Memandang Perceraian sebagai Solusi Terakhir yang Diizinkan
SURAU.CO – Perceraian merupakan sebuah kenyataan pahit dalam kehidupan berumah tangga. Terkadang, ia menjadi sebuah jalan yang tidak dapat terhindarkan lagi. Meskipun Islam sangat mendorong ikatan pernikahan dan mengutamakan keutuhan keluarga, agama ini tetap realistis. Islam memberikan ruang bagi sepasang suami istri untuk berpisah. Tentu saja, ini hanya boleh jika hubungan di antara keduanya tidak lagi dapat dipertahankan. Khususnya bagi seorang muslimah, perceraian seringkali menghadirkan tantangan yang sangat besar. Tantangan ini datang dari berbagai sisi, mulai dari emosional, sosial, hingga persoalan ekonomi. Oleh karena itu, memahami bagaimana Islam memandang perceraian adalah hal yang sangat penting. Dengan pemahaman yang benar, seorang muslimah dapat menghadapinya dengan lebih bijak dan kuat.
Dalam ajaran Islam, perceraian adalah sebagai sebuah solusi terakhir. Ia adalah pintu darurat yang hanya boleh terbuka ketika semua pintu islah (perdamaian) telah tertutup. Rasulullah SAW menggambarkan posisi perceraian ini dalam sebuah hadis yang sangat terkenal. Beliau bersabda:
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Hadis ini mengandung sebuah paradoks yang sangat indah. Statusnya halal, yang berarti ia boleh dan bukan sebuah dosa. Namun, pada saat yang sama, ia adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Allah. Ini menunjukkan bahwa perceraian bukanlah sebuah pilihan yang bisa diambil dengan mudah. Ia harus ditempuh setelah semua upaya perbaikan dan mediasi benar-benar menemui jalan buntu. Islam tidak ingin umatnya terperangkap dalam pernikahan yang beracun (toxic relationship). Namun, Islam juga tidak ingin umatnya meremehkan ikatan suci pernikahan.
Tantangan Multidimensi yang Dihadapi Seorang Muslimah
Ketika perceraian tak terhindarkan, seorang muslimah akan berhadapan dengan berbagai tantangan yang kompleks. Tantangan pertama dan yang paling berat biasanya adalah tantangan emosional dan psikologis. Perceraian dapat menimbulkan luka batin yang sangat dalam. Ada perasaan kehilangan, kegagalan, stres, bahkan hingga depresi. Di sinilah kekuatan iman dan dukungan dari lingkungan sosial menjadi sangat vital. Seorang muslimah perlu kembali menyandarkan hatinya kepada Allah. Ia harus yakin bahwa di balik setiap ujian, pasti ada hikmah yang tersembunyi.
Selanjutnya, tantangan sosial juga tidak bisa dianggap remeh. Di sebagian masyarakat, perempuan yang bercerai atau menyandang status janda masih seringkali menghadapi stigma negatif. Pandangan miring dan gunjingan dari lingkungan sekitar dapat menimbulkan perasaan terasing. Hal ini bisa menggerogoti rasa percaya diri dan membuatnya merasa minder. Padahal, Islam sangat memuliakan wanita, terlepas dari status pernikahannya.
Tantangan berikutnya yang sangat nyata adalah tantangan ekonomi. Jika sebelumnya seorang muslimah bergantung sepenuhnya pada nafkah dari suami, maka setelah perceraian ia harus hidup mandiri. Ia harus mampu mengelola kehidupannya sendiri. Beban ini akan menjadi semakin berat, terutama jika ia memiliki anak yang harus mendapatkan nafkah. Di sinilah pentingnya seorang wanita memiliki keterampilan dan kemandirian finansial sebagai bekal. Terakhir, ada tanggung jawab besar terhadap anak. Perceraian seringkali menyisakan masalah pengasuhan anak atau hadhanah. Islam, dengan keadilannya, memberikan prioritas hak asuh kepada ibu. Tentu saja, ini berlaku selama sang ibu mampu memberikan pendidikan dan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak-anaknya.
Menapaki Proses Perceraian dengan Bimbingan Syariat
Islam tidak membiarkan umatnya berjalan tanpa arah dalam proses perceraian. Ada panduan yang sangat jelas untuk memastikan proses ini berjalan dengan adil dan bermartabat. Langkah pertama yang sangat dianjurkan adalah mengutamakan islah atau upaya perdamaian. Sebelum kata talak terucap, suami dan istri harus melakukan bermusyawarah dengan kepala dingin. Jika tidak menemukan solusi, Islam bahkan menyarankan untuk menghadirkan seorang penengah atau hakam dari kedua belah pihak keluarga. Sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 35.
Namun, jika perceraian tetap menjadi jalan yang harus kita tempuh, maka prosesnya harus sesuai dengan aturan syariat. Hak-hak masing-masing pihak harus tetap terjaga. Seorang suami wajib menunaikan hak-hak mantan istrinya. Hak tersebut mencakup nafkah selama masa iddah dan juga pemberian mut’ah (hadiah perceraian) sebagai bentuk penghiburan. Seorang muslimah yang diceraikan juga memiliki kewajiban untuk menjalani masa iddah. Masa tunggu ini bukanlah sebuah hukuman. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap ikatan pernikahan yang telah berjalan. Masa iddah juga memberikan waktu bagi seorang wanita untuk berintrospeksi, menata hati, dan memulihkan diri.
Hal terpenting dalam ajaran Islam adalah menjaga akhlak selama dan setelah proses perceraian. Perceraian tidak boleh menjadi alasan untuk saling membenci dan bermusuhan. Mantan suami dan istri tetap harus untuk menjaga hubungan baik, terutama jika mereka memiliki anak. Kepentingan anak harus selalu menjadi prioritas utama. Saya percaya, inilah cerminan kedewasaan iman. Mampu berpisah secara baik-baik adalah sebuah akhlak yang sangat mulia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
