Menggali Makna Komunikasi sebagai Cerminan Iman Seorang Muslim
SURAU.CO – Komunikasi merupakan napas dalam kehidupan sosial manusia. Melalui interaksi lisan maupun tulisan, kita dapat saling bertukar informasi. Manusia juga mampu menyampaikan gagasan kompleks. Pada akhirnya, komunikasi membangun ikatan yang harmonis. Namun, dalam ajaran Islam, komunikasi memiliki dimensi yang jauh lebih dalam. Ia tidak hanya dipandang sebagai alat interaksi sosial semata. Sebaliknya, komunikasi adalah sebuah bentuk ibadah yang sarat akan nilai. Setiap kata yang terucap dapat menjadi ladang pahala. Akan tetapi, ia juga bisa menjadi jurang dosa. Oleh karena itu, memahami etika berkomunikasi dalam Islam menjadi sebuah keharusan. Hal ini bukan sekadar pengetahuan, melainkan fondasi karakter bagi setiap Muslim.
Interaksi yang kita lakukan setiap hari sesungguhnya adalah cerminan dari kedalaman iman kita. Bagaimana kita memilih kata, mengatur intonasi, dan menghargai lawan bicara adalah manifestasi dari akhlak yang diajarkan agama. Di era digital saat ini, tantangan menjaga etika ini terasa semakin berat. Kecepatan dan anonimitas sering kali membuat lisan dan tulisan menjadi lebih tajam tanpa disadari. Akibatnya, perselisihan mudah terjadi hanya karena kesalahpahaman kecil. Di sinilah relevansi ajaran Islam tentang komunikasi menjadi sangat vital. Agama memberikan panduan yang tidak lekang oleh waktu. Panduan tersebut memastikan bahwa setiap interaksi kita membawa kebaikan, bukan kerusakan. Dengan demikian, komunikasi yang baik adalah jalan untuk meraih keridaan Allah SWT.
Fondasi Kokoh dari Wahyu Ilahi dan Sunnah Nabi
Islam tidak membiarkan umatnya berjalan tanpa arah dalam berkomunikasi. Terdapat landasan yang sangat kokoh dari sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Petunjuk ini berfungsi sebagai kompas moral. Ia membimbing setiap Muslim agar lisannya senantiasa terjaga. Allah SWT secara tegas memerintahkan hal ini dalam firman-Nya yang mulia.
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra: 53)
Ayat ini memberikan pelajaran yang luar biasa. Perintahnya bukan hanya untuk berkata baik, melainkan untuk memilih perkataan “yang lebih baik” atau ahsan. Ini menunjukkan adanya proses seleksi kata sebelum berbicara. Kita didorong untuk memikirkan dampak dari setiap ucapan. Selain itu, ayat ini secara gamblang menghubungkan perkataan buruk dengan campur tangan setan. Setan selalu berupaya memecah belah manusia melalui lisan yang tidak terkontrol. Selanjutnya, Rasulullah SAW, sebagai teladan terbaik, juga memberikan nasihat yang sangat mendasar namun kuat. Beliau bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh, jika kita merenung lebih dalam, hadis ini adalah filter paling efektif untuk lisan kita. Hanya ada dua pilihan yang diberikan. Pertama adalah berbicara dengan perkataan yang membawa manfaat. Pilihan kedua adalah diam jika tidak ada kebaikan yang bisa diucapkan. Tidak ada pilihan ketiga seperti berkata sia-sia, berbohong, atau menyakiti. Secara pribadi, saya memandang hadis ini sebagai tantangan harian yang menguji kualitas iman seseorang. Mengamalkannya berarti kita secara aktif menjaga diri dari dosa lisan. Kedua landasan ini, Al-Qur’an dan Hadis, menegaskan bahwa menjaga ucapan bukanlah sekadar norma sosial. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan seorang hamba kepada Penciptanya.
Mengimplementasikan Prinsip Adab dalam Percakapan Sehari-hari
Panduan dari Al-Qur’an dan Sunnah kemudian diuraikan menjadi prinsip-prinsip praktis. Prinsip ini dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pilar utamanya adalah berkata jujur dan benar (shidq). Kejujuran merupakan mahkota bagi seorang Muslim. Islam melarang keras perkataan bohong atau menyebar fitnah. Sebab, kebohongan dapat meruntuhkan kepercayaan. Ia juga mampu menimbulkan kerusakan yang luas di tengah masyarakat. Dengan demikian, kejujuran dalam berkomunikasi adalah wujud integritas diri.
Selanjutnya, seorang Muslim diperintahkan untuk menghindari ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba). Keduanya merupakan dosa besar yang secara spesifik merusak hubungan persaudaraan. Al-Qur’an bahkan menggambarkan pelaku ghibah seperti pemakan bangkai saudaranya sendiri. Sungguh, ini adalah perumpamaan yang sangat keras untuk menyadarkan kita. Sementara itu, namimah bekerja seperti api yang membakar keharmonisan. Ia memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan mereka. Oleh karena itu, menjaga lisan dari dua penyakit ini adalah kewajiban.
Selain itu, etika Islam menekankan penggunaan bahasa yang baik dan santun. Ucapan yang kasar, merendahkan martabat, atau menyakiti perasaan orang lain sangat dilarang. Rasulullah SAW selalu dikenal dengan tutur katanya yang lembut. Beliau mampu menyampaikan kebenaran yang tegas tanpa harus melukai hati lawan bicaranya. Keseimbangan dalam berbicara juga menjadi perhatian. Islam mengajarkan kita untuk berbicara seperlunya dan menghindari obrolan yang tidak bermanfaat (laghwu). Sikap ini menunjukkan bahwa kita menghargai waktu dan menjaga kehormatan diri. Komunikasi yang efektif bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga mendengarkan dengan sabar. Memberi perhatian penuh kepada lawan bicara adalah bentuk penghormatan yang tinggi. Jangan pernah memotong pembicaraan orang lain secara tiba-tiba. Tunjukkan bahwa kita menghargai apa yang mereka sampaikan. Terakhir, percakapan dalam Islam selalu dianjurkan untuk dibuka dengan salam. Salam bukan sekadar sapaan biasa. Ia adalah doa yang berisi harapan akan keselamatan, rahmat, dan keberkahan.
Refleksi dan Manfaat Nyata dalam Kehidupan Bermasyarakat
Apabila setiap individu Muslim berusaha menerapkan etika komunikasi ini, maka dampaknya akan sangat luar biasa. Suasana harmonis dan penuh kedamaian akan tercipta dalam masyarakat. Hubungan persaudaraan akan menjadi semakin kuat dan solid. Potensi konflik serta kesalahpahaman dapat diminimalisir secara signifikan. Lebih dari itu, rasa saling percaya akan tumbuh subur di antara sesama. Kepercayaan adalah fondasi utama dari sebuah komunitas yang sehat dan produktif. Ketika lisan terjaga, hati pun akan menjadi lebih bersih.
Manfaatnya tidak hanya terasa di dunia. Setiap perkataan baik yang kita ucapkan akan tercatat sebagai amal saleh. Ia akan menjadi pemberat timbangan kebaikan di akhirat kelak. Ini adalah sebuah investasi abadi yang sering kita lupakan. Saya seringkali merenungkan betapa mudahnya lisan ini tergelincir pada hal-hal yang tidak berguna, bahkan berbahaya. Di tengah derasnya arus informasi dan godaan untuk berkomentar negatif, memegang teguh prinsip ini adalah sebuah jihad. Jihad melawan hawa nafsu untuk berbicara sembarangan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
