Opinion
Beranda » Berita » Nikah Siri Online: Kemudahan Semu di Era Digitalisasi Agama

Nikah Siri Online: Kemudahan Semu di Era Digitalisasi Agama

Ilustrasi nikah siri

SURAU.CO – Era digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Kini, teknologi merambah ranah yang sangat personal, termasuk urusan ibadah dan pernikahan. Salah satu fenomena yang mencuat adalah maraknya layanan nikah siri online. Platform digital ini menawarkan jalan pintas bagi pasangan untuk menikah secara agama tanpa melalui prosedur resmi negara.

Namun, kemudahan ini ternyata membuka kotak pandora berisi berbagai persoalan pelik. Fenomena ini memicu perdebatan sengit antara kemudahan teknologi, keabsahan syariat Islam, dan perlindungan hukum bagi pelakunya.

Daya Tarik di Balik Layar Gawai

Berbagai situs web dan akun media sosial secara terang-terangan menawarkan jasa nikah siri online. Mereka menjanjikan proses yang cepat, mudah, dan sangat privat. Calon pasangan hanya perlu mengisi formulir, mentransfer sejumlah biaya, lalu mengikuti prosesi ijab kabul melalui panggilan video.

Penyedia jasa biasanya sudah menyiapkan paket lengkap. Paket tersebut mencakup wali hakim, dua orang saksi, hingga ustadz yang memimpin prosesi. Setelah akad selesai, pasangan akan menerima sertifikat sebagai bukti pernikahan. Tentu saja, sertifikat ini tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali. Daya tarik utamanya adalah keinginan untuk menghindari birokrasi resmi yang mereka anggap rumit.

Perspektif Hukum Negara yang Tegas

Dari sudut pandang hukum positif, negara tidak mengakui pernikahan siri dalam bentuk apa pun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara jelas menyatakan hal ini. Aturan tersebut mewajibkan pejabat yang berwenang untuk mencatat setiap perkawinan. Tanpa pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), hukum menganggap pernikahan itu tidak pernah terjadi.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Akibatnya, nikah siri online membawa konsekuensi hukum yang serius. Pasangan tidak akan memiliki buku nikah sebagai bukti otentik. Kondisi ini akan mempersulit banyak urusan administratif di kemudian hari. Misalnya, istri tidak bisa menuntut hak hukum atas nafkah atau warisan. Selanjutnya, anak yang lahir dari pernikahan ini akan kesulitan mendapatkan akta kelahiran dengan nama ayah. Status hukum anak menjadi tidak jelas dan berpotensi kehilangan hak-hak sipilnya.

Keabsahan Menurut Syariat Islam: Sebuah Tanda Tanya Besar

Meskipun penyedia jasa menyebutnya “pernikahan agama”, banyak ulama justru meragukan keabsahannya. Menurut syariat Islam, sebuah pernikahan menjadi sah jika memenuhi lima rukun. Rukun tersebut meliputi adanya calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali nikah, dua saksi adil, serta ijab dan qabul.

Persoalan utama terletak pada pelaksanaan rukun tersebut secara daring. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan banyak ulama menegaskan bahwa rukun nikah menuntut kehadiran fisik. Ustadz Ahmad Syarifudin, seorang pengamat hukum Islam, menyatakan pandangannya.

“Pernikahan adalah akad yang sakral, membutuhkan kehadiran fisik dan kepastian atas semua rukun. Digitalisasi yang mengaburkan identitas wali dan saksi berpotensi besar merusak keabsahan akad tersebut.”

Kejelasan identitas wali dan saksi menjadi sangat kabur dalam format online. Kita tidak dapat memastikan siapa sebenarnya orang di balik layar tersebut. Apakah mereka benar-benar memenuhi syarat sebagai wali dan saksi? Pertanyaan ini membuat status pernikahan menjadi lemah dan berisiko tidak sah secara agama.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Risiko Sosial dan Perlindungan yang Hilang

Di luar perdebatan hukum dan agama, nikah siri online menciptakan kerentanan sosial yang sangat besar. Praktik ini paling merugikan pihak perempuan dan anak-anak. Tanpa perlindungan hukum, posisi tawar perempuan menjadi sangat lemah. Ia tidak bisa menuntut haknya jika suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga atau menelantarkannya.

Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih bijak dalam menyikapi fenomena ini. Kemudahan yang teknologi tawarkan seharusnya tidak mengorbankan prinsip-prinsip fundamental pernikahan. Pernikahan bukan sekadar akad sesaat. Ia adalah ikatan suci yang membawa konsekuensi hukum, sosial, dan agama. Memilih jalan pernikahan yang sah dan tercatat secara resmi adalah langkah terbaik untuk melindungi masa depan keluarga.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement