Khazanah Opinion
Beranda » Berita » Ibadah Itu Rahasia, Jangan Dijual di Beranda Sosmed

Ibadah Itu Rahasia, Jangan Dijual di Beranda Sosmed

Seorang muslim shalat dalam keheningan, cahaya turun dari langit, melambangkan ibadah rahasia.
Lukisan filosofis yang menggambarkan kesunyian ibadah seorang hamba di hadapan Allah, tanpa sorotan manusia.

Ketika sunyi lebih fasih daripada sorak sorai

Ibadah adalah rahasia paling dalam antara manusia dan Tuhannya. Namun, di era digital, rahasia itu sering terbuka begitu saja. Orang memotret sajadahnya, mengunggah tangannya yang sedang menengadah, bahkan menambahkan caption panjang seolah hendak membuktikan kesalehan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ibadah masih menjadi ruang intim jiwa, atau sudah berubah menjadi etalase citra?

Dalam kitab Kimiyaus Sa’adah, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ibadah adalah jalan menuju kebahagiaan sejati. Bukan sekadar ritual lahiriah, tetapi perjalanan rahasia hati yang hanya Allah yang mengetahuinya. Maka, ketika ibadah dipamerkan, ruhnya bisa pudar, yang tersisa hanya kulit.

Jejak tangan yang tak terlihat

Saya pernah duduk di sebuah warung kopi kecil, seorang teman bercerita lirih,

“Aku sering merasa kalah, karena aku jarang upload foto ibadah. Orang-orang kayaknya lebih rajin shalat, lebih rajin ngaji. Padahal aku juga shalat, tapi nggak pernah aku tunjukkan.”

Saya tersenyum, lalu menjawab,

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“Kalau kamu merasa kalah hanya karena tak memamerkan ibadah, berarti kita sudah salah paham tentang ibadah itu sendiri. Justru yang tak terlihat itulah yang lebih murni.”

Kisah itu mengingatkan pada sabda Rasulullah ﷺ:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
“Barangsiapa beramal dengan maksud agar didengar orang lain, maka Allah akan memperdengarkan (aib)nya. Barangsiapa beramal dengan maksud agar dilihat orang lain, maka Allah akan menampakkan (hakikat)nya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Betapa dalam makna hadits ini. Ia seperti tamparan lembut, agar kita berhenti menjadikan ibadah sebagai panggung.

Cahaya yang justru bersembunyi

Al-Qur’an sendiri mengingatkan tentang ikhlas:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharap keridhaan Allah; kami tidak menghendaki balasan darimu, tidak pula ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)

Ayat ini memaparkan wajah ikhlas dalam bentuk paling jernih: amal tanpa sorotan, kebaikan tanpa tanda pagar, doa tanpa kamera.

Namun, dunia modern memutar balik logika itu. Di media sosial, seringkali yang lebih banyak “like” bukanlah doa yang khusyuk di sepertiga malam, tapi foto yang indah dengan caption ayat. Lalu, apakah salah membagikan ayat atau pengalaman ibadah? Tidak selalu. Yang berbahaya adalah niat yang tergeser—dari mencari ridha Allah menjadi mencari validasi manusia.

Lapar yang tidak kelihatan, doa yang tidak terdengar

Imam al-Ghazali menulis bahwa ibadah sejati adalah ibadah yang mengosongkan hati dari selain Allah. Ibarat orang berpuasa: lapar yang paling hakiki bukanlah perut, melainkan hati yang menahan dari segala bentuk pamrih.

Bayangkan seorang anak kecil yang setiap hari membantu ibunya di dapur. Ia tidak pernah mempostingnya, tidak pernah menceritakan ke teman-temannya. Tetapi cinta ibunya tahu, dan Allah pun tahu. Begitu pula dengan ibadah kita.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Seseorang bisa membaca seribu rakaat shalat, tetapi jika tujuannya untuk mengukir citra, mungkin nilainya lebih rendah dibanding satu rakaat seorang hamba yang menangis di sudut kamarnya tanpa ada yang tahu.

Dialog di dalam hati

Kadang kita perlu bercakap dengan hati sendiri.

Hati: “Kalau kau tidak upload, orang tak tahu kau rajin shalat.”
Jiwa: “Biarlah mereka tak tahu, yang penting Allah tahu.”
Hati: “Tapi kalau kau tunjukkan, bisa jadi inspirasi bagi orang.”
Jiwa: “Kalau benar ikhlas, inspirasi itu akan datang sendiri tanpa perlu panggung.”

Dialog semacam ini adalah medan jihad yang sesungguhnya.

Renungan Singkat

Keheningan adalah rumah ibadah yang sejati.
Saat dunia riuh dengan sorak-sorai dan tepuk tangan digital, jadikanlah hatimu sunyi tempat engkau bertemu Allah.

Langkah Praktis Menjaga Rahasia Ibadah

  1. Latih niat sebelum setiap ibadah. Ucapkan dalam hati: “Ya Allah, ini hanya untuk-Mu.”
  2. Kurangi dorongan berbagi di medsos. Jika ingin berbagi, pilihlah ilmu, bukan dokumentasi ibadah pribadi.
  3. Buat jurnal pribadi. Tulis doa dan rasa syukur di buku harian, bukan di feed publik.
  4. Temukan kebahagiaan dalam diam. Rasakan nikmatnya amal yang hanya Allah yang tahu.
  5. Tanyakan setiap kali ingin posting: “Apakah ini mendekatkan atau menjauhkan aku dari ikhlas?”

Cahaya yang tak perlu sorotan

Riset psikologi sosial (Gonzales & Hancock, 2011) menunjukkan bahwa media sosial memang meningkatkan kebutuhan validasi. Orang merasa dihargai saat mendapatkan “like” atau komentar positif. Tetapi riset itu juga memperingatkan bahwa ketergantungan pada validasi eksternal bisa merusak kepercayaan diri.

Jika riset ilmiah saja sudah memperingatkan bahayanya, apalagi agama. Bukankah Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا أَجْسَادِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan jasad kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Maka, ibadah bukanlah tentang sorotan kamera, melainkan cahaya batin yang menyala dalam sunyi.

 

Menutup dengan doa

Kita hidup di zaman ketika segalanya bisa diunggah, bahkan yang paling pribadi. Namun, semoga kita tetap mampu menjaga rahasia yang paling indah: rahasia ibadah.

Ya Allah, jadikan ibadah kami rahasia antara kami dan Engkau. Lindungi hati kami dari riya, jauhkan amal kami dari panggung kepura-puraan, dan terimalah sekecil apapun kebaikan yang tersembunyi.

Apakah kita siap menjaga rahasia itu, atau kita masih ingin menjualnya di beranda sosial media?

 

* Sugianto al-Jawi

Budayawan Kontenporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement