Kalam
Beranda » Berita » Petani Adalah Muzakki Kaya: Membaca Ulang Potensi Zakat Pertanian

Petani Adalah Muzakki Kaya: Membaca Ulang Potensi Zakat Pertanian

Pertanian

Stereotip petani seringkali lekat dengan kemiskinan. Banyak orang menganggap mereka sebagai kelompok yang memerlukan bantuan. Namun, kita perlu meninjau ulang pandangan tersebut. Terutama dalam konteks kewajiban syariat. Dalam perspektif fiqih zakat, petani sesungguhnya adalah orang kaya. Mereka memiliki potensi besar sebagai pembayar zakat (muzakki) yang signifikan.

Pergeseran cara pandang ini sangatlah penting. Sebab, selama ini kita lebih sering memosisikan petani hanya sebagai penerima zakat (mustahik). Padahal, kenyataannya hasil panen mereka bisa jadi jauh melampaui ambang batas kewajiban zakat atau nisab. Oleh karena itu, menggali potensi ini pada dasarnya adalah upaya membuka sumber dana umat yang luar biasa untuk kesejahteraan bersama.

Mengungkap Potensi Tersembunyi Zakat dari Sawah

Untuk membuktikannya, mari kita lakukan perhitungan sederhana. Dasar perhitungannya dimulai dari nisab zakat pertanian, yaitu 5 wasaq. Dengan rincian konversi bahwa satu wasaq setara dengan 60 sha’, dan satu sha’ sekitar 3 kg, maka kita akan mendapatkan hasil akhir nisab sebesar 900 kg gabah kering giling. Nah, angka inilah yang seringkali sangat mudah tercapai oleh petani, bahkan hanya dalam sekali panen.”

Bayangkan seorang petani memiliki satu hektar sawah. Ia bisa menghasilkan sekitar 8-10 ton gabah sekali panen. Angka ini jelas jauh di atas nisab 900 kg. Jika harga gabah Rp5.000 per kilogram, pendapatan kotornya mencapai Rp40 juta hingga Rp50 juta. Ini menunjukkan kekuatan ekonomi petani yang jarang terlihat. Mereka adalah pilar ketahanan pangan sekaligus pilar ekonomi umat.

Dasar Hukum Zakat Hasil Panen dalam Syariat

Kewajiban mengeluarkan zakat pertanian memiliki landasan yang kuat. Al-Qur’an dan Hadis secara tegas menjelaskannya. Perintah ini tidak menyisakan keraguan bagi umat Islam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“…dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…” (QS. Al-An’am: 141).

Ayat ini secara langsung memerintahkan pengeluaran hak atau zakat saat panen tiba. Tidak ada penundaan. Hasil panen adalah rezeki yang wajib dibersihkan dengan zakat.

Perintah ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW:

“Tanaman yang diairi dengan air hujan atau mata air atau air tanah, maka zakatnya 10%. Sedangkan yang diairi dengan cara disiram (memakai alat), maka zakatnya 5%.” (HR. Bukhari).

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Hadis ini memberikan panduan teknis yang jelas. Besaran zakat dibedakan berdasarkan tingkat usaha pengairan. Pertanian tadah hujan zakatnya 10%. Sementara pertanian dengan irigasi teknis zakatnya 5%.

Perhitungan Zakat: Bruto atau Netto?

Salah satu perdebatan modern di kalangan para ahli fiqih berpusat pada cara menghitung zakat. Haruskah mereka menghitungnya dari pendapatan kotor (bruto)? Ataukah mereka perlu mengurangi dulu biaya produksi untuk mendapatkan pendapatan bersih (netto)?”

Para ulama dari mazhab klasik sepakat. Perhitungan zakat pertanian menggunakan dasar total hasil panen kotor. Petani tidak boleh mengurangi biaya produksi seperti pupuk, benih, dan upah pekerja. Logikanya, syariat sudah memberikan perbedaan tarif 5% dan 10%. Perbedaan tarif inilah yang menggantikan perhitungan biaya dan tenaga yang petani keluarkan.

Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa zakat adalah hak yang melekat pada hasil panen itu sendiri. Bukan pada keuntungan bersih petani. Konsep ini menempatkan hasil bumi sebagai objek zakat utama.

Implikasi dan Manfaat Optimalisasi Zakat

Mengadopsi kembali cara pandang ini membawa dampak besar. Potensi zakat pertanian di Indonesia sangatlah masif. Mengelola dana ini dengan benar akan menciptakan solusi konkret bagi masalah kemiskinan. Pengelola dapat menyalurkannya untuk mendanai program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.”

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Dengan begitu, petani tidak lagi hanya menjadi objek bantuan. Mereka naik kelas menjadi subjek pembangunan. Mereka adalah muzakki yang berkontribusi nyata untuk kesejahteraan umat. Citra petani sebagai kelompok lemah akan terkikis. Mereka akan dilihat sebagai pahlawan pangan dan pahlawan ekonomi syariah.

Saatnya kita mengubah paradigma. Petani bukanlah orang miskin yang menunggu uluran tangan. Mereka adalah mitra strategis dalam membangun peradaban. Membaca ulang fikih zakat pertanian membuka mata kita. Di balik lumpur sawah, tersimpan potensi kekayaan umat yang luar biasa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement