Nasional Opinion
Beranda » Berita » Ketika Akal Sehat Ditukar Rupiah

Ketika Akal Sehat Ditukar Rupiah

Ilustrasi nyawa manusia ditukar dengan uang, otak manusia berubah menjadi rupiah
Ilustrasi simbolis bagaimana nyawa manusia sering ditukar dengan uang, menyoroti tragedi moral saat materi lebih berharga daripada kemanusiaan

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kasus penculikan dan pembunuhan seorang kepala cabang bank BUMN di Jakarta. Lebih mengejutkan lagi, para pelaku hanya dijanjikan bayaran puluhan juta rupiah. Ketika akal sehat ditukar rupiah, nilai itu bahkan lebih rendah daripada harga sebuah motor baru, tetapi cukup untuk membuat tangan mereka tega merenggut nyawa.

Kita lalu bertanya: bagaimana mungkin nyawa manusia yang tak ternilai bisa dipertukarkan dengan sejumlah rupiah? Di sinilah ironi itu terasa mengiris. Ketika akal sehat ditukar rupiah. Uang ternyata mampu menundukkan akal sehat, bahkan membisukan suara hati.

Puluhan Juta untuk Nyawa

Polisi mengungkap bahwa para penculik dijanjikan Rp50 juta. Faktanya, mereka baru menerima uang muka beberapa juta rupiah. Ironinya, jumlah itu sudah cukup untuk mendorong mereka melakukan tindakan fatal.

Jika direnungkan, keputusan itu seperti perjudian buta. Para pelaku menukar masa depan, kebebasan, bahkan kemanusiaan mereka sendiri hanya untuk iming-iming yang belum tentu terbayar penuh. Uang berhasil menafikan logika, seolah segalanya bisa diganti dengan materi.

Uang Menafikan Nurani

Dalam perspektif psikologi sosial, uang sering membuat manusia kehilangan orientasi moral. Ada mekanisme yang disebut rasionalisasi: seseorang mencari pembenaran atas perbuatannya. Dalam kasus ini, pelaku mungkin berkata pada diri sendiri, “Saya hanya menjalankan perintah.” Padahal, mereka tahu akibatnya adalah hilangnya nyawa seseorang.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Budaya materialistis memperparah situasi. Ketika ukuran keberhasilan hanya ditentukan oleh harta, maka uang bisa menjadi tuhan kecil yang ditaati. Nurani dikesampingkan, sementara untung-rugi materi dijadikan hukum tertinggi.

Rupiah vs. Nyawa

Jika dibandingkan, puluhan juta rupiah bisa setara dengan harga gadget terbaru atau cicilan rumah beberapa bulan. Namun, bagi keluarga korban, nyawa yang hilang adalah luka seumur hidup. Seorang suami, ayah, sekaligus anak hilang dalam sekejap. Kehilangan itu tak bisa ditambal dengan nominal berapa pun.

Ketika nyawa manusia dihitung dengan kalkulator, berarti ada sesuatu yang sakit dalam sistem sosial kita. Masyarakat menjadi rapuh jika uang lebih berharga daripada kemanusiaan.

Pandangan Spiritual dan Filosofis

Dalam tradisi tasawuf, Rasulullah pernah bersabda:

هلاك أمتي في اثنتين: المال والنساء
“Kebinasaan umatku ada pada dua hal: harta dan wanita.”

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Hadis ini menunjukkan bagaimana cinta berlebihan pada harta bisa membutakan manusia. Dalam pandangan Jawa, ada pepatah: “Urip mung mampir ngombe, aja nganti adol urip wong liya kanggo ngilangke ngelihmu.” Hidup hanyalah persinggahan, jangan sampai kita menjual hidup orang lain demi kepentingan perut kita sendiri.

Kedua pandangan ini mengajarkan hal yang sama: manusia tidak boleh menjadikan uang sebagai alasan untuk merusak hidup sesama.

Pelajaran untuk Kita Semua

Tragedi ini memberi cermin bagi masyarakat. Mungkin kita tidak melakukan penculikan atau pembunuhan, tetapi berapa banyak orang yang menjual integritasnya dengan harga murah? Ada yang berbohong demi bonus, ada yang korupsi kecil demi tambahan penghasilan, atau bahkan mengkhianati teman demi keuntungan singkat.

Jika manusia mudah dibeli dengan nominal kecil, maka fondasi sosial akan runtuh. Masyarakat hanya akan diisi oleh transaksi, tanpa ruang untuk nilai kemanusiaan.

Penutup: Hikmah yang Tak Boleh Dilupakan

Nyawa manusia adalah anugerah, amanah yang tidak bisa dinilai dengan angka. Tragedi penculikan dan pembunuhan ini mengingatkan kita: uang mampu menutup akal sehat jika manusia lengah.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Pertanyaan yang tersisa: apakah Rp50 juta sebanding dengan hilangnya seorang ayah, anak, dan suami? Jawabannya tentu tidak. Karena itu, kita harus berhati-hati agar tidak menukar akal sehat dan nurani hanya demi setumpuk rupiah. Nyawa manusia lebih mahal daripada seluruh isi dunia, dan itu adalah hikmah yang tak boleh kita lupakan.

* Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement