Opinion
Beranda » Berita » Menahan Amarah: Jalan Sunyi Menuju Kedewasaan Jiwa

Menahan Amarah: Jalan Sunyi Menuju Kedewasaan Jiwa

Api kecil di perapian dapur, simbol mengendalikan amarah agar bermanfaat
Perapian dapur tradisional dengan panci tanah liat dan lampu minyak, api kecil menyala tenang tanpa membesar.

Dalam kehidupan sehari-hari, amarah kerap hadir tanpa diundang. Terkadang ia muncul saat pekerjaan menumpuk, kata-kata tak pantas melukai hati, atau ketidakadilan menimpa diri. Namun, menahan amarah bukan berarti menyingkirkan perasaan itu. Sebaliknya, menahan amarah adalah proses menguasai diri—jalan sunyi yang menuntun jiwa pada kedewasaan. Dalam perspektif Islami, kontrol emosi Islami dan sabar dalam Islam menjadi kunci untuk mengolah amarah menjadi cahaya ketenangan.

Pepatah bijak mengingatkan: “Meneng ora tegese kalah, nanging tandha jiwa sing wus dewasa.” Diam bukan tanda kelemahan, tetapi lambang penguasaan diri. Jiwa yang mampu menahan amarah menapaki langkah-langkah kedewasaan batin.

Makna al-Kazhimīn al-Ghaizh

(Menahan amarah bukan memendam, tapi menguasai diri)

Al-Qur’an menyebut orang-orang yang menahan amarah dengan sebutan al-Kazhimīn al-Ghaizh:

“وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ”
(“Dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia; Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” – QS. Ali ‘Imran: 134)

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Menahan amarah bukan berarti memendam kemarahan hingga menjadi racun batin. Ia adalah seni mengalirkan emosi tanpa membiarkan diri diseretnya. Seperti sawah yang menahan hujan tanpa membanjiri jalan setapak, jiwa yang dewasa mampu menahan luapan amarah, kemudian menyalurkannya menjadi perbuatan baik atau pembelajaran batin.

Teladan Rasul dan Sahabat

(Kisah Rasulullah menahan marah kepada sahabat atau musuh)

Rasulullah ﷺ memberikan teladan nyata dalam menahan amarah. Dalam sebuah kisah, seorang sahabat datang dengan sikap kurang sopan. Rasulullah bisa saja menanggapi dengan kemarahan, namun beliau memilih diam, menenangkan diri, lalu memberi nasihat dengan lembut.

Sahabat lain pernah mencoba menguji kesabaran beliau dengan perilaku provokatif. Sekali lagi, Rasulullah menguasai diri, tidak tergesa-gesa membalas, dan bahkan memaafkan. Kesabaran beliau bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang mengendapkan kebijaksanaan.

Seperti angin yang menata daun-daun di pepohonan tanpa menghancurkannya, begitu juga menahan diri menata hati tanpa merusak hubungan.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Emotional Intelligence dalam Perspektif Islam

(Kesabaran sebagai kecerdasan hati, bukan kelemahan)

Kontrol emosi Islami sejatinya adalah bentuk emotional intelligence dalam perspektif Islam. Kesabaran bukan sekadar menahan ledakan emosi, tetapi memahami akar kemarahan, menenangkan hati, dan memilih respon yang bermanfaat.

Ibnu Athaillah al-Sakandari menulis dalam al-Hikam:
“Kesabaran adalah tongkat yang menopang jiwa di kala badai melanda, dan cahaya yang menerangi gelapnya hati.”

Ketika seseorang mampu mengelola emosi, ia tak hanya menghindari konflik, tetapi juga membangun kecerdasan hati—kemampuan memahami diri, orang lain, dan arah tindakan. Ini menegaskan bahwa menahan ledakan emosi adalah tanda kedewasaan, bukan kelemahan.

Manfaat Menahan Marah

(Kesehatan mental, keharmonisan sosial, rahmat Allah)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

  1. Kesehatan mental: Orang yang mampu menahan amarah cenderung lebih tenang, mengurangi stres, dan menjaga stabilitas psikologis. Seperti sungai yang jernih, hati yang terkendali memberi ketenangan bagi diri sendiri.

  2. Keharmonisan sosial: Hubungan antarindividu menjadi lebih lembut dan hangat. Tidak ada kata-kata kasar yang menyakiti, tidak ada permusuhan yang menahan langkah. Seperti gamelan yang saling mengiringi, kesabaran menata harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.

  3. Rahmat Allah: Allah menyukai orang yang menahan amarah dan memaafkan. Dengan sabar dalam Islam, kita membuka pintu rahmat-Nya. Hati menjadi lapang, kehidupan terasa ringan, dan langkah menuju kedewasaan batin semakin pasti.

Menahan amarah bukan perjalanan singkat. Ia adalah perjalanan sunyi, penuh kesadaran dan ketekunan. Seperti hujan yang meresap ke tanah, kesabaran menembus lapisan hati, menyuburkan kedamaian, dan menumbuhkan kebijaksanaan.

Dalam kesunyian itu, jiwa belajar bahwa meneng tidak berarti kalah. Diam yang dikawal kesabaran adalah tanda bahwa jiwa telah dewasa, dan langkah yang dipandu hikmah akan selalu menemukan cahaya dalam gelap. Seperti perapian dapur yang menyalakan hangat, menahan diri menyalakan ketenangan dalam setiap denyut hati.

* Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement