Opinion
Beranda » Berita » Fenomena False Accusation dalam Kasus Kekerasan Seksual yang Jarang Dibahas

Fenomena False Accusation dalam Kasus Kekerasan Seksual yang Jarang Dibahas

Fenomena False Accusation dalam Kasus Kekerasan Seksual yang Jarang Dibahas
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com.

SURAU.CO. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat semakin gencar membicarakan isu kekerasan seksual di ruang publik. Di satu sisi, meningkatnya kesadaran publik memberi ruang lebih besar bagi korban untuk menyuarakan pengalaman. Akan tetapi, di sisi lain, muncul persoalan yang jarang orang sentuh, yaitu false accusation atau tuduhan palsu. Banyak orang menganggap topik ini tabu karena mereka khawatir diskusi tentangnya akan mereduksi perjuangan korban. Meskipun begitu, jika kita mengabaikan isu ini sepenuhnya, kita justru berisiko menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang dituduh. Oleh karena itu, penulis menekankan pentingnya menempatkan pembahasan tentang false accusation secara adil dan proporsional.

 

Memahami False Accusation secara Tepat

Pertama-tama, kita perlu membedakan antara laporan yang tidak terbukti dan laporan yang benar-benar palsu. Laporan yang tidak terbukti biasanya menunjukkan bahwa bukti yang diajukan tidak cukup memenuhi standar pengadilan. Sebaliknya, laporan palsu menunjukkan adanya kesengajaan untuk melaporkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Karena itu, niat pelapor menjadi faktor penentu.

Selain itu, hukum pidana Indonesia sudah mengatur secara tegas mengenai laporan palsu. Pasal 220 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang sengaja membuat laporan palsu dapat menerima pidana penjara hingga satu tahun empat bulan. Lebih lanjut, Pasal 311 KUHP menetapkan hukuman yang lebih berat bagi pelaku fitnah. Dengan demikian, negara sebenarnya sudah menyediakan perangkat hukum, meskipun aparat penegak hukum tetap menghadapi tantangan dalam menerapkannya.

 

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Kerangka Hukum Kekerasan Seksual

Sejak pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), negara semakin memperkuat perlindungan terhadap korban. Undang-undang tersebut menekankan pentingnya melakukan pencegahan, memberikan pemulihan, dan menjamin restitusi bagi korban. Selain itu, Mahkamah Agung melalui PERMA Nomor 3 Tahun 2017 mengingatkan hakim agar bersikap adil serta tidak memihak ketika menangani perkara yang melibatkan perempuan.

Namun, aparat penegak hukum tidak boleh mengabaikan hak terlapor dalam memberikan perlindungan bagi korban. Mereka tetap wajib menegakkan prinsip praduga tak bersalah sampai pengadilan memutuskan perkara. Dengan demikian, aparat hukum dan masyarakat harus menjaga keseimbangan antara hak korban dan hak terlapor sejak awal proses hukum.

 

Perspektif Etika dalam Islam

Selain aturan hukum positif, Islam menekankan keadilan dalam setiap perkara. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 135:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri, ibu bapak, atau kerabatmu.”

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Ayat ini menegaskan bahwa keadilan tidak boleh bergantung pada kedekatan. Dengan kata lain, masyarakat harus memperlakukan korban maupun terlapor secara adil. Lebih lanjut, Al-Qur’an juga mengingatkan larangan tuduhan tanpa bukti. Surah An-Nur ayat 4 menyebut:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik berzina, lalu mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.”

Ayat ini memperlihatkan betapa beratnya konsekuensi tuduhan palsu. Nabi Muhammad SAW juga menegaskan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahwa kesaksian palsu termasuk salah satu dosa besar. Oleh karena itu, Islam menempatkan false accusation bukan hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai dosa besar yang merusak moral masyarakat.

 

Realitas False Accusation di Lapangan

Dalam praktik, korban sering menghadapi kendala serius. Misalnya, banyak korban terlambat melapor karena trauma sehingga mereka tidak bisa memperoleh visum medis secara maksimal. Selain itu, pelapor sering hanya menyerahkan bukti digital berupa screenshot, dan pihak berwenang meragukan keasliannya. Akibatnya, laporan tampak lemah meskipun pelaku sebenarnya melakukan kekerasan.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Di sisi lain, pengguna media sosial sering memperburuk keadaan. Mereka menyebarkan tuduhan tanpa verifikasi jauh lebih cepat dibandingkan aparat yang memproses laporan resmi. Dengan demikian, opini publik terbentuk sebelum pengadilan memulai proses hukum. Akibatnya, masyarakat kerap memberikan stigma sosial kepada orang yang dituduh meskipun hakim belum membuktikan kesalahannya. Fenomena trial by social media inilah yang membuat pembahasan false accusation semakin kompleks.

 

Menjaga Keseimbangan Hak

Agar keseimbangan terwujud, aparat penegak hukum harus menjalankan proses yang adil sejak awal. Aparat penegak hukum harus memproses laporan korban secara serius dengan pendekatan peka trauma. Pada saat yang sama, terlapor berhak mendapatkan pendampingan hukum serta perlindungan dari penghakiman publik.

Selain itu, penerapan keadilan restoratif tidak selalu sesuai untuk kasus kekerasan seksual. Penyelesaian damai berisiko mengabaikan kebenaran dan melukai korban. Oleh karena itu, mekanisme hukum formal tetap menjadi jalan utama untuk memastikan kebenaran terungkap.

 

Mengapa Tidak Terbukti Tidak Sama dengan Palsu?

Masyarakat harus memahami bahwa kegagalan membuktikan laporan tidak otomatis menjadikannya palsu. Faktor seperti hilangnya bukti medis, keterlambatan pelaporan, atau trauma korban bisa memengaruhi pembuktian. Oleh karena itu, publik tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa perkara yang tidak terbukti adalah kebohongan.

Namun, jika terbukti ada niat melaporkan sesuatu yang tidak pernah terjadi, aparat penegak hukum memang harus menindak pelaku. Dengan demikian, aparat hukum tetap bisa menegakkan prinsip keadilan tanpa menimbulkan rasa takut bagi korban lain untuk melapor.

 

Literasi Media dan Etika Digital

Selain hukum, literasi media juga memegang peran penting. Masyarakat perlu berhati-hati agar tidak langsung menyebarkan tuduhan yang belum terbukti.Semua pihak harus menjadikan prinsip verify before share sebagai pedoman bersama. Dengan begitu, ruang publik bisa terjaga dari kesalahan fatal yang menghancurkan nama baik seseorang.

Selain itu, platform media sosial juga perlu memperkuat aturan moderasi konten. Tanpa pengawasan, tuduhan palsu dapat dengan mudah viral. Oleh karena itu, kerja sama antara masyarakat, media, dan platform digital sangat diperlukan untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

 

Strategi Pencegahan False Accusation

Kita harus mengantisipasi fenomena tuduhan palsu dengan langkah nyata. Beberapa strategi yang dapat ditempuh antara lain:

  • Edukasi hukum bagi masyarakat agar memahami konsekuensi laporan palsu.
  • Literasi digital untuk mencegah penyebaran tuduhan tanpa verifikasi.
  • Aparat penegak hukum harus menerapkan prosedur yang transparan agar mereka bisa menangani setiap laporan secara profesional.
  • Kajian akademik yang objektif untuk menilai perbandingan antara laporan valid dan tuduhan palsu.
  • Budaya hukum seimbang yang menempatkan perlindungan korban dan hak terlapor pada posisi yang setara.

Dengan langkah-langkah ini, masyarakat bisa memahami bahwa perlindungan terhadap korban dan pencegahan tuduhan palsu tidak saling bertentangan. Sebaliknya, keduanya saling melengkapi demi tegaknya keadilan.

Artikel lainnya dari Vio Surau.co


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement