Bulan Maulid kembali tiba. Di berbagai kampung, malam-malam mulai meriah dengan lantunan selawat, tumpeng syukuran, dan anak-anak yang menyalakan kembang api. Ada suasana hangat yang terasa hingga ke hati: umat Islam menyambut hari lahir Nabi Muhammad ﷺ dengan suka cita.
Dalam sejarah yang diriwayatkan oleh banyak ulama, Abu Lahab bergembira kelahiran Nabi. Disinilah ita menemukan kisah unik dan agak ironis yang jarang dibicarakan, Abu Lahab bergembira kelahiran Nabi.
Padahal, Abu Lahab, musuh bebuyutan Nabi yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an sebagai ahli celaka, namun justru pernah bergembira ketika Nabi Muhammad lahir.
Kisah Abu Lahab dan Tsuwaibah
Menurut riwayat, Abu Lahab memiliki seorang budak perempuan bernama Tsuwaibah. Pada malam kelahiran Nabi, Tsuwaibah datang membawa kabar gembira. Mendengar berita itu, Abu Lahab spontan merasa senang. Sebagai ungkapan rasa bahagia, ia memerdekakan Tsuwaibah.
Kisah ini tidak berhenti di situ. Bertahun-tahun kemudian, setelah Abu Lahab wafat, Abbas bin Abdul Muthalib—paman Nabi—bermimpi melihatnya. Dalam mimpi itu, Abu Lahab sedang mengalami siksaan di neraka, namun anehnya, setiap hari Senin ia mendapatkan keringanan azab. Ketika ditanya sebabnya, Abu Lahab menjawab:
بِأَنِّي أُعْتِقْتُ ثُوَيْبَةَ إِذْ بَشَّرَتْنِي بِمَوْلِدِ مُحَمَّدٍ ﷺ
“Karena aku memerdekakan Tsuwaibah saat ia membawa kabar tentang kelahiran Muhammad ﷺ.”
Riwayat ini tercatat dalam Shahih al-Bukhari (Kitab an-Nikah, Bab 39).
Sebagian ulama juga meriwayatkan bahwa Tsuwaibah sempat menyusui Nabi Muhammad ﷺ sebelum beliau diasuh oleh Halimah as-Sa’diyah. Imam Ibn Hajar dalam al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah menyebutkan:
«وأرضعته ثويبة أياما قبل حليمة، وأرضعت معه حمزة بن عبد المطلب وأبا سلمة بن عبد الأسد»
(“Tsuwaibah sempat menyusui Nabi ﷺ beberapa hari sebelum disusui Halimah. Ia juga menyusui bersama beliau Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Salamah bin Abdul Asad.”)
Dengan demikian, para ulama mencatat ada beberapa wanita yang pernah menyusui Nabi: Aminah binti Wahb (ibunda beliau), Tsuwaibah al-Aslamiyyah, Halimah binti Abi Dzu’aib as-Sa’diyah, serta Ummu Aiman Barakah al-Habasyiyah. Riwayat ini memperkuat bahwa kegembiraan Abu Lahab—yang membebaskan Tsuwaibah sehingga bisa menyusui Nabi—bukan sekadar kisah simbolis, melainkan benar-benar terhubung dengan fase awal kehidupan Rasulullah ﷺ.
Tafsir Para Ulama
Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidāyah wa an-Nihāyah menuturkan, kegembiraan Abu Lahab yang diwujudkan dengan amal nyata—memerdekakan Tsuwaibah—menjadi sebab Allah memberikan sedikit keringanan azab kepadanya. Padahal ia seorang kafir yang ditetapkan celaka.
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari bahkan memberi komentar penting: “Jika orang kafir saja bisa mendapat manfaat dari kegembiraannya terhadap kelahiran Nabi, maka seorang mukmin yang mengekspresikan cintanya kepada Nabi dengan amal kebaikan tentu lebih pantas memperoleh pahala dan kemuliaan.”
Narasi ini mengajak kita merenung: kita tidak boleh berhenti pada rasa bahagia atas kelahiran Nabi, tetapi perlu mewujudkannya dalam tindakan nyata.
Dari Sejarah ke Kehidupan Kita
Kisah Abu Lahab bergembira kelahiran Nabi mengandung ironi sekaligus pesan dalam. Ironi, karena seorang yang menjadi musuh Nabi justru pernah gembira atas kelahirannya. Pesan, karena kegembiraan itu ternyata tidak sia-sia, meski hanya berbuah keringanan kecil di akhirat.
Jika orang kafir saja mendapat manfaat, bagaimana dengan kita yang beriman? Apakah kita cukup hanya merasa senang di hati, atau sudahkah kita mengubah kebahagiaan itu menjadi amal?
Warga di kampung-kampung merayakan Maulid dengan kenduri, selawat, dan arak-arakan. Semua itu baik sebagai ekspresi syukur. Namun yang jauh lebih penting adalah menjadikan Maulid sebagai momentum untuk memperbanyak amal kebaikan:
-
Menyantuni anak yatim.
-
Membantu tetangga yang kesulitan.
-
Mengajar ngaji di langgar.
-
Atau sekadar membagikan senyum dan makanan bagi yang membutuhkan.
Maulid Sebagai Momentum Amal
Kisah Abu Lahab memberi pelajaran: amal kecil yang lahir dari rasa gembira pada Nabi bisa bernilai besar di sisi Allah. Maka, merayakan Maulid bukan sekadar tradisi, tetapi ruang untuk menyalakan cinta dalam tindakan.
Allah memberi keringanan azab kepada Abu Lahab karena ia memerdekakan budaknya. Maka bayangkan betapa luas rahmat Allah bagi orang beriman yang mengamalkan kebahagiaan itu dengan ikhlas.
Penutup
Bulan Maulid adalah undangan untuk bersyukur. Kita bisa belajar dari kisah ironis Abu Lahab: musuh Nabi pun sempat gembira atas kelahirannya, dan amal kecilnya tetap tercatat.
Maka, mari kita wujudkan rasa cinta pada Nabi dalam bentuk amal nyata: memberi, menolong, dan menebar kebaikan. Karena cinta sejati bukan hanya rasa di hati, melainkan juga langkah yang memberi arti.
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
