Berita mengenai kekerasan yang melibatkan remaja semakin sering kita dengar. Kasus perundungan, pengeroyokan, hingga penganiayaan brutal kini mudah ditemukan. Fenomena ini tentu menimbulkan kekhawatiran besar di tengah masyarakat. Banyak orang bertanya, mengapa anak-anak usia sekolah bisa melakukan tindakan sekejam itu? Ini bukan lagi sekadar kenakalan biasa. Untuk memahaminya, kita perlu menggali lebih dalam apa sebenarnya motif kekerasan pada remaja yang menjadi pemicu utamanya.
Analisis dari para ahli menunjukkan bahwa perilaku ini lahir dari kombinasi faktor psikologis dan sosial yang kompleks. Ini bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan hanya menyalahkan si anak. Ada akar masalah yang lebih dalam dan butuh perhatian serius dari semua pihak, terutama orang tua dan lingkungan sekitar.
Perspektif Kriminologi: Krisis Empati dan Pencarian Dominasi
Kekerasan remaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada berbagai faktor pendorong yang saling berkaitan. Haniva Hasna, M.Krim., seorang kriminolog dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa motifnya sangat beragam. Beberapa faktor utama yang ia soroti adalah kurangnya empati, kontrol emosi yang buruk, hingga keinginan kuat untuk menunjukkan eksistensi.
Remaja pelaku kekerasan sering kali tidak mampu merasakan penderitaan korbannya. Kemampuan mereka untuk berempati sangat rendah. Selain itu, mereka kesulitan mengelola emosi negatif seperti amarah atau rasa frustrasi. Akibatnya, kekerasan menjadi jalan pintas untuk meluapkan perasaan tersebut.
Keinginan untuk diakui juga menjadi pemicu yang kuat. Di era digital, remaja mengejar pengakuan melalui cara-cara yang salah. Mereka ingin terlihat kuat, berkuasa, dan superior di antara teman-temannya. Budaya meniru memperparah perilaku ini. Mereka melihat contoh kekerasan di media sosial atau lingkungan pergaulan, lalu menirunya.
Haniva Hasna menyatakan:
“Motif kekerasan yang dilakukan oleh remaja ini bisa sangat multifaktorial. Ada yang motifnya karena ingin menunjukkan eksistensi, ingin dianggap superior, dan mendominasi yang lain. Tindakan kekerasan dianggap sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan kekuasaan.”
Media sosial berperan besar dalam mempercepat penyebaran tren negatif ini. Video kekerasan yang viral bisa menjadi inspirasi bagi remaja lain. Mereka melihatnya sebagai sebuah pertunjukan kekuatan yang patut ditiru untuk mendapatkan status sosial.
Sisi Psikologis: Salah Arah dalam Pencarian Jati Diri
Dari sudut pandang psikologi, masa remaja adalah fase krusial pencarian jati diri. Psikolog Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi., yang akrab disapa Bunda Romi, memandang kekerasan ini sebagai wujud pencarian identitas yang salah arah. Para remaja ini aktif mencari pengakuan agar memiliki identitas yang kuat. Sayangnya, mereka justru memilih jalan kekerasan untuk mencapai tujuan tersebut.
Lingkungan memegang peranan vital dalam membentuk karakter seorang anak. Menurut Bunda Romi, ada tiga lingkungan utama yang memengaruhi remaja, yaitu keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Dari ketiganya, keluarga adalah fondasi terpenting. Ketika fondasi ini rapuh, anak akan mudah goyah.
Orang tua yang terlalu sibuk sering kali gagal membangun komunikasi hangat dengan anak. Mereka tidak punya waktu untuk mendengarkan keluh kesah atau membicarakan nilai-nilai penting. Akibatnya, anak merasa tidak diperhatikan dan mencari pengakuan di luar rumah. Mereka bergabung dengan kelompok yang menawarkan rasa memiliki, meskipun kelompok itu memiliki nilai-nilai negatif.
Bunda Romi menekankan pentingnya peran orang tua sejak dini.
“Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama. Jika orang tua tidak menanamkan nilai-nilai kebaikan, empati, dan cara menyelesaikan masalah tanpa kekerasan sejak kecil, anak akan mencari panutan lain di luar. Sering kali, panutan itu justru datang dari lingkungan pergaulan yang salah.”
Kurangnya figur teladan di rumah membuat remaja rentan terhadap pengaruh buruk. Mereka lebih mudah meniru perilaku teman-temannya tanpa berpikir panjang mengenai benar atau salah.
Mencegah Lebih Baik: Peran Kolektif Atasi Kekerasan Remaja
Untuk mencari solusi, kita harus memahami motif kekerasan pada remaja. Jelas, kita tidak bisa membebankan masalah ini pada satu pihak saja. Orang tua, institusi pendidikan, dan masyarakat luas harus bekerja sama secara kolektif untuk mengatasinya.
Orang tua harus menjadi garda terdepan. Luangkan waktu berkualitas untuk membangun ikatan emosional dengan anak. Jadilah pendengar yang baik dan teladan yang positif. Ajarkan mereka cara mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara damai.
Sekolah juga perlu menciptakan lingkungan yang aman dan anti-perundungan. Program pendidikan karakter dan pengembangan empati harus menjadi prioritas. Dengan begitu, remaja dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara emosional dan sosial.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
