SURAU.CO – Islam adalah agama yang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Universalitasnya terbukti dari kemampuannya untuk berdialog dan berinteraksi dengan berbagai peradaban. Sejak awal kemunculannya di jazirah Arab, Islam telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ia bertemu dengan beragam bangsa, tradisi, dan budaya di Afrika, Asia, hingga Eropa. Menariknya, keanekaragaman budaya yang ditemui ini tidak pernah dianggap sebagai sebuah penghalang. Sebaliknya, Islam memandangnya sebagai bagian dari sunnatullah atau ketetapan Allah yang agung. Perbedaan ini adalah sebuah rahmat yang perlu dihargai. Tentu saja, penghargaan ini diberikan selama nilai-nilai budaya tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar akidah dan syariat.
Islam dan Keanekaragaman Budaya: Mengelola Perbedaan dengan Penuh Rahmat
Al-Qur’an secara tegas meletakkan fondasi bagi pandangan ini. Keberagaman suku dan bangsa bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah desain ilahi yang memiliki tujuan mulia. Allah SWT berfirman:
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; lalu Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Bagi saya, ayat ini adalah manifesto paling indah tentang pluralisme. Tujuan penciptaan yang beragam bukanlah untuk saling berkonflik atau merasa lebih unggul. Tujuannya adalah untuk saling mengenal (li ta’arafu). Kata “mengenal” di sini memiliki makna yang sangat dalam. Ia mencakup proses saling memahami, belajar, dan menghargai. Ayat ini secara langsung meruntuhkan segala bentuk arogansi rasial atau kesukuan. Standar kemuliaan di sisi Allah bukanlah warna kulit, bahasa, atau asal-usul, melainkan tingkat ketakwaan. Dengan demikian, Islam tidak pernah berniat untuk meniadakan atau menyeragamkan identitas budaya. Sebaliknya, ia mengajarkan kita untuk merawatnya dalam bingkai ketakwaan.
Sejarah hidup Nabi Muhammad SAW adalah bukti nyata dari implementasi ayat ini. Beliau hidup di tengah masyarakat Arab yang terdiri dari berbagai suku dan tradisi. Beliau tidak menghapus seluruh budaya yang sudah ada sebelum Islam. Sebaliknya, beliau melakukan filterisasi dan meluruskannya agar selaras dengan nilai-nilai tauhid. Sebagai contoh, tradisi saling menolong dan membela yang tertindas (hilf al-fudhul) sudah ada di zaman Jahiliyah. Tradisi ini tidak dihapus, justru dipertahankan dan diapresiasi oleh Rasulullah. Sebab, nilainya sangat sesuai dengan ajaran moral Islam. Ini menunjukkan bahwa Islam datang untuk menyempurnakan, bukan untuk menghancurkan.
Prinsip-Prinsip Rahmat dalam Mengelola Keragaman
Islam tidak hanya memberikan landasan teologis, tetapi juga menawarkan prinsip-prinsip praktis. Prinsip ini berfungsi sebagai panduan dalam mengelola perbedaan dengan penuh rahmat. Pilar utamanya adalah mengutamakan persatuan umat di atas segalanya. Islam menekankan konsep ukhuwah atau persaudaraan yang melampaui batas-batas identitas kesukuan dan budaya. Dengan semangat ukhuwah Islamiyah, perbedaan tidak akan menjadi sumber perpecahan. Sebaliknya, ia akan menjadi mozaik kekuatan yang indah dan saling melengkapi. Ikatan iman menjadi perekat yang jauh lebih kuat daripada ikatan darah atau asal daerah.
Selanjutnya, Islam mengajarkan prinsip toleransi dan saling menghormati. Rasulullah SAW telah memberikan teladan terbaik dalam hal ini melalui Piagam Madinah. Dokumen ini adalah konstitusi tertulis pertama di dunia. Di dalamnya, diatur hak dan kewajiban setiap komponen masyarakat Madinah. Kaum Muslim, Yahudi, dan suku-suku lain hidup berdampingan sebagai satu komunitas. Mereka memiliki kebebasan untuk menjalankan agamanya masing-masing. Mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mempertahankan kota Madinah dari serangan musuh. Ini adalah bukti sejarah bahwa Islam mampu menciptakan tatanan sosial yang adil dan harmonis di tengah masyarakat yang majemuk.
Prinsip penting lainnya adalah melestarikan budaya lokal. Islam tidak melarang umatnya untuk mencintai dan melestarikan budaya daerah mereka. Hal ini diperbolehkan selama budaya tersebut tidak mengandung unsur kemusyrikan, khurafat, atau hal-hal lain yang jelas diharamkan. Inilah salah satu rahasia mengapa Islam dapat diterima dengan mudah di berbagai belahan dunia. Islam mampu berakulturasi dan beradaptasi tanpa harus menghilangkan kearifan lokal. Kita bisa melihat bagaimana arsitektur masjid di Indonesia berbeda dengan di Turki. Cara berpakaian Muslim di Afrika juga berbeda dengan di Asia Tengah. Semua itu menunjukkan fleksibilitas Islam dalam merangkul keragaman budaya.
Relevansi Abadi dalam Bingkai Kehidupan Modern
Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam sejak 14 abad silam ini memiliki relevansi yang semakin kuat di era modern. Saat ini, interaksi antarbudaya terjadi dengan intensitas yang belum pernah ada sebelumnya. Dunia seakan menjadi sebuah desa global. Di sinilah umat Islam dapat mengambil peran aktif. Kita bisa terlibat dalam dialog antarbudaya dan antaragama. Tujuannya bukan untuk memperdebatkan perbedaan, melainkan untuk membangun pemahaman dan kerjasama demi kebaikan bersama.
Selain itu, kita perlu terus menghargai kearifan lokal yang ada di masyarakat kita. Nilai-nilai luhur seperti gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan solidaritas sosial dapat diintegrasikan. Nilai-nilai ini bisa memperkaya praktik keagamaan kita sehari-hari. Dengan demikian, Islam akan terasa lebih membumi dan relevan dengan konteks lokal. Di saat yang sama, kita harus menghindari sikap fanatisme sempit (ta’assub). Islam mengajarkan keseimbangan atau wasathiyah. Kita tidak boleh berlebihan dalam mengagungkan budaya kita sendiri hingga meremehkan budaya orang lain. Sikap terbuka dan rendah hati adalah kunci untuk membangun hubungan yang baik.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
