu!”
Rasulullah menjawab, “Baiklah. Akan kami lakukan.” Kalimat tersebut akhirnya dihapuskan dari nota perjanjian.
Demikian juga ketika Ali menulis, “Atas nama Muhammad utusan Allah,” Sahal kembali memprotes, “Kami tidak menerima Muhammad sebagai utusan Allah. Oleh karena itu, kami meminta agar kata-kata itu dihilangkan.”
Ali merasa dongkol, lalu berkata, “Mustahil bagiku untuk melakukan hal itu.”
Rasulullah menengahi sembari tersenyum, “Baiklah, jika kamu tidak mau melakukannya, tunjukkan padaku kata-kata tersebut. Biar aku yang akan melakukannya.” Ali setuju, dan Rasulullah menghapus kata-kata tersebut.
Kisah Penderitaan Abu Zandal
Namun, permasalahan belum berakhir. Abu Zandal, seorang penduduk Mekah yang telah memeluk Islam. Ia tersiksa di Mekkah. Untuk memaksanya keluar dari Islam, mereka menyetrika tubuhnya dengan besi panas, namun ia tetap bertahan dengan keimanannya.
Berita kehadiran kaum Muslimin di sekitar Mekah sampai kepada Abu Zandal. Dengan berbagai cara, ia berusaha melarikan diri dari penjara dan menyusup ke majelis Rasulullah. Dengan kata-kata memelas, ia meminta perlindungan kaum Muslimin. Luka bakar yang menganga masih terlihat jelas pada tubuhnya.
Melihat kejadian itu, Sahal berkata, “Menurut perjanjian, orang ini harus dikembalikan ke Mekah.”
“Bukankah perjanjian ini belum ditandatangani? Jadi kami kira aturan itu belum bisa dilaksanakan, dan kami bisa saja menolak untuk mengembalikan Abu Zandal,” jawab salah seorang Muslim.
“Tetapi meskipun secara teknis perjanjian ini belum sempurna, syarat-syarat yang ada dalam perjanjian telah berlaku sesuai dengan kesepakatan kita yang telah lalu. Oleh karena itu Abu Zandal harus dikembalikan. Kalau tidak maka seluruh isi perjanjian harus dibatalkan!” bantah Sahal.
“Baiklah. Keinginanmu akan dipenuhi,” jawab Rasulullah lalu berpaling ke arah Abu Zandal dan berkata, “Abu Zandal! Kembalilah dan bersabarlah! Allah akan memberi pertolongan padamu.”
Rasullullah , Rasul Perdamaian
Isak tangis memilukan mengiringi penyerahan kembali Abu Zandal. Seribu empat ratus kaum Muslimin berkumpul saat itu – semuanya kuat dan pemberani, ahli dalam memainkan senjata, dan siap mengorbankan hidup mereka demi membela Islam dan saudara-saudara seiman mereka. Semua tragedi ini terjadi di depan mata mereka, dan mereka merasa putus asa.
Umar tidak mampu menahan diri lagi. Ia mendekat kepada Rasulullah dan dengan suara gemetar berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah engkau bukan lagi utusan Allah?”
“Ya, sungguh aku ini utusan Allah,” jawab Rasulullah.
“Kita berada di pihak yang benar dan mereka berada di dalam kesesatan. Bukankah demikian?” tanya Umar bersungut-sungut.
“Ya, engkau benar,” jawab Rasulullah memastikan.
“Kalau demikian mengapa engkau mengalah pada penghinaan perjanjian yang merendahkan ini? Tolonglah! Biarkan kami dan pedang-pedang kami yang akan memutuskan antara mereka dan kita.”
“Tetapi ingatlah Umar! Aku adalah Nabi pembawa perdamaian. Bersabarlah. Allah yang Maha Rahman akan menjadikan musuh ini sebagai pertanda berkah yang agung bagi kita.”
Setelah berkata demikian, Rasulullah menandatangani perjanjian dan menyerahkannya kepada Sahal. Keputusan Nabi Muhammad ini, meskipun terasa berat bagi para sahabatnya, merupakan manifestasi nyata dari sifat beliau sebagai “Rasul Perdamaian” yang senantiasa mengedepankan kebijaksanaan dan visi jangka panjang demi kebaikan umat. Perjanjian Hudaibiyah, yang awalnya terlihat merugikan, pada akhirnya menjadi pembuka jalan bagi penaklukan Mekah dan tersebarnya Islam secara luas. Ini menunjukkan keteguhan iman dan kepemimpinan visioner Rasulullah dalam menghadapi ujian.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
