Opinion
Beranda » Berita » Memaafkan Kesalahan Orang Lain: Membuka Ruang Lapang di Hati

Memaafkan Kesalahan Orang Lain: Membuka Ruang Lapang di Hati

Pelangi di langit cerah setelah hujan, simbol keindahan pemaafan.
Awan mendung tersibak, langit biru kembali terlihat, dan pelangi muncul di ufuk. Simbol bahwa setelah hujan luka, maaf melahirkan keindahan baru dalam hidup.

Dalam hidup, setiap manusia pernah tergelincir dalam salah. Ada yang sengaja melukai, ada pula yang tanpa sadar menorehkan luka. Hati, layaknya sawah yang luas, terkadang tercemar oleh rumput liar berupa dendam dan amarah. Bila tidak dibersihkan, benih kebaikan yang kita tabur sulit tumbuh. Karena itu, memaafkan kesalahan orang lain bukan sekadar ajaran luhur, tetapi jalan untuk membuka ruang lapang di hati, agar hidup kembali subur dan damai.

Maaf sebagai Laku Spiritual

Memaafkan tidak sekadar perbuatan sosial, melainkan laku spiritual yang menyentuh kedalaman jiwa. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(yaitu) orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Ayat ini mengajarkan bahwa menahan amarah dan memberi maaf adalah jalan menuju cinta Allah. Ibarat petani yang menahan diri untuk tidak membakar ladang meski penuh gulma, ia memilih mencabutinya dengan sabar, agar tanah tetap subur. Begitu pula hati: bila dibiarkan menyala oleh amarah, ia akan menjadi abu. Tetapi bila disirami dengan maaf, ia kembali menjadi tanah basah yang siap menumbuhkan kehidupan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Maaf adalah doa yang tidak diucapkan dengan kata, melainkan dihayati dengan jiwa. Ia mengalir seperti air hujan yang jatuh dari langit, membersihkan debu dan menyuburkan bumi.

Mengapa Memberi Maaf Lebih Sulit dari Meminta Maaf

Meminta maaf ibarat mengetuk pintu rumah orang lain. Kadang dengan sedikit keberanian, pintu bisa terbuka. Tetapi memberi maaf jauh lebih dalam: ia seperti membuka pintu hati sendiri, tempat kita menyimpan rasa sakit. Itulah mengapa banyak orang bisa mengucapkan permintaan maaf, tetapi sedikit yang mampu memberi maaf dengan tulus.

Memberi maaf berarti melepaskan beban. Ibarat petani yang memikul karung padi terlalu berat di pundaknya, ia bisa memilih terus menggerutu sepanjang jalan, atau meletakkannya sejenak agar tubuhnya lega. Dendam dan sakit hati adalah beban yang kita pikul sendiri. Dengan memaafkan, kita tidak sedang menghapus kesalahan orang lain, melainkan membebaskan diri dari belenggu rasa sakit.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

ارْحَمُوا تُرْحَمُوا، وَاغْفِرُوا يَغْفِرِ اللَّهُ لَكُمْ

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“Sayangilah, niscaya kalian disayangi. Maafkanlah, niscaya Allah akan memaafkan kalian.” (HR. Ahmad)

Hadits ini mengingatkan bahwa setiap maaf yang kita berikan, sejatinya adalah undangan bagi ampunan Allah untuk kita sendiri.

Ungkapan Jawa: “Ngalah urip berkah.”

Ada sebuah pitutur tua: “Ngalah urip berkah.” Mengalah bukan berarti kalah, melainkan memilih jalan yang lebih lapang. Seperti aliran sungai yang mengalah dari batu besar di tengah jalannya. Ia tidak berhenti, tidak membentur, tetapi mengalir perlahan ke samping. Pada akhirnya, air itulah yang mengikis batu hingga hilang bentuknya.

Dalam kehidupan, mengalah dan memberi maaf sering dianggap merugikan. Tetapi sesungguhnya, di situlah letak keberkahan. Orang yang hatinya lapang tidak kehilangan apa-apa; justru ia mendapat ketenangan yang tidak bisa dibeli dengan harta. Hidupnya ringan, wajahnya teduh, langkahnya tidak terbebani.

Ketika hati memilih memberi maaf, sebenarnya ia sedang menanam benih kebahagiaan. Ibarat sawah yang dibiarkan menerima aliran air, kelak ia akan menumbuhkan padi yang berbuah lebat. Begitu pula orang yang berlapang hati, hidupnya akan berbuah berkah.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Pemaafan sebagai Terapi Jiwa

Menyimpan dendam sama dengan menyimpan bara api di genggaman. Semakin lama kita memeluknya, semakin perih yang terasa. Banyak orang jatuh sakit, bukan karena tubuhnya lemah, melainkan karena hatinya terlalu berat menahan luka.

Memaafkan adalah terapi jiwa. Ia menenangkan pikiran, menurunkan beban, bahkan bisa menyehatkan raga. Hati yang lapang membuat tidur nyenyak, pernapasan teratur, dan tubuh lebih ringan.

Ibnu Athaillah al-Sakandari dalam al-Hikam pernah menulis: “Jika engkau ingin Allah membukakan pintu pengharapan untukmu, maka lihatlah apa yang engkau berikan kepada orang lain.” Memberi maaf adalah salah satu pemberian yang paling besar, karena ia tidak hanya meringankan orang lain, tetapi juga menyembuhkan luka dalam diri sendiri.

Pemaafan tidak selalu berarti harus kembali akrab seperti sediakala. Kadang, memaafkan cukup dengan menenangkan hati tanpa harus membuka pintu yang sama. Yang penting, tidak ada lagi bara dendam yang membakar jiwa.

Penutup: Hati yang Lapang adalah Rumah yang Damai

Hidup ini singkat, seperti embun pagi yang cepat menguap. Tidak ada gunanya kita menggenggam dendam terlalu lama. Lebih baik hati menjadi rumah yang lapang, tempat setiap tamu—baik kesalahan maupun kebaikan—datang dan pergi tanpa meninggalkan luka.

Memaafkan kesalahan orang lain bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang tersembunyi. Ia ibarat gamelan yang meredakan suasana, tembang yang menenteramkan, atau angin sore yang membawa kesejukan. Dengan memaafkan, kita sedang membuka pintu cahaya, agar hidup kita dipenuhi kedamaian.

* Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement