jURAU.CO – Para pembesar Quraisy di Mekah semakin resah. Dakwah Nabi Muhammad SAW terus meluas dan memikat hati banyak orang. Berbagai cara telah mereka coba untuk menghentikannya. Ejekan, hinaan, hingga intimidasi fisik seakan tidak mampu membendung arus kebenaran yang dibawa oleh sang Nabi. Kekhawatiran ini mendorong mereka untuk mengubah taktik.
Mereka merasa perlu mencoba jalur diplomasi yang lebih halus. Untuk tugas penting ini, mereka membutuhkan sosok yang paling dihormati. Pilihan jatuh pada ‘Utbah bin Rabi’ah. Ia adalah seorang tokoh terpandang, kaya raya, dan dikenal bijaksana serta cerdas dalam bernegosiasi. Para pemimpin Quraisy menaruh harapan besar di pundaknya. Mereka percaya ‘Utbah mampu meluluhkan hati Nabi dengan tawaran yang paling menggiurkan sekalipun.
Negosiasi dengan Nabi Muhammad
Dengan penuh keyakinan, ‘Utbah pun berangkat menemui Nabi Muhammad SAW. Ia menemukan sang Nabi sedang duduk seorang diri di dekat Ka’bah. Tanpa basa-basi, ‘Utbah langsung memulai misinya. Ia duduk di samping Nabi dan membuka percakapan dengan nada yang persuasif, memaparkan tujuan kedatangannya untuk mencari jalan tengah.
‘Utbah kemudian menyajikan serangkaian tawaran duniawi yang luar biasa. Ia berkata:
“Wahai keponakanku! Jika engkau menginginkan harta benda dengan dakwahmu itu, katakan saja dan kami akan memberikan harta apa pun yang engkau minta. Dan Jika engkau menginginkan kedudukan, kami akan memberimu kedudukan yang terhormat di antara kami. Jika engkau ingin menjadi raja kami pun akan mengangkatmu menjadi raja. Jika engkau menghendaki perempuan cantik molek, pilihlah gadis yang menurutmu paling cantik di antara warga Quraisy.”
Nabi Muhammad SAW mendengarkan setiap kata dari ‘Utbah dengan tenang dan saksama.Tidak ada sedikit pun ketertarikan di wajahnya. Semua iming-iming harta, takhta, dan wanita sama sekali tidak menggoyahkan pendiriannya. Setelah ‘Utbah selesai berbicara, Nabi dengan lembut bertanya apakah ia sudah selesai menyampaikan semua tawarannya. ‘Utbah pun mengiyakan.
Sebagai jawaban atas semua proposal duniawi itu, Nabi tidak membalasnya dengan negosiasi tandingan. Beliau memberikan jawaban yang menegaskan esensi dari misinya. Beliau berkata:
“Aku tidak menginginkan apa pun dari yang engkau tawarkan. Aku mendapat risalah samawi dan aku harus menyampaikannya pada kalian.”
Kemudian, Nabi Muhammad SAW menawarkan sesuatu yang jauh lebih berharga dari semua yang ditawarkan ‘Utbah. Beliau mulai membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa surat yang dibacakan adalah Surah Fussilat. ‘Utbah, yang datang sebagai negosiator ulung, kini berubah menjadi seorang pendengar yang terpaku.
Terpesona oleh Lantunan Al Qur’an
Lantunan ayat-ayat itu mengalir dengan keindahan bahasa yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Maknanya yang dalam menembus relung hatinya. ‘Utbah terdiam, seluruh perhatiannya tersedot oleh keagungan firman Allah SWT. Ia menyandarkan kedua tangannya ke belakang dan terus menyimak tanpa bisa berkata-kata. Pesona Al-Qur’an begitu kuat hingga ia lupa tujuan awalnya datang ke tempat itu.
Setelah Nabi selesai membacakan ayat-ayat tersebut dan melakukan sujud tilawah, ‘Utbah bangkit. Ia kembali kepada para pembesar Quraisy yang telah menantinya dengan penuh harap. Namun, raut wajah ‘Utbah telah berubah total. Melihat perubahannya, mereka langsung tahu bahwa misinya tidak berhasil.
‘Utbah kemudian memberikan laporannya. Namun, isinya sungguh di luar dugaan mereka. Ia berkata:
“Aku baru saja mendengar kalimat Muhammad, bukan syair, bukan pula sihir atau ramalan. Aku menyarankan kalian agar membiarkannya.”
Saran ‘Utbah membuat para pemimpin Quraisy sangat murka dan kecewa. Mereka tidak menyangka bahwa utusan andalan mereka justru terpengaruh oleh pesan yang seharusnya ia hentikan. Harapan mereka untuk mengakhiri dakwah Nabi melalui jalur diplomasi pun pupus. Dengan penuh amarah, mereka melontarkan tuduhan.
“Bangsat! Dia rupanya malah terkena sihir Muhammad.”
Kisah ini menjadi bukti nyata betapa kuatnya pengaruh Al-Qur’an. Keindahan dan kebenarannya mampu menyentuh hati siapa pun, bahkan seorang penentang yang paling gigih sekalipun. Peristiwa ini menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukanlah untuk tujuan duniawi, melainkan sebuah risalah suci yang nilainya jauh melampaui harta dan kekuasaan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
