Khazanah
Beranda » Berita » Endog-endogan : Tradisi Merayakan Kelahiran Nabi di Banyuwangi

Endog-endogan : Tradisi Merayakan Kelahiran Nabi di Banyuwangi

Suasana Tradi Endog-endogan diBanyuwangi ( Foto ; wikipedia)

SURAU.CO – Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tanggal 12 Rabiul Awal menandai kelahiran beliau.  Bagi sebagian umat Islam memperingati Maulid Nabi adalah sunah. Ini bertujuan meneladani sifat mulia Rasulullah SAW dan menganjurkan memperbanyak selawat kepada beliau. Maulid Nabi menjadi ekspresi syukur kita kepada Allah SWT. Dialah yang telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih-Nya. Beliau adalah penuntun yang baik bagi umat-Nya. Tuntunan ini berlaku di dunia maupun akhirat.

Masyarakat Muslim di berbagai negara merayakan Maulid Nabi. Mereka melakukannya dengan penuh kebahagiaan. Di Indonesia, perayaan Maulid Nabi memiliki beragam bentuk tradisi. Salah satunya adalah tradisi unik di Banyuwangi.

Endog-endogan: Tradisi Abadi dari Banyuwangi

Masyarakat Banyuwangi pasti mengenal istilah “Endog-endogan”. Tradisi ini konon  sudah ada sejak abad ke-18. Tepatnya pada era Kerajaan Blambangan. Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Banyuwangi.

Dalam tradisi ini, masyarakat berbondong-bondong berpartisipasi. Mereka menyisihkan uang untuk membuat hiasan telur. Telur-telur ini ditancapkan ke pohon pisang yang sudah terhias. Hiasan telur dan pohon pisang ini disebut “jodhang”. Selanjutnya, masyarakat mengarak  jodhang keliling kampung. Pengarakan menggunakan becak atau kendaraan pikap. Beberapa jodhang juga diletakkan di masjid. Pengarakan diiringi lantunan pujian dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka membaca syair pujian dari kitab Al-Barjanzi.

Seperti di kutip dari detik.com,Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, menjelaskan makna tradisi ini. “Tradisi ini merupakan bentuk ekspresi kecintaan masyarakat Banyuwangi kepada Nabi Muhammad,” ungkapnya. “Sebagai ungkapan rasa syukur, kami menyisihkan sebagian rezeki untuk berbagi dengan tetangga. Meskipun hanya berupa telur dan nasi,” tambahnya. Masyarakat patut terus melestarikan tradisi ini. Hal ini bukan hanya sebagai ekspresi nilai religius. Ini juga memperkuat keeratan sosial dan keguyuban masyarakat. “Inilah bentuk nyata dari nilai utama Pancasila tentang gotong royong,” terang Ipuk. “Semua masyarakat terlibat dalam menyukseskan kegiatan.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Beberapa daerah di Banyuwangi menggelar kirab Endog-endogan. Contohnya di Dusun Glondong, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari. Ada juga di Desa Sraten, Kecamatan Cluring. Dan di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng.

Sejarah dan Filosofi Mendalam Endog-endogan

Tradisi Endog-endogan telah ada di Banyuwangi sejak paruh pertama abad ke-20. Catatan Raden Sudira mengkonfirmasi hal ini. Sudira melakukan riset tentang Banyuwangi pada awal tahun 1930-an. Riset ini atas perintah peneliti Belanda, Theodoore Pigeaud. “Dalam manuskrip yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia itu, diterangkan tentang makanan yang tersaji pada perayaan Maulid Nabi. Yakni, ancak dan Endog-endogan sebagaimana yang dikenal saat ini,” ungkap penulis buku Islam Blambangan, Ayung Notonegoro.

Cerita lisan masyarakat Banyuwangi menyebutkan, tradisi ini konon tercetus oleh KH. Abdullah Faqih dari Cemoro, Songgon. Budayawan Banyuwangi, Hasan Basri, seperti kutipan di rri.co.id menjelaskan filosofinya. “Di setiap sisi Endog-Endogan ini ada nilai filosofis. Ini melambangkan ajaran Islam,” paparnya. Misalnya, telur terdiri dari tiga lapis. Ini menunjukkan lapisan spiritual: iman, Islam (syariat), dan ihsan. Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Banyuwangi, menambahkan. “Telur memiliki makna tersendiri, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Ini merupakan tiga bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam diri manusia.”

Elemen lain dari tradisi ini juga memiliki makna. Bambu kering, sebagai tempat menancapkan telur, melambangkan kehidupan. Bunga hiasan memiliki arti kehidupan. Ini akan membawa manusia dari kegelapan menuju kebahagiaan. Batang pohon pisang yang dapat tumbuh kembali. Ini memiliki makna pantang menyerah. “Endog-endogan di Banyuwangi diprakarsai oleh KH Abdullah Faqih,” kata Hasan Basri. “Ini memiliki filosofi yang cukup dalam. Kelahiran Nabi Muhammad SAW membawa kebahagian dan keberkahan bagi seluruh umat.”

Perayaan Berlanjut dan Ekonomi Lokal Bertumbuh

Tradisi Endog-endogan tetap lestari hingga kini. Setiap tahun, masyarakat berbondong-bondong menghias telur. Mereka menancapkannya pada batang pohon pisang. Mereka menghias jodhang semenarik mungkin. Sebelum membawanya  ke masjid, masyarakat mengarak jodhang keliling kampung. Iringan musik rebana dan lantunan puji-pujian mengiringi. Setelah pembacaan doa, telur-telur dibagikan kepada masyarakat.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Momen ini juga membawa rezeki bagi pengrajin hiasan telur. Mereka mengenalnya sebagai “Kembang Endog“. Warna-warni Kembang Endog memenuhi lorong-lorong pasar dan toko kelontong. Produk ini siap menghiasi jodhang. Adanya pengrajin Kembang Endog sangat memudahkan masyarakat. Proses pengerjaannya membutuhkan waktu cukup lama.

Mengutip dari rri.co.id, salah satu perajin dan pedagang Kembang Endog, Nani berbagi kisahnya. Selama bulan Maulid, dagangannya laku minimal 100 biji Kembang Endog setiap hari. Harganya mulai Rp800 hingga Rp5.000 per biji. Harga ini sesuai bahan dan tingkat kesulitan, seperti motif bunga atau barong. Nani mengaku sudah menyiapkan berbagai bentuk Kembang Endog sejak 5 bulan terakhir. Ini untuk memenuhi pesanan dari berbagai wilayah. “Alhamdulillah sudah mulai ada yang beli,” ungkap Nani. “Biasanya puncak orang yang datang itu pada tanggal 12 Rabiul Awal hingga sampai akhir bulan”

Masyarakat selalu menantikan momen Endog-endogan ini setiap tahun.  Terutama oleh anak-anak kecil. Mereka antusias berburu telur di masjid kampungnya. Tradisi ini sarat nilai kehidupan. Masyarakat dapat saling berbagi dan bergotong royong. Bagi Banyuwangi, tradisi Endog-endogan adalah budaya. Ini juga merupakan wisata religi bernilai luhur. Tradisi Endog-endogan di Banyuwangi adalah bukti nyata. Masyarakat memelihara warisan budaya mereka. Mereka melakukannya dengan cara yang unik dan bermakna. Sekaligus merayakan hari besar dalam agama. (dari berbagai sumber)

 

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement