SURAU.CO. Sejak lama, sistem pemidanaan di Indonesia maupun di banyak negara lain identik dengan penjara. Bagi masyarakat, penjara dianggap sebagai bentuk hukuman yang paling tepat untuk memberikan efek jera. Selain itu, penjara sering dipahami sebagai simbol keadilan karena pelaku kejahatan kehilangan kebebasannya. Namun, kenyataan justru menunjukkan hal berbeda. Berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan Ditjen PAS, tingkat hunian lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia sudah melampaui kapasitas hingga lebih dari dua kali lipat. Per Agustus 2025, jumlah penghuni lapas mencapai lebih dari 275 ribu orang, sedangkan kapasitas idealnya hanya sekitar 130 ribu. Karena itu, kondisi penjara menjadi penuh sesak dan program pembinaan tidak berjalan efektif. Akibatnya, banyak pihak mulai mempertanyakan apakah penjara masih relevan sebagai sanksi utama.
Kekurangan Sistem Penjara
Di satu sisi, penjara memang menghadirkan manfaat. Hukuman ini terasa nyata bagi pelaku, sekaligus memberikan rasa puas bagi korban. Selain itu, masyarakat merasa bahwa hukum benar-benar ditegakkan.
Di sisi lain, kelemahannya sangat jelas. Pertama, penjara sering berubah menjadi “sekolah kejahatan.” Narapidana kasus ringan berinteraksi dengan pelaku kejahatan berat. Akibatnya, banyak yang justru mendapatkan jaringan baru untuk melakukan tindak kriminal. Data menunjukkan bahwa sekitar 14–45% mantan narapidana kembali melakukan kejahatan setelah bebas.
Kedua, negara menanggung biaya sangat besar. Anggaran triliunan rupiah harus dialokasikan setiap tahun untuk makan, pengawasan, hingga fasilitas napi. Akan tetapi, angka kriminalitas tidak berkurang secara signifikan.
Ketiga, penjara tidak menyelesaikan akar masalah. Banyak pelaku pencurian ringan yang terpaksa masuk penjara karena desakan ekonomi. Sayangnya, hukuman penjara tidak memberikan solusi. Sebaliknya, mereka semakin terpuruk ketika bebas karena kehilangan kesempatan kerja.
Oleh sebab itu, semakin jelas bahwa sistem penjara tidak mampu berdiri sebagai solusi tunggal.
Konsep Pidana Kerja Sosial
Untuk menjawab kelemahan tersebut, lahirlah gagasan pidana kerja sosial. Hukuman ini berbeda secara mendasar dari penjara. Jika penjara menekankan pembalasan, maka kerja sosial lebih menekankan rehabilitasi dan kontribusi nyata.
Dalam pidana kerja sosial, pelaku diwajibkan melakukan aktivitas bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, membersihkan fasilitas publik, membantu korban bencana, menanam pohon, atau mendukung program sosial pemerintah. Dengan demikian, pelaku belajar bertanggung jawab sekaligus memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar.
Selain itu, konsep ini sejalan dengan paradigma restorative justice, yaitu pemidanaan yang berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Mahkamah Agung RI bahkan sudah mendorong penerapan keadilan restoratif dalam berbagai kasus ringan, seperti tertuang dalam Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi.
Dasar Hukum Kerja Sosial di Indonesia
Reformasi hukum pidana Indonesia akhirnya mengakui pentingnya hukuman kerja sosial. KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) menetapkan pidana kerja sosial sebagai pidana pokok.
Pasal 65 ayat (1) menegaskan bahwa kerja sosial menjadi alternatif pidana penjara. Selanjutnya, Pasal 85 mengatur bahwa pelaksanaannya harus memperhatikan martabat manusia, kepentingan korban, serta persetujuan pelaku. Dengan kata lain, hakim tidak boleh menjatuhkan kerja sosial tanpa kesediaan terpidana.
Bahkan sebelum itu, hukum pidana anak sudah mengenal pidana serupa. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) memperkenalkan pidana pelayanan masyarakat. Dalam praktiknya, banyak anak pelaku kejahatan ringan justru dapat melanjutkan hidup lebih baik karena tidak masuk penjara.
Perspektif Islam tentang Hukuman yang Mendidik
Hukum Islam menunjukkan bahwa pidana kerja sosial sejalan dengan prinsip ta’zir. Jenis hukuman ini memberi ruang bagi hakim untuk menyesuaikan bentuk hukuman sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ulama menekankan bahwa tujuan utama ta’zir bukan menyiksa, melainkan mendidik. Hal ini tercermin dalam firman Allah:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi jika dia memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas tanggungan Allah.” (QS. Asy-Syura: 40).
Selain itu, Rasulullah SAW dalam beberapa peristiwa lebih memilih hukuman sosial. Misalnya, beliau pernah memberikan sanksi berupa pengucilan sementara atau teguran keras ketimbang hukuman fisik. Oleh karena itu, kerja sosial sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan pendidikan moral dan pemulihan hubungan.
Praktik di Negara Lain
Sistem kerja sosial bukan sekadar teori. Beberapa negara sudah membuktikan efektivitasnya. Inggris, misalnya, menerapkan community service order sejak 1972 untuk pelanggaran ringan. Belanda juga menggunakannya secara luas.
Hasilnya cukup menggembirakan. Tingkat pengulangan tindak pidana menurun secara signifikan. Masyarakat pun merasakan manfaat langsung, karena pelaku kejahatan ikut berkontribusi membersihkan lingkungan atau membantu pekerjaan publik. Selain itu, negara dapat mengurangi biaya pemeliharaan penjara secara drastis.
Tantangan di Indonesia
Meski pidana kerja sosial memiliki banyak keunggulan, penerapannya di Indonesia tetap menghadapi tantangan besar.
Pertama, regulasi teknis harus jelas. Undang-undang perlu mengatur secara rinci bentuk kerja sosial, durasi, dan mekanisme pengawasan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kedua, aparat penegak hukum memerlukan pemahaman baru. Jika pola pikir tidak berubah, hakim maupun jaksa mungkin menjatuhkan pidana penjara karena mereka menganggapnya lebih praktis
Ketiga, masyarakat perlu edukasi. Banyak orang masih menilai bahwa kerja sosial adalah hukuman ringan. Padahal, hukuman ini justru memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Karena itu, perlu ada kampanye publik yang menjelaskan bahwa kerja sosial bukan bentuk pemanjaan bagi pelaku.
Keempat, pemerintah harus menyiapkan sarana pendukung. Kerja sosial membutuhkan koordinasi dengan pemerintah daerah, lembaga sosial, dan komunitas masyarakat. Tanpa dukungan tersebut, program ini hanya akan berjalan setengah hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
