SURAU.CO – Salah satu peristiwa besar yang membekas dalam sejarah Islam di Andalusia adalah Pertempuran Zallaqah atau yang juga dikenal sebagai Pertempuran Sagrajas. Pertempuran ini menjadi momentum bagaimana persatuan mampu mengubah sejarah. Pada tanggal 23 Oktober 1086 M (479 H), di dekat Badajoz, Andalusia, pasukan Muslim meraih kemenangan melawan pasukan Kristen yang dipimpin oleh Raja Alfonso VI dari Kastilia.
Kesadaran politik, keberanian spiritual, serta ikatan persaudaraan yang melampaui batas geografis melahirkan kemenangan tersebut.
Latar Belakang: Perpecahan di Andalusia
Setelah Dinasti Umayyah II di Cordoba runtuh, wilayah Muslim di Spanyol terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang disebut Taifa. Para penguasa dinasti kecil itu membangun kekuasaan masing-masing, tetapi mereka sering terjebak dalam konflik internal. Alih-alih bersatu, para penguasa justru sibuk mempertahankan ego dan wilayahnya.
Kondisi itu membuka peluang besar bagi kerajaan Kristen di utara, khususnya Leon-Kastilia di bawah pimpinan Raja Alfonso VI. Alfonso memanfaatkan perpecahan itu dengan melancarkan ekspansi. Puncak dominasinya tampak ketika ia berhasil menaklukkan Toledo pada tahun 1085 M, sebuah pukulan telak bagi kaum Muslim di Andalusia. Jatuhnya Toledo bukan hanya kehilangan wilayah strategis, tetapi juga simbol melemahnya kekuatan politik Islam di Spanyol.
Melihat ancaman yang semakin nyata, beberapa penguasa Taifa mulai sadar. Salah satu yang paling visioner, Al-Mu’tamid, penguasa Sevilla, menyadari bahwa tanpa bantuan eksternal, Andalusia akan jatuh sepenuhnya ke tangan Alfonso VI. Dengan keberanian politik, Al-Mu’tamid mengambil langkah besar dengan meminta bantuan kepada penguasa kuat di Afrika Utara, yakni Yusuf bin Tashfin, pemimpin Dinasti Murabithun (Almoravid).
Yusuf bin Tashfin: Pemimpin dari Seberang Lautan
Orang mengenal Yusuf bin Tashfin sebagai pemimpin yang tegas, religius, dan berkarisma. Ketika menerima utusan Al-Mu’tamid, ia tidak sekedar memandang permintaan itu sebagai urusan politik, tetapi juga sebagai panggilan iman. Yusuf menyadari bahwa jika Andalusia jatuh, maka benteng terakhir Islam di Eropa akan runtuh.
Ia segera mempersiapkan pasukan. Dari Marrakesh, ia menghimpun sekitar 7.000 prajurit berkuda yang didominasi suku Berber yang tangguh. Pasukan itu kemudian membentang dari Selat Gibraltar menuju daratan Spanyol. Setibanya di Andalusia, mereka bergabung dengan pasukan Muslim dari berbagai Taifa, sehingga jumlah keseluruhan mencapai 20.000 prajurit .
Sebelum pertempuran, Yusuf bin Tashfin bertemu langsung dengan Alfonso VI. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa mereka akan dilakukan pada hari Senin. Alasannya, Jumat menjadi hari suci umat Islam, Sabtu hari orang Yahudi, dan Minggu hari orang Kristen. Namun, Alfonso hanya menjadikan kesepakatan itu sebagai taktik.
Ketika pasukan Muslim bersiap melaksanakan salat Jumat, pasukan Alfonso melancarkan serangan secara tiba-tiba. Tanah Zallaqah seketika berubah menjadi lautan panik. Serangan brutal itu membuat darah bercucuran hingga konon tanah menjadi licin, sehingga orang menyebut wilayah itu Zallaqah, yang berarti “tanah licin.”
Namun, serangan kejutan itu tidak membuat Muslim menjadi gentar. Dengan strategi yang matang, Yusuf bin Tashfin mengatur pasukannya dalam tiga lapis. Pasukan depan berisi prajurit dari Taifa, pasukan tengah terdiri dari pasukan utama Murabithun, sementara pasukan cadangan ia sembunyikan untuk serangan pamungkas.
Pertempuran yang Menggetarkan
Alfonso VI mengerahkan kekuatan penuh untuk menghancurkan barisan Muslim. Pada awalnya, pasukan Kristen mendesak barisan depan yang terdiri dari pasukan Taifa. Namun, saat itulah strategi Yusuf bin Tashfin berhasil.
Pasukan tengah Murabithun maju dengan kekuatan besar untuk mengimbangi pasukan Alfonso. Sementara itu, pasukan cadangan yang Yusuf sembunyikan muncul secara tiba-tiba dari arah belakang dan mengepung pasukan Kristen. Serangan mendadak itu memporak-porandakan barisan Alfonso.
Pertempuran berlangsung sengit hingga darah mengalir deras. Namun, semangat jihad dan keyakinan bahwa mereka mempertahankan tanah Islam membuat pasukan Muslim tidak mundur sedikit pun. Pada akhirnya, pasukan Alfonso kalah telak. Ribuan tentaranya gugur, dan Alfonso hanya bisa lolosmelarikan diri dengan luka parah.
Dampak Kemenangan
Setelah perpecahan pasca-Umayyah, dinasti-dinasti kecil Taifa akhirnya bersatu di bawah kepemimpinan Yusuf bin Tashfin. Persatuan itu menunjukkan bahwa umat Islam hanya bisa mewujudkan kekuatan jika mereka meninggalkan ego politik masing-masing.
Zallaqah menjadi simbol bahwa Allah menurunkan pertolongan ketika umat Islam bersatu dan berjuang dengan niat yang benar. Kemenangan itu tidak lahir dari kekuatan manusia semata, namun juga membuktikan bahwa iman dan persaudaraan mampu menumbangkan lawan yang tampak lebih kuat.
Zallaqah telah memberi pesan abadi: ketika umat bersatu dalam iman dan tujuan, mereka selalu mungkin meraih kemenangan.
(Sumber: Kennedy, Hugh. Muslim Spanyol dan Portugal: Sejarah Politik Andalusia)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
