Mode & Gaya
Beranda » Berita » Fenomena FOMO: Perspektif Islam terhadap Kecemasan Sosial Kontemporer

Fenomena FOMO: Perspektif Islam terhadap Kecemasan Sosial Kontemporer

Fenomena Fomo
Ilustrasi Gen Z menghadapi fenomena FOMO. Foto: Perplexity

SURAU.CO. Di tengah derasnya arus informasi digital, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi semakin nyata, khususnya di kalangan generasi muda seperti Generasi Z. FOMO menggambarkan suatu kondisi psikologis di mana seseorang mengalami kecemasan karena merasa tertinggal dari tren, peristiwa, atau aktivitas sosial yang sedang populer. Contohnya, anak muda merasa tidak gaul jika belum menonton konser musisi internasional, belum mencoba cafe baru yang lagi viral, atau belum ikut tantangan viral di media sosial.

Perkembangan teknologi dan keterhubungan tanpa batas melalui media sosial mempercepat penyebaran informasi serta memperbesar tekanan sosial untuk terus mengikuti tren. Generasi Z yang tumbuh dalam era digital tidak hanya terbiasa dengan kecepatan informasi, tetapi juga cenderung merasa perlu selalu terkoneksi dan relevan di ruang sosial maya. Namun, bagaimana Islam memandang gejala ini? Apakah kecemasan karena FOMO merupakan hal yang wajar dalam pandangan Islam, atau justru harus dikritisi dan ditinggalkan?

FOMO bukan sekadar kekhawatiran biasa, tetapi merupakan bagian dari gangguan psikologis yang muncul karena adanya ekspektasi sosial yang dibentuk oleh dunia digital. Media sosial menyajikan kehidupan orang lain secara highlighted, seolah sempurna dan penuh kesenangan. Ketika seseorang melihat orang lain menikmati hidup secara lebih, mereka bisa merasa tidak cukup baik, tidak sukses, atau bahkan merasa tidak layak dihargai.

Contoh nyatanya adalah ketika banyak anak muda merasa harus mengoleksi barang terbatas, menikmati makanan viral, atau menghadiri acara tertentu hanya untuk sekadar ikut-ikutan, bukan karena kebutuhan yang sesungguhnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan harga diri, memperbesar rasa cemas, dan mendorong perilaku konsumtif yang tidak sehat.

FOMO dalam Timbangan Islam

Islam sebagai agama yang menyeluruh telah memberi panduan hidup yang seimbang, termasuk dalam menyikapi fenomena sosial modern. Allah SWT berfirman dalam QS Al-An’am ayat 116:

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

“Dan jika engkau menuruti (kemauan) kebanyakan orang (kafir) di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.”

Menurut Imam Ath-Thabari dalam Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an, Jilid IX, ayat ini merupakan peringatan kepada Nabi Muhammad SAW agar tidak mengikuti ajakan orang-orang yang membuat tandingan bagi Allah SWT. Ajakan tersebut termasuk dalam aspek gaya hidup, konsumsi, hingga bentuk ibadah yang tidak sesuai tuntunan. Pesan ini sangat relevan dalam konteks FOMO, di mana banyak orang mengikuti arus tanpa menyaringnya melalui nilai-nilai agama dan akal sehat.

Manifestasi FOMO dalam Gaya Hidup: Tiga Contoh Aktual

1. Gaya Berpakaian yang Tidak Sesuai Syariat

Tren fashion masa kini seringkali mengedepankan aspek estetika semata dan melupakan nilai kesopanan. Gaya berpakaian tipis, ketat, dan terbuka kian dianggap lumrah, terutama ketika ditampilkan di media sosial. Fenomena ini bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW dalam HR Muslim, di mana beliau memperingatkan perempuan yang “berpakaian namun telanjang” sebagai golongan yang tidak akan mencium bau surga.

“Para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berjalan dengan gaya menggoda dan membuat orang lain tergoda, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal bau surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR Muslim)

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa perilaku seperti itu menunjukkan kurangnya rasa syukur terhadap nikmat pakaian dan merupakan bentuk kelalaian dalam menjaga kehormatan diri. Ia menjelaskan bahwa secara implisit, hadits ini menekankan pentingnya menjauhkan diri dari sikap yang tidak mencerminkan ketaatan kepada Allah SWT.

Riyadus Shalihin dan Fenomena FOMO: Mengapa Kita Takut Tertinggal?

2. Makanan Kekinian yang Syubhat

Munculnya kuliner populer seperti es krim atau kue yang mengandung bahan seperti rhum menjadi persoalan serius dalam perspektif kehalalan. Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa rhum dapat dianalogikan dengan khamr, sehingga haram dikonsumsi meskipun dalam jumlah kecil. Di sisi lain, terdapat pendapat yang menganalogikan rhum dengan nabidz, yang menjadi haram apabila memabukkan.

Umat Islam dianjurkan untuk bersikap wara’, yaitu berhati-hati dengan menghindari makanan yang status halalnya meragukan. Ketika dihadapkan pada situasi syubhat, dimana sebagian ulama menilai haram dan sebagian lainnya menilai halal, maka sikap wara’ menjadi solusi.

Sebagaimana dikemukakan Ibnu Hajar Al-Haitami, meninggalkan yang meragukan lebih utama, bahkan jika ada pendapat yang membolehkan. Beliau berkata, “Maka sikap wara’ (kehati-hatian) adalah meninggalkan hal tersebut secara mutlak, meskipun itu diperbolehkan.”

3. Bahasa Gaul yang Mengikis Nilai Kesopanan

Penggunaan bahasa gaul atau bahasa asing secara berlebihan dalam komunikasi sehari-hari, terutama ketika berbicara dengan orang tua atau guru, menunjukkan gejala pergeseran nilai. Islam mengajarkan qaulan ma’rufan (ucapan baik), qaulan layyinan (ucapan lembut), dan qaulan kariman (ucapan mulia).

Bahasa daerah Indonesia bahkan menyediakan ragam kosakata yang mencerminkan penghormatan terhadap lawan bicara, sebagaimana ditunjukkan dalam bahasa Jawa dengan kata “panjenengan,” “sampean,” atau “kowe.”. Pilihan kata ini mencerminkan nilai luhur dalam bertutur kata yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Urgensi Riyadhus Shalihin sebagai Pondasi Utama Pendidikan Karakter Bangsa

Fenomena ini mengindikasikan bahwa FOMO dapat memicu hilangnya jati diri dan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Strategi Menghindari FOMO Menurut Ajaran Islam

Islam tidak hanya menganalisis gejala sosial, tetapi juga memberikan solusi praktis. Berikut langkah-langkah yang dapat diambil seorang Muslim untuk mengatasi FOMO:

1. Menjaga Lingkungan Pergaulan

Lingkungan sangat memengaruhi cara berpikir dan bertindak. Ibnu Atha’illah As-Sakandari menyatakan, “Jangan berteman dengan orang yang tidak membuatmu lebih baik dan ucapannra tidak mengingatkanmu kepada Allah.”

Dr. Ramadhan Al-Buthi menekankan pentingnya bersahabat hanya dengan mereka yang membawa manfaat spiritual dan moral dalam hidup. Batasi hubungan dengan orang lain sekadar dapat memenuhi kebutuhan yang mendesak dalam hidup, dan menunaikan kewajiban-kewajiban.

2. Fokus pada Pengembangan Diri

Alih-alih sibuk mengejar tren, generasi muda seharusnya mengarahkan energi untuk meningkatkan kapasitas diri. Pengembangan diri bukan hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri yang sejati, bukan semu karena pengakuan sosial.

3. Membatasi Konsumsi Media Sosial

Membatasi paparan media sosial membantu seseorang untuk tidak terus-menerus membandingkan hidupnya dengan orang lain. Allah berfirman, “Janganlah sekali-kali engkau tujukan pandangan matamu pada kenikmatan yang telah Kami anugerahkan kepada beberapa golongan dari mereka (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS Thaha: 131)

4. Menguatkan Iman dan Rasa Syukur

Rasa cukup (qana’ah) adalah benteng utama dalam menghadapi FOMO. Mensyukuri nikmat membuat hati tenang dengan apa yang dimiliki. Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya memandang orang yang lebih rendah dalam hal dunia, agar tidak lupa bersyukur atas nikmat Allah.

5. Zuhud dan Sederhana dalam Menjalani Kehidupan

Konsep zuhud berarti menjauhkan diri dari ketergantungan berlebihan terhadap hal-hal duniawi. Ini bukan berarti menghindari dunia sepenuhnya, tetapi menjaga agar hati tidak terlalu terpaut pada kesenangan dunia.

Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah orang yang zuhud itu orang yang meninggalkan dunia sama sekali, akan tetapi orang yang zuhud adalah orang yang lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan manusia.” (HR. Ahmad).

Menutup Celah FOMO: Islam sebagai Jalan Tengah

Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap seimbang antara dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda: “Beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok.” (HR Bukhari)

Islam tidak melarang seseorang menikmati kehidupan dunia, namun mengingatkan agar kesenangan tersebut tidak menjadikan kita lalai dari tujuan hidup yang hakiki: kembali kepada Allah dengan jiwa yang tenang. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk membangun keteguhan hati dan menghindari kebiasaan latah mengikuti arus.

Fokus pada akhirat akan membuat kita lebih tenang dalam menjalani kehidupan dunia. Ingatlah bahwa kehidupan dunia hanya sementara dan yang terpenting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri untuk kehidupan selanjutnya. Rasulullah SAW mengingatkan, “Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah engkau adalah orang asing atau seorang musafir.” (HR. Bukhari).

Menjaga diri dari Arus FOMO

FOMO adalah tantangan nyata di era digital yang dapat memengaruhi kesehatan mental, spiritual, bahkan akhlak seseorang. Islam menawarkan pendekatan holistik untuk menghadapi tekanan sosial ini. Mulai dari menjaga pergaulan, menghindari hal syubhat, hingga membangun kesadaran spiritual yang kuat. Islam menawarkan panduan hidup yang membantu kita menghindari kecemasan berlebihan dan memberikan fokus pada hal-hal yang lebih bermakna, baik di dunia maupun akhirat.

Kunci utama terletak pada kesadaran diri, rasa syukur, dan keseimbangan dalam menjalani hidup. Ketika seseorang memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh pengakuan sosial, tetapi oleh kualitas iman dan amalnya, maka ia tidak akan mudah terseret arus FOMO.

Wallahu a’lam bishawab.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement