Opinion
Beranda » Berita » Perlindungan Hak Non-Muslim dalam Perspektif Islam dan Hukum Indonesia

Perlindungan Hak Non-Muslim dalam Perspektif Islam dan Hukum Indonesia

Perlindungan Hak Non-Muslim dalam Perspektif Islam dan Hukum Indonesia
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com.

SURAU.CO. Indonesia sejak awal berdirinya dikenal sebagai negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Sejak masa pergerakan nasional, para pendiri bangsa sudah memahami bahwa keberagaman merupakan modal sosial sekaligus tantangan. Oleh karena itu, mereka menegaskan dalam hukum negara bahwa setiap warga negara berhak memeluk agama sesuai keyakinannya.

Selain itu, kenyataan sosial Indonesia memperlihatkan kehidupan yang sangat plural. Masjid berdiri di samping gereja, pura berdekatan dengan vihara, dan hari besar keagamaan masuk dalam kalender nasional. Dengan demikian, kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari interaksi lintas agama.

Namun, pertanyaan terus muncul: bagaimana posisi non-Muslim di tengah masyarakat yang mayoritas Muslim? Pertanyaan ini penting karena mayoritas seringkali memiliki peran dominan dalam menentukan arah kehidupan berbangsa.

 

Prinsip Perlindungan dalam Islam

Islam menawarkan fondasi yang sangat kuat mengenai perlindungan non-Muslim. Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).

Ayat tersebut menegaskan bahwa umat Islam harus menjalin hubungan yang adil dan baik dengan non-Muslim selama tidak ada permusuhan. Selain itu, Rasulullah SAW memberikan peringatan keras:

“Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka aku menjadi lawannya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).

Dengan dasar ini, Islam menempatkan perlindungan non-Muslim bukan sebagai pilihan tambahan, melainkan sebagai kewajiban moral. Kemudian, sejarah mencatat bahwa konsep ahl al-dzimmah muncul untuk memberikan jaminan keamanan, perlindungan harta, dan kebebasan beribadah bagi non-Muslim di wilayah Islam.

Lebih lanjut, tradisi ini menunjukkan bahwa keadilan dalam Islam bersifat universal. Bahkan, keadilan tersebut berlaku melampaui batas keanggotaan agama. Oleh karena itu, relevansi prinsip ini bagi Indonesia modern sangat besar. Masyarakat tidak boleh menganggap non-Muslim sebagai pihak luar, melainkan harus melihat mereka sebagai bagian yang sama-sama berhak atas perlindungan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

 

Jaminan Konstitusional dalam Hukum Indonesia

Selain dari perspektif agama, hukum Indonesia memberikan jaminan yang sangat jelas. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Kemudian, Pasal 29 ayat (2) menambahkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah sesuai keyakinannya.

Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM memperkuat prinsip tersebut. Undang-undang ini melarang segala bentuk diskriminasi atas dasar agama. Dengan begitu, posisi non-Muslim secara hukum sama sekali tidak berbeda dengan Muslim. Mereka memiliki hak politik, hak ekonomi, hak pendidikan, serta hak sipil lainnya.

Jika melihat praktik politik, banyak tokoh non-Muslim yang berhasil menduduki jabatan strategis di pemerintahan maupun lembaga legislatif. Hal ini menunjukkan bahwa secara konstitusional pintu kesetaraan terbuka lebar.

 

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Implementasi dalam Praktik: Tantangan dan Realitas

Meskipun dasar hukum dan ajaran Islam sama-sama menekankan perlindungan, implementasi di lapangan seringkali menghadapi tantangan. Salah satu persoalan paling nyata ialah pendirian rumah ibadah.

PBM 2006 atau Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 mewajibkan 90 pengguna tetap mendukung pembangunan rumah ibadah serta 60 warga setempat memberikan persetujuan. Selain itu, rekomendasi FKUB juga menjadi syarat penting.

Ketentuan ini tampak netral, tetapi dalam kenyataan sering mempersulit minoritas. Misalnya, jemaat gereja di wilayah dengan jumlah kecil sangat sulit memenuhi syarat administratif tersebut. Akibatnya, pembangunan rumah ibadah tertunda bertahun-tahun. Kasus GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi menjadi contoh nyata bagaimana hambatan administratif berubah menjadi diskriminasi sosial.

Selain itu, non-Muslim juga pernah mengalami hambatan administratif lain, terutama sebelum adanya putusan MK 2016. Misalnya, penghayat kepercayaan tidak bisa mencatatkan agama mereka di KTP. Kondisi ini menyebabkan akses mereka terhadap pendidikan dan pernikahan menjadi terbatas.

 

Putusan Penting Mahkamah Konstitusi

Momentum perubahan signifikan datang melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016. Putusan ini menyatakan bahwa penghayat kepercayaan berhak mencantumkan identitas kepercayaan di KTP, sama seperti pemeluk agama resmi lainnya.

Sebelumnya, kolom agama dalam KTP harus diisi dengan salah satu dari enam agama yang diakui negara. Akibatnya, penghayat kepercayaan sering mengalami diskriminasi. Setelah putusan MK, akses mereka terhadap layanan publik semakin terbuka.

Dengan demikian, putusan MK ini memperlihatkan bahwa hukum dapat menjadi instrumen penting untuk memperluas perlindungan. Selain itu, putusan ini juga menegaskan prinsip kesetaraan yang sudah diamanatkan oleh UUD 1945.

 

Harmoni antara Islam dan Hukum Indonesia

Apabila ditinjau secara mendalam, nilai-nilai Islam dan prinsip hukum Indonesia justru saling melengkapi. Islam menekankan keadilan, sedangkan hukum Indonesia menyediakan perangkat legal untuk memastikan keadilan itu berjalan.

Namun, harmoni tersebut hanya bisa terwujud jika semua pihak berkomitmen. Pemerintah harus bertindak konsisten dalam menegakkan hukum. Masyarakat Muslim sebagai mayoritas harus meneladani ajaran Islam tentang keadilan dan rahmat. Di sisi lain, non-Muslim juga perlu berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial tanpa merasa inferior.

Oleh karena itu, sinergi antara ajaran agama dan hukum negara menjadi kunci bagi terwujudnya kehidupan harmonis. Dengan langkah ini, perlindungan hak non-Muslim dapat benar-benar hadir, bukan hanya dalam teks hukum, melainkan juga dalam realitas sehari-hari.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement