SURAU.co, Di era yang memuja lahiriah, bisik-bisik jiwa merindukan sunyi. Inilah jalan pulang yang ditawarkan para sufi.
Coba anda bayangkan ini: jari-jari kita geser tak henti di layar, membanjiri pikiran dengan informasi. Telinga kita diserang oleh riuh rendah notifikasi dan debat dunia maya. Kita berlari mengejar target, likes, dan pengakuan. Di luar, senyum terkembang. Di dalam, seringkali ada keheningan yang memilukan; sebuah kegelisahan yang tak bisa dijelaskan.
Di puncak segala pencapaian material, justru pertanyaan terdalam sering muncul: “Apakah ini cukup? Untuk apa semua ini?”
Jiwa yang haus tak bisa dikenyangkan oleh gemerlap dunia. Ia rindu pada sesuatu yang lebih hakiki. Dan dalam khazanah Islam, jawaban atas kerinduan itu memiliki nama: Suluk dan Tarekat.
Zaman Bising, Jiwa yang Rindu Sunyi
Modernitas datang dengan segala janji kemudahannya. Namun, tanpa disadari, ia juga menyuntikkan virus kegelisahan baru. Kita terkoneksi secara digital, tetapi terdiskoneksi secara spiritual. Kita kaya akan informasi, tetapi miskin makna.
Inilah paradigma zaman now: hidup terasa datar, sekedar mengejar yang lahir, sambil mengubur dahaga batin. Di titik nadir inilah, suara hati berbisik lirih, mengajak kita untuk berhenti sejenak, mundur dari keramaian, dan mendengarkan.
Mengurai Makna Suluk: Perjalanan Sang Pencari (Salik)
Apa itu Suluk?
Secara harfiah, suluk berarti “berjalan”. Bukan jalan biasa, melainkan sebuah perjalanan spiritual vertikal menuju Sang Maha Pemilik Hati.
Suluk adalah disiplin olah kalbu. Sebuah latihan intensif untuk menjinakkan nafsu ammarah, menjernihkan pikiran dari polusi dunia, dan menumbuhkan kesadaran penuh (muraqabah) bahwa setiap detak nadi kita adalah atas kehendak-Nya.
Seorang salik (pejalan spiritual) akan melalui fase-fase pemurnian diri:
· Mujahadah: Pergulatan sungguh-sungguh melawan ego dan hawa nafsu.
· Riyadhah: Melatih diri dengan disiplin ibadah dan akhlak.
· Khalwat: Menyepi untuk mengosongkan diri dari segala selain Allah, hanya berisi dengan Dzikirullah.
Keindahan suluk terletak pada personalisasinya. Setiap orang punya starting point dan kecepatan sendiri. Namun, destinasi akhirnya sama: Liqa’ullah (Pertemuan dengan Ilahi).
Tarekat: Peta dan Navigator di Jalan Spiritual
Berjalan sendiri di jalan sunyi rentan tersesat. Di sinilah Tarekat berperan sebagai penuntun.
Tarekat sering disalahpahami sebagai organisasi eksklusif atau kumpulan wirid semata. Hakikatnya, ia adalah sebuah metode tarbiyah ruhaniyah (pendidikan spiritual) yang sanad keilmuannya bersambung hingga Rasulullah SAW.
Dalam tarekat, terdapat seorang Mursyid Kamil (guru spiritual yang sempurna) yang bertindak sebagai pemandu. Perannya ibarat dokter jiwa yang mendiagnosis penyakit hati muridnya (salik) dan memberikan obat (riyadhah, dzikir, dan bimbingan) yang tepat.
Relasi Mursyid dan Murid bukan hubungan hierarkis, tetapi ikatan batin berdasarkan cinta dan keikhlasan untuk tazkiyatun nafs (pensucian jiwa).
Tarekat mengajarkan:
· Tazkiyah: Mensucikan jiwa dari akhlak tercela.
· Takhalli: Mengosongkan hati dari selain Allah.
· Tahalli: Menghiasi diri dengan akhlak mulia.
· Tajalli: Terkabulnya cahaya Ilahi dalam hati.
Inilah “sekolah hati” yang melengkapi pendidikan akal kita. Jika dunia mengajarimu how to make a living, tarekat mengajarkan how to make a life.
Meluruskan Stigma: Tarekat Bukan Bid’ah
Sayang, masih banyak stigma negatif yang melekat. Tarekat sering dituduh kolot, bid’ah, atau bahkan sesat. Stigma ini lahir dari dua hal:
Minimnya Pemahaman: Penilaian sering hanya berdasarkan kulit luar, tanpa menyelami hakikat dan syariat yang menjadi pondasinya.
Adanya Oknum: Segelintir kelompok yang menyimpang dan menyalahgunakan nama tarekat telah mencemari citra suci seluruhnya.
Padahal, tarekat yang sahih justru sangat menjaga kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Seorang Mursyid sejati tidak akan pernah mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Justru, ia adalah penjaga syariat itu sendiri.
Relevansi Abadi: Antara Dzikir dan Digital
Lantas, masih relevankah ia di era digital? Bahkan sangat relevan!
Justru di zaman yang makin bising ini, kita (lebih membutuhkan) suluk. Kita memerlukan digital detox untuk beralih kepada spiritual retox.
Tarekat mengajarkan kita untuk mengelola hati di tengah timeline yang chaos. Ia adalah anchor yang mengokohkan jiwa saat badai informasi menerpa.
Bayangkan jika para pemimpin, pengusaha, dan generasi muda memiliki ketenangan batin yang didapat dari riyadhah ruhaniyah. Niscaya, integritas, kejujuran, dan kasih sayang akan menjadi napas kehidupan berbangsa. Tarekat bukanlah pelarian dari dunia, tetapi modal untuk mengubah dunia dari dalam hati.
Refleksi: Memulai dari Langkah Sederhana
Anda tak perlu langsung pergi ke gua dan menyepi. Jalan suluk bisa dimulai dari hari ini, dari mana saja:
· Mulailah dengan disiplin dzikir pagi-petang.
· Jaga shalat berjamaah dan shalat sunnah dengan kesungguhan.
· Latih diri untuk tawaḍu’ (rendah hati) dan qana’ah (merasa cukup).
· Kendalikan lisan dari ghibah dan mata dari yang haram.
Ini adalah suluk sehari-hari. Jalan ini sunyi, tidak instan, dan penuh ujian. Tapi di balik kesunyiannya, ada kedamaian yang tak terucapkan.
Jalan Sunyi yang Abadi
Warisan para sufi ini bagai oase di padang pasir modern. Ia tak pernah usang. Dari zaman Rasulullah hingga era metaverse, hati yang tulus mencari Tuhan akan selalu menemukan jalannya.
Suluk dan tarekat mengingatkan kita bahwa teknologi boleh maju, tetapi kompas hati harus tetap menunjuk ke arah yang sama: Allah SWT.
Ketenangan sejati bukanlah sesuatu yang kita cari di luar. Ia adalah cahaya yang kita bangkitkan dari dalam. Dan mungkin, inilah saatnya untuk mendengarkan bisikan itu, untuk memulai perjalanan pulang.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
