SURAU.CO. Bulan Rabi‘ul Awwal selalu mendapat sambutan hangat dan suasana yang istimewa oleh umat Islam di seluruh dunia. Pada bulan ini, kita mengenang kelahiran Nabi Muhammad Saw, sang pembawa rahmat bagi seluruh alam. Peringatan Maulid Nabi bukan hanya sekadar perayaan lahiriah namun ia adalah momen rohani yang sarat makna. Di dalamnya terdapat majelis ilmu, lantunan shalawat, dan pembacaan kitab sirah Nabi.
Salah satu kitab yang paling banyak dibaca dalam majelis-majelis Maulid adalah Shimtuddurar. Kitab ini merupakan karya agung Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Baik di nusantara maupun di belahan dunia Islam lainnya, Shimtuddurar menjadi bacaan utama. Kitab ini bukan sekadar kumpulan kata-kata indah tetapi jendela ruhani yang membuka jalan bagi umat untuk semakin dekat dengan Rasulullah Saw. Setiap baitnya mengajak pembaca dan pendengar larut dalam kisah kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Biografi Singkat Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi
Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi lahir di kota Qasam, Hadramaut, Yaman, pada Jumat, 24 Syawal 1259 H (17 November 1843 M). Beliau wafat di kota Seiwun pada Ahad, 20 Rabi‘ul Akhir 1333 H (6 Maret 1915 M). Sejak kecil, Habib Ali adalah pecinta al-Qur’an dan sangat mencintai Rasulullah Saw.
Beliau tumbuh di bawah asuhan orang tuanya, Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi dan Ibunya adalah Syarifah Alawiyyah binti Husain al-Jufri.
Habib Ali kecil telah mengkhatamkan al-Qur’an di usia muda. Beliau juga menguasai berbagai disiplin ilmu sebelum mencapai usia dewasa. Setelah usianya matang, para gurunya memberi izin untuk berdakwah. Sejak saat itu, majelis-majelis ilmu dan pengajian besar menjadikannya pusat perhatian. Habib Ali dihormati, dikagumi, dan dipercaya memimpin pertemuan-pertemuan penting.
Shimtuddurar: Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Nabi Muhammad Saw
Dari dakwah dan pengajaran Habib Ali, lahirlah banyak karya. Salah satu yang paling masyhur adalah Simṭuddurār fī Akhbār Mawlid Khayr al-Barriyah al-Mukhtār. Kitab ini dikenal sebagai “Untaian Mutiara tentang Kisah Kelahiran Makhluk Pilihan Terbaik.”
Kitab ini tersusun indah dengan gaya bahasa sastra Arab klasik yang lembut dan puitis serta sarat dengan simbol spiritual. Habib Ali memulai kitabnya dengan pujian kepada Allah Swt. Kemudian, ia melantunkan shalawat kepada Rasulullah Saw. Setelah itu, Habib Ali menguraikan kisah menjelang kelahiran Nabi dan mengisahkan peristiwa luar biasa yang menyertainya. Terakhir, ia menjelaskan tentang keagungan akhlak beliau.
Bagian yang paling sakral saat pembacaan Shimtuddurar adalah saat mahallulqiyam. Pada momen itu, seluruh jamaah berdiri. Mereka melantunkan shalawat dengan penuh haru. Mereka seolah-olah benar-benar menyambut kehadiran Rasulullah Saw di tengah-tengah mereka.
Keindahan kitab ini bukan hanya terletak pada kisahnya tetapi juga terletak pada irama bahasanya. Kata-katanya bagaikan untaian mutiara yang tidak hanya indah ketika mendengarnya tetapi juga mudah menyentuh hati. Oleh karena itu, kitab ini sangat cocok dibacakan dalam majelis dan biasanya diiringi lantunan hadrah atau tabuhan rebana.
Adapun pesan Abadi yang terkandung dalam Kitab Shimtuddurar ini setidaknya menyimpan tiga hal utama yaitu:
- Menguatkan Cinta kepada Nabi Muhammad Saw: Kitab ini mendorong kita untuk mengenal kisah hidup beliau.
- Menanamkan Rasa Syukur: Kitab ini menanamkan rasa syukur atas kelahiran Rasulullah sebagai rahmat terbesar bagi umat manusia.
- Menumbuhkan Semangat Meneladani Akhlak Nabi: Kitab ini mendorong kita untuk meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan-pesan ini tidak hadir dalam bentuk doktrin yang kaku tetapi tersampaikan lewat narasi yang indah sehingga mampu menyentuh batin para pembaca dan pendengarnya. Jamaah yang mendengarkan seolah-olah bukan hanya mengetahui sejarah tetapi mereka merasakan kehadiran ruhani Rasulullah Saw.
Shimtuddurar dalam Tradisi Muludan di Nusantara
Di nusantara, Shimtuddurar adalah bagian tak terpisahkan dari tradisi Muludan. Kitab ini dibacakan dengan penuh kekhidmatan di pesantren, kampung-kampung, di desa dan kota. Acara maulid sering menjadi momentum kebersamaan keluarga dengan menyiapkan hidangan, tetangga berkumpul, anak-anak ikut bershalawat dan semua yang hadir larut dalam hangatnya cinta kepada Rasulullah Saw.
Di era modern, Shimtuddurar telah mengajarkan bahwa spiritualitas dan budaya dapat berjalan beriringan. Majelis maulid bukan lagi sekadar ritual tahunan, melainkan ruang bersama untuk memperkuat identitas keislaman sekaligus mempererat persaudaraan di tengah masyarakat.
Membaca Shimtuddurar Sebagai Wujud Syukur
Melalui karyanya, Habib Ali al-Habsyi telah melampaui batas zaman. Ia tidak hanya menuturkan sejarah Rasulullah, tetapi juga berhasil mengikat hati umat dengan cinta yang tak pernah padam. Karena itu, membaca atau mendengarkan Simṭuddurār bukan hanya tradisi, melainkan wujud syukur. Ia adalah jalan untuk memperdalam cinta sekaligus memperbarui tekad meneladani Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari.
Di bulan Rabi‘ul Awwal ini, Shimtuddurar hadir sebagai pengingat bahwa cinta kepada Nabi tidak cukup dengan mengenang kelahirannya. Cinta sejati justru tampak ketika kita berusaha menghadirkan akhlak beliau dalam keseharian. Dengan begitu, maulid tidak berhenti sebagai perayaan semata, tetapi menjadi perjalanan spiritual yang terus hidup dan mengalir dalam kehidupan kita. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
