Ada orang yang mengira doa adalah semacam surat permintaan resmi. Kita menulis, mengajukan, lalu menunggu “respon” dari langit. Tapi kitab Kimiya’us Sa’adah mengingatkan: doa bukanlah cara kita mengatur Allah, melainkan cara kita meruntuhkan ego, merobohkan kesombongan diri, dan menyadari bahwa kita hanyalah hamba.
Frasa kunci doa bukan mengatur Allah menjadi pijakan penting di sini. Doa adalah ruang di mana manusia belajar menundukkan diri, menemukan makna hidup, dan melepaskan diri dari ilusi kuasa.
Di Persimpangan Sunyi, Doa Jadi Nafas
Saya pernah melihat seorang ibu di rumah sakit menengadahkan tangan, berbisik lirih sambil menatap anaknya yang terbaring lemah. Tidak ada retorika indah, hanya air mata. Doanya bukan perintah, melainkan kepasrahan.
Dalam momen itu saya tersadar: doa sejati bukanlah kalimat yang ingin “memaksa” surga menuruti, melainkan tarikan napas yang melepaskan beban bumi.
Al-Qur’an menegaskan:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ghafir: 60)
Makna ayat ini bukan jaminan instan, melainkan janji bahwa setiap doa, sekecil apa pun, tidak hilang. Ia bisa berwujud ketenangan, jalan keluar, atau bahkan sekadar kekuatan hati untuk bertahan.
Percakapan Hati yang Tak Terucap
Kadang doa tak berupa kata-kata. Ia bisa lahir dalam detak jantung yang resah, atau dalam diam panjang di sajadah.
Seorang kawan pernah berkata kepada saya:
- “Aku sudah capek berdoa, seolah Allah tak mendengar.”
- Saya menjawab: “Boleh jadi, justru saat kau berhenti berdoa, barulah kau benar-benar kehilangan.”
Doa bukan soal jawaban yang kita mau, tapi soal keberlangsungan hubungan. Ia mirip percakapan seorang anak dengan ibunya—bukan untuk memerintah, tapi untuk merasa dekat.
Meruntuhkan Ego, Menyembuhkan Luka
Doa adalah latihan mengakui bahwa kita terbatas. Bahwa sehebat-hebatnya strategi, ada ruang yang tak bisa kita kuasai. Itulah wilayah doa.
Hadis Nabi ﷺ menyebut:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa itu adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi)
Mengapa doa disamakan dengan ibadah? Karena saat berdoa, kita sedang mengosongkan ego, mengisi ruang batin dengan pengakuan bahwa segala sesuatu kembali pada-Nya.
Psikologi modern pun membuktikan, praktik doa atau meditasi spiritual dapat menurunkan tingkat stres, memperbaiki kesehatan mental, dan memberi daya tahan emosional. Jadi, doa bukan sekadar ritus, tapi terapi jiwa yang nyata.
Renungan Singkat
Doa sejati bukan mengatur Allah, melainkan mengatur diri agar siap menerima apa pun dari-Nya.
Dari Ritual ke Kehidupan Sehari-hari
Sayangnya, banyak orang memperlakukan doa seperti “kontrak kerja.” Kalau permintaan tidak terkabul, mereka kecewa. Padahal doa bukan soal transaksi, tapi transformasi.
Contoh kecil: seorang pedagang yang sebelum membuka toko selalu berdoa, bukan supaya dagangannya laris, melainkan supaya hatinya lapang. Dengan begitu, entah ada pembeli atau tidak, ia tetap pulang dengan hati damai.
Doa sejati bukan hanya di masjid, tapi juga di jalanan, di ruang kerja, di dapur. Bahkan ketika seorang ayah menatap anaknya yang tidur pulas, itulah doa tanpa suara.
Langkah Praktis
- Sediakan waktu 5 menit setiap hari hanya untuk berdoa tanpa permintaan—sekadar bersyukur.
- Saat berdoa, sebutkan bukan hanya apa yang diinginkan, tapi juga apa yang ditakuti dan ditolak diri.
- Latih doa dalam bentuk perbuatan—misalnya mendoakan dengan memberi sedekah atau menolong orang lain.
Cahaya Doa di Tengah Gelapnya Zaman
Fenomena sosial hari ini: orang lebih banyak “berdoa” di media sosial ketimbang kepada Allah. Mereka menuliskan keluh kesah, berharap ada yang simpati. Padahal doa bukan status, doa adalah keintiman.
Doa itu seperti lilin kecil di tengah padamnya lampu. Tidak menyelesaikan semua masalah, tapi cukup membuat kita melihat jalan di depan.
Doa bukan mengatur Allah, doa justru mengatur ulang hati kita agar tidak buta oleh ambisi.
Penutup: Sujud yang Menyambungkan Langit
Pada akhirnya, doa adalah sujud batin. Ia bukan tentang hasil, melainkan tentang hubungan. Seperti seorang musafir yang lelah, ia duduk, menengadah, dan merasa pulang.
Mari kita akhiri renungan ini dengan doa:
اللهم اجعلنا من عبادك الذين يدعونك بإخلاص وتواضع، واملأ قلوبنا بالرضا بقضائك
“Ya Allah, jadikan kami hamba-Mu yang berdoa dengan tulus dan rendah hati, serta penuhi hati kami dengan ridha pada ketentuan-Mu.”
Apakah doa yang kita panjatkan hari ini masih sekadar daftar permintaan, atau sudah menjadi jembatan pulang menuju Allah?
* Sugianto al-Jawi
Budayawan Kontenporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
