Ilmu itu obor, bukan pajangan rak buku. Kalimat ini bukan sekadar metafora, tetapi sebuah tamparan yang lembut untuk zaman kita hari ini. Di era ketika pengetahuan bisa diunduh hanya dalam hitungan detik, sering kali ia berhenti menjadi sekadar tumpukan teks digital atau deretan buku yang berdebu di rak. Padahal, Imam al-Ghazali dalam Kimiya’us Sa’adah menegaskan: ilmu sejati adalah yang menuntun hati menuju Allah, bukan yang hanya mengisi kepala tanpa arah.
Cahaya yang Menyala di Tengah Gelap
Saya teringat sebuah kisah kecil. Seorang teman kuliah saya dulu, begitu rajin mencatat dan membaca buku tebal. Namun, ketika dihadapkan pada pilihan hidup—antara menolong temannya atau mengejar prestasi—ia ragu. Di situ saya melihat betapa ilmu yang belum menyala di hati hanya jadi aksesoris. Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu ibarat pelita; ia harus menerangi jalan, bukan sekadar menjadi benda indah.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini bukan hanya janji derajat, melainkan penegasan bahwa iman harus menghidupkan ilmu. Tanpa itu, ia hanyalah lampu tanpa listrik.
Ketika Pengetahuan Menjadi Topeng
Dalam fenomena sosial hari ini, banyak orang berdebat panjang di media sosial. Mereka mengutip ayat, hadis, bahkan teori ilmiah. Tapi seringkali tujuannya bukan pencerahan, melainkan pembuktian ego. Ilmu jadi topeng, bukan cahaya. Seperti kata seorang sahabat saya dalam obrolan warung kopi:
A: “Kamu pintar, tapi kenapa jarang menolong?”
B: “Aku sibuk membaca, bukankah itu juga ibadah?”
A: “Kalau bacaanmu tidak membuatmu peduli, mungkin yang kau baca cuma kertas, bukan kebenaran.”
Dialog sederhana itu seperti menegaskan pesan al-Ghazali: ilmu sejati mengubah perilaku, bukan hanya menambah koleksi.
Hadis Rasulullah ﷺ mengingatkan:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Di sini, ilmu disebut bersama sedekah dan doa anak saleh. Artinya, ilmu sejati itu harus berguna, mengalir terus setelah kita tiada. Bukan hanya catatan akademik, melainkan bekas terang di hati orang lain.
Bagaimana ilmu bisa menjadi obor?
- Niatkan belajar sebagai ibadah, bukan sekadar pencapaian sosial.
- Ajarkan atau bagikan, meski hanya satu kalimat yang bermakna.
- Amalkan langsung, meski kecil. Jangan tunggu sempurna.
- Jaga hati dari kesombongan, karena ilmu tanpa rendah hati akan meredup.
Renungan Singkat
Ilmu bukanlah beban di pundak, tapi cahaya di tangan. Ia bukan koleksi gelar, melainkan denyut yang membuat kita lebih manusiawi. Saya belajar dari seorang pedagang kaki lima yang buta huruf tapi rajin shalat tepat waktu. Ilmunya sederhana, tapi tindakannya jadi terang yang menuntun banyak orang di sekitarnya.
Riset psikologi pendidikan (Brookfield, 2017) menyebut bahwa pembelajaran bermakna adalah ketika ilmu diinternalisasi dalam sikap dan tindakan, bukan hanya dihafal. Ini sejalan dengan warisan al-Ghazali, bahwa ilmu adalah transformasi jiwa, bukan hanya informasi.
Jalan Sunyi Menuju Kehidupan
Ketika kita menjadikan ilmu sebagai obor, hidup tidak lagi gelap. Jalan yang kita tempuh mungkin tetap terjal, tapi ada cahaya yang menuntun. Obor itu bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk berjalan, bersama orang lain, menuju kebaikan.
Mari kita bertanya pada diri sendiri: ilmu yang kita punya, apakah sudah menjadi cahaya, atau masih sekadar hiasan rak buku?
Semoga Allah menjadikan ilmu kita penerang hati, penuntun langkah, dan warisan abadi yang tetap hidup meski kita sudah tiada. آمين.
* Sugianto al-Jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
