Opinion
Beranda » Berita » Tragedi Balita Cacingan di Sukabumi: Bolehkah Cacing di Makan?

Tragedi Balita Cacingan di Sukabumi: Bolehkah Cacing di Makan?

Tragedi Cacing
Ilustrasi cacing gelang yang menyebabkan kematian Bayi di Cirebon. Foto: Meta AI

SURAU.CO. Indonesia berduka dengan munculnya kabar memilukan dari Sukabumi, Jawa Barat. Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) memenuhi tubuh seorang balita hingga menyebabkan kematiannya, dengan berat cacing mencapai satu kilogram. Kondisi terakhir anak tersebut sempat direkam dan tersebar luas di media sosial, menampilkan pemandangan yang sangat mengejutkan: cacing keluar dari mulut, hidung, bahkan anus.

Tayangan itu membuat publik terdiam ngeri dan bertanya-tanya, bagaimana tragedi seperti ini masih bisa terjadi di era digital yang penuh kemajuan?

Pentingnya Edukasi Kesehatan

Peristiwa ini bukan sekadar duka bagi keluarga korban, namun sekaligus tamparan keras bagi sistem kesehatan dan sosial kita. Kematian anak akibat cacingan di abad ke-21 adalah kegagalan kita dalam menjaga kesehatan anak. Masyarakat Indonesia sudah menenal penyakit cacingan sejak lama dan penanganannya relatif sederhana. Kita hanya perlu menjaga kebersihan diri, menyediakan fasilitas sanitasi yang layak, serta memberikan obat cacing secara rutin. Namun, ketika kita mengabaikan hal-hal dasar ini, anak-anak yang tak berdosa menjadi korban.

Kejadian ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang kebersihan dan pencegahan penyakit masih sangat rendah di beberapa daerah. Kita perlu menanamkan kesadaran akan pentingnya mencuci tangan, menggunakan alas kaki, menjaga kebersihan makanan dan air, serta mengikuti program kesehatan pemerintah seperti pemberian obat cacing massal. Orang tua dan para pendidik harus memahami dan menerapkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, mereka dapat memberikan contoh yang baik bagi anak-anak dan membantu mencegah penyebaran penyakit.

Infeksi cacing gelang seperti Ascaris lumbricoides sebenarnya sangat umum di negara tropis dengan sanitasi yang buruk. Telur-telurnya hidup di tanah yang tercemar tinja manusia, dan masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau tangan yang tidak bersih. Cacing ini bisa berkembang biak secara masif begitu masuk ke dalam tubuh manusia. Hal ini menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti kekurangan gizi, diare kronis, dan anemia.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Tragedi ini juga menjadi pengingat keras bahwa edukasi kesehatan dasar belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah bersama lembaga terkait perlu lebih gencar melakukan sosialisasi, khususnya di daerah-daerah pelosok. Kita harus menggalakkan kampanye perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui sekolah, pesantren, puskesmas, dan media sosial. Dengan demikian, informasi kesehatan dapat menjangkau masyarakat di seluruh daerah, tidak hanya di kota-kota besar.

Halal-kah Memakan Cacing?

Kasus balita cacingan di Cirebon, membuka ruang diskusi dari perspektif keagamaan, terutama dalam hal memandang hewan seperti cacing. Hewan ini hidup dan berkembang di lingkungan sekitar kita, terutama di tanah dan lumpur. Meskipun, masyarakat pada umumnya tidak menjadikan cacing sebagai konsumsi, akan tetapi ada sebagaian masyarakat yang menggunakannya sebagai ekstrak bahan makanan, obat-obatan, jamu maupun kosmetik.

Dalam Islam, terdapat perbedaan pandangan mengenai boleh tidaknya mengonsumsi cacing. Mayoritas ulama, khususnya dalam mazhab Syafi’iyah, sepakat bahwa cacing termasuk dalam kategori hasyarat (hewan melata di bumi) yang menjijikkan (khabaits), dan karenanya haram untuk dikonsumsi. Dalam Tafsir Al-Manar, disebutkan bahwa “Hewan-hewan kecil bumi termasuk dari khabaits yang dianggap jelek oleh tabiat manusia dan dianggap suatu yang tidak baik (jika dimakan).”

Hewan kecil yang melata di bumi, termasuk cacing, kalajengking, ular, semut, tikus dan sebagainya. Salah satu hewan tersebut dijelaskan dalam kitab Al-Iqna’: “Tidak halal hasyarat (hewan bumi) yaitu hewan-hewan kecil di bumi, seperti kumbang dan ulat atau cacing.”

Pendapat ini dikuatkan dalam berbagai literatur klasik Islam seperti Al-Iqna’, Al-Majmu’ karya Imam Nawawi, dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili. Semua menyatakan bahwa hewan-hewan kecil seperti cacing, serangga, atau hewan-hewan melata lainnya termasuk ke dalam jenis yang diharamkan untuk dikonsumsi. Dari keterangan di atas sangat jelas dalam mazhab Imam Syafi’i, mengkonsumsi hewan cacing hukumnya haram.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Namun, ada juga pendapat yang lebih longgar, terutama dari mazhab Maliki. Mereka membolehkan konsumsi beberapa jenis hasyarat dengan syarat tertentu. Misalnya, kita harus menyembelih hewan tersebut terlebih dahulu dan memastikan prosesnya tidak membahayakan tubuh. Kitab Ma’rifah Al-Sunan wa Al-Atsar membolehkan mengkonsumsi hewan-hewan tertentu seperti kalajengking, jangkrik, atau ulat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

“Ulama Malikiyah berkata boleh makan hewan bumi dengan syarat disembelih, seperti kalajengking, kumbang, jangkrik, semut, ulat, dan ngengat.”

Perbedaan Pendapat itu Rahmat.

Dalam beragama, kita harus teguh dan konsisten mengikuti ajaran mazhab yang dianut. Bagi umat Islam yang mengikuti mazhab Syafi’i, sudah jelas bahwa cacing termasuk makanan yang haram. Jika kita penganut mazhab Imam Syafii, maka ikutilah pendapat mazhabnya, tanpa mencampuradukkan dan menganggap salah dan sesat selainnya.

Namun, Agama mengajarkan kita untuk tidak mudah menyalahkan atau menghakimi pandangan dari mazhab lain yang memiliki dasar argumentasi yang kuat. Perbedaan dalam Islam adalah bagian dari kekayaan intelektual warisan ulama, selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip utama syariat.

Wallahu a’lam.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement