SURAU.CO – Ketika orang membicarakan asal mula penciptaan makhluk, kebanyakan langsung menyebut Nabi Adam sebagai manusia pertama. Namun, dalam khazanah keilmuan Islam, para ulama memunculkan pemahaman tentang Nur Muhammad yang mereka yakini sebagai makhluk pertama ciptaan Allah. Konsep ini sejak lama hidup dalam tradisi Islam, khususnya dalam sastra tasawuf. Mari kita simak kisahnya.
Adam dan Wasilah Nur Muhammad
Para ulama meriwayatkan kisah ketika Nabi Adam AS melakukan kesalahan karena memakan buah terlarang. Setelah itu, ia berdoa memohon ampun kepada Allah dengan wasilah Nur Muhammad. Allah lalu bertanya kepadanya, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengetahui Nur Muhammad?”
Adam pun menjawab, “Ketika ruh masuk ke dalam tubuhku, aku melihat kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah tertulis di tiang-tiang Arsy. Aku yakin Muhammad adalah makhluk paling Engkau cintai.”
Para perawi menegaskan jawaban Adam dengan sebuah hadis qudsi: “Seandainya tidak ada Muhammad, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu (Adam).” Riwayat ini membuat banyak ulama berkeyakinan bahwa Nur Muhammad lebih dulu ada daripada Nabi Adam. Bahkan, dalam riwayat lain, Allah berfirman, “Seandainya tidak ada engkau (Muhammad), niscaya Aku tidak akan menciptakan alam semesta.”
Proses Penciptaan Nur Muhammad
Literatur sufistik menjelaskan bahwa Allah menciptakan Nur Muhammad lebih dulu sebelum langit, bumi, dan seluruh makhluk hidup. Allah meletakkan cahaya ini dalam hijab-hijab tertentu, lalu memindahkannya dari satu hijab ke hijab lainnya. Nur Muhammad beribadah kepada Allah selama seribu tahun lamanya. Setelah melewati semua hijab, Allah mengeluarkannya dan menempatkannya di bumi.
Nabi Adam juga berwasiat kepada keturunannya agar mereka menjaga kesucian Nur Muhammad. Ia berpesan, “Janganlah engkau pindahkan Nur Muhammad yang ada dalam dirimu kecuali kepada perempuan-perempuan yang suci.” Wasiat ini menggambarkan betapa mulianya cahaya tersebut dalam pemandangan para nabi.
Sorotan cahaya Nur Muhammad berbeda dengan cahaya matahari, lampu, atau api yang bisa menyilaukan. Cahaya itu menenangkan. Semakin dekat seseorang kepada Nur Muhammad, semakin besar rasa kagum dan tenteram yang ia rasakan. Ketika Nabi Muhammad SAW lahir, cahaya tersebut muncul pada dirinya hingga menjulang tinggi ke langit.
Penjelasan Syekh Nawawi Banten
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar Nusantara pada abad ke-19 yang keilmuannya diakui hingga Timur Tengah, menjelaskan konsep ini dengan tegas.
Syekh Nawawi menegaskan bahwa konsep Nur Muhammad tidak sulit untuk dipahami. Menurutnya, Allah memang menciptakan Nur Muhammad sebagai makhluk pertama. Namun, Nur Muhammad tetap berstatus makhluk, bukan qadim seperti sifat-sifat Allah. Dengan penjelasan ini, keyakinan tentang Nur Muhammad tidak akan menodai aqidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Dalam Qashidah Al-Barzanji pada Hamisy Madarijus Shu’ud ila Iktisa’il Burud , Syekh Nawawi menyebutkan:
أصلي وأسلم على النور الموصوف بالتقدم والأوليه
Artinya: “Aku mengucap shalawat dan salam untuk cahaya yang mendahului sebelum segala makhluk dan awal di antara semua ciptaan.”
Syekh Nawawi menjelaskan bahwa Nur Muhammad adalah entitas makhluk pertama, bukan bagian dari dzat Allah. Dengan pemahaman itu, umat tetap menjaga jalur transendensi (tanzih) yang jelas membedakan Allah dari makhluk-Nya.
Hadis tentang Nur Muhammad
Syekh Nawawi juga mengutip beberapa hadis yang memperkuat konsep ini. Salah satunya hadis riwayat Jabir RA. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang pertama kali Allah ciptakan?” Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya Allah menciptakan nur nabimu sebelum segala sesuatu. Nur itu menyebar dengan kehendak Allah. Pada waktu itu belum ada Lauh, Qalam, surga, neraka, malaikat, manusia, jin, bumi, langit, matahari, dan bulan.”
Dalam hadis lain yang riwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Maysarah RA, ia bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, kapan kamu menjadi nabi?” Rasulullah menjawab, “Ketika Adam masih berada di antara roh dan jasad.”
Terlepas dari itu, memaknai konsep Nur Muhammad dapat membawa hikmah yang mendalam. Kita semakin menyadari betapa agungnya kedudukan Nabi Muhammad SAW. Beliau bukan sekadar penutup para nabi, tetapi juga menjadi alasan penciptaan alam semesta.
Dengan memahami konsep ini, semoga kita semakin meneguhkan kecintaan kepada Rasulullah, lebih banyak bershalawat, lebih bersyukur, dan lebih bersemangat meneladani beliau.
Sumber Referensi :
- As-Sayyid Ja’far Al-Barzanji, Qashidah Al-Barzanji pada Hamisy Madarijus Shu’ud ila Iktisa’il Burud.
- Syekh M. Nawawi Banten, Madarijus Shu’ud ila Iktisa’il Burud.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
