Kita sering menyaksikan kenyataan pahit: kebodohan lebih kuat dari kebenaran. Dalam dunia yang penuh ego, fanatisme, dan keyakinan buta, kebenaran kerap tersingkir. Kebodohan mengalahkan kebenaran bukan karena fakta hilang, melainkan karena hati manusia enggan menerima cahaya yang sederhana namun menuntut kerendahan diri.
Kebenaran yang Sering Tersingkirkan
Pernahkah Anda merasa heran melihat betapa mudahnya sebuah kebohongan dipercaya, sementara kebenaran justru diabaikan? Di media sosial, kabar bohong bisa menyebar bagai api, sementara fakta yang jernih berjalan tertatih. Kita sering berpikir: bukankah kebenaran seharusnya lebih kuat? Namun realitas menunjukkan bahwa kebodohan—yang lahir dari fanatisme, ego, dan emosi—sering kali lebih lantang daripada cahaya kebenaran itu sendiri.
Frasa kunci kita jelas: kebodohan lebih kuat dari kebenaran. Frasa ini bukan sekadar ungkapan muram, melainkan gambaran tajam tentang psikologi manusia.
Fanatisme yang Membutakan
Mark Twain pernah berucap dengan getir: “Lebih mudah menipu orang, daripada meyakinkan mereka bahwa mereka telah ditipu.” Kalimat ini menyentuh satu fakta: manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga makhluk emosional.
Orang bisa menolak bukti yang jelas hanya demi menjaga perasaan “ingin benar”. Bukan karena tidak cerdas, melainkan karena hatinya menolak belajar. Kebodohan dalam hal ini bukan lawan dari kecerdasan, melainkan keras kepala yang menutup pintu hati.
Al-Qur’an mengingatkan dengan bahasa yang lebih dalam:
**﴿لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَالْأَنْعَـٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ الْغَـٰفِلُونَ﴾
(QS. Al-A‘raf: 179)“Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami; mereka memiliki mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat; mereka memiliki telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Ayat ini bukan sekadar teguran, tetapi cermin. Kebodohan yang lebih kuat dari kebenaran muncul ketika hati menolak fungsi sejatinya.
Mengapa Kebenaran Sulit Diterima?
Pertanyaannya: mengapa banyak orang menolak kebenaran yang jelas?
Ada beberapa lapis jawabannya:
-
Ego yang rapuh – menerima kebenaran berarti mengakui bahwa sebelumnya kita salah. Tidak semua orang siap untuk itu.
-
Takut kehilangan kenyamanan – keyakinan, meski salah, bisa memberi rasa aman. Fakta justru terasa mengancam.
-
Fanatisme kelompok – ketika kebenaran bertentangan dengan suara mayoritas, orang lebih memilih mengikuti arus demi diterima.
Fenomena ini kita temui setiap hari: dari obrolan warung kopi, perdebatan politik, sampai komentar pedas di ruang digital.
Cahaya Tasawuf: Hati sebagai Cermin
Tasawuf falsafi mengajarkan bahwa kebenaran bukan hanya perkara akal, tetapi juga kejernihan hati. Hati manusia ibarat cermin. Jika cermin itu tertutup debu kesombongan, ia tidak mampu memantulkan cahaya kebenaran.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ »
(HR. Muslim)“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”
Hadis ini mengajarkan bahwa kebodohan yang lebih kuat dari kebenaran sering bersumber dari kesombongan. Bukan karena orang tidak tahu, tapi karena ia menolak untuk tunduk pada kebenaran yang tidak sesuai dengan egonya.
Kisah di Tengah Kehidupan
Saya teringat seorang teman lama. Ia begitu yakin pada sebuah teori konspirasi. Berbagai data saya tunjukkan, ia tetap menolak. Bukan karena ia tidak cerdas, tapi karena keyakinan itu memberi rasa “bermakna” dalam hidupnya. Dari sana saya belajar: kebenaran tidak bisa dipaksakan. Ia butuh hati yang siap menerimanya.
Mungkin Anda juga pernah merasakan hal serupa—berdebat panjang namun berakhir dengan kelelahan, tanpa hasil. Pada akhirnya, kebodohan tidak bisa dikalahkan dengan logika semata. Ia hanya luluh ketika hati benar-benar membuka diri.
Hikmah: Menunggu Saat Hati Siap
Ketika kebodohan lebih kuat dari kebenaran, tugas kita bukan memaksa, melainkan menjaga. Menjaga diri agar tidak ikut hanyut dalam arus kebohongan, dan menjaga hati tetap jernih.
Seperti air yang sabar menetes pada batu, kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Tidak perlu terburu-buru. Biarkan hati yang tertutup menemukan waktunya sendiri untuk terbuka.
Penutup
Kita hidup di zaman di mana kebohongan bisa viral dalam hitungan detik, sementara kebenaran harus berjalan pelan. Tetapi jangan gentar. Tugas kita bukan membuat semua orang percaya, melainkan memastikan diri kita tetap berada di jalan kebenaran.
Mari kita renungkan: apakah selama ini kita benar-benar mendengarkan kebenaran, atau justru sibuk mempertahankan “rasa benar” kita sendiri?
Semoga Allah membuka hati kita semua agar tidak menjadi bagian dari mereka yang digambarkan dalam ayat tadi.
Doa singkat:
Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqnat-tiba‘ah, wa arinal bathila bathilan warzuqnaj-tinabah.
“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran, dan karuniakanlah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan, dan karuniakanlah kami kemampuan untuk menjauhinya.”
* Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
