Opinion
Beranda » Berita » Pernikahan adalah Perjalanan Cinta Sejati: Menemukan Makna di Balik Tawa dan Air Mata

Pernikahan adalah Perjalanan Cinta Sejati: Menemukan Makna di Balik Tawa dan Air Mata

Sepasang suami istri berjalan bergandengan tangan di jalan setapak saat senja, dengan langit berwarna emas dan biru kelabu, simbol perjalanan cinta sejati

Ilustrasi simbolis pasangan berjalan bersama dalam terang dan gelap, melambangkan bahwa pernikahan sejati bukan hanya di masa bahagia, tetapi juga saat menghadapi ujian.

SURAU.CO — Banyak orang mendamba pernikahan bak kisah dongeng: selalu indah, penuh bunga, dan tawa yang tak ada ujungnya. Namun realitas jauh lebih dalam. Pernikahan adalah perjalanan cinta sejati, dan di dalamnya ada tawa yang berganti dengan air mata, ada janji yang diuji oleh kecewa, dan ada kesetiaan yang lahir bukan karena segalanya mudah, melainkan justru karena banyak hal terasa berat.

Hanya Tawa Tanpa Air Mata, Bukan Cinta Sejati

Kita hidup di zaman di mana pesta pernikahan sering lebih megah daripada perjalanan pernikahan itu sendiri. Banyak pasangan menyiapkan gaun, dekorasi, bahkan sound system terbaik. Namun, tak semua mempersiapkan hati untuk menghadapi badai rumah tangga.

Di sinilah tasawuf mengingatkan: cinta sejati lahir bukan di puncak pesta, melainkan di dasar ujian. Rasulullah ﷺ bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini bukan sekadar etika, melainkan jalan spiritual. Pernikahan adalah ladang amal, di mana kebaikan bukan hanya kata-kata, tetapi sikap sehari-hari: lembut ketika pasangan sedang rapuh, sabar ketika ia sedang keliru, dan tetap hadir ketika dunia terasa dingin.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Menemani di Saat Dunia Tak Ramah

Ada seorang kawan bercerita. Pernikahannya sudah berjalan sepuluh tahun. “Ternyata bukan masa indahnya yang membuatku yakin,” katanya. “Justru saat aku sakit keras dan tak bisa bekerja, istriku tetap ada, memasak meski sederhana, menenangkan anak-anak, dan menguatkanku. Di situlah aku merasa benar-benar dicintai.”

Kisah itu mengingatkan kita bahwa pernikahan adalah perjalanan cinta sejati, bukan sekadar menikmati hidup ketika terang, melainkan berjalan bersama ketika langit gelap. Allah ﷻ menggambarkan hakikat pasangan dengan begitu indah:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini bukan janji bahwa pernikahan selalu mulus. Tetapi Allah menegaskan adanya sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tiga hal ini ibarat tiga pilar rumah: ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Bila salah satu rapuh, pasangan harus saling menopang agar rumah tidak roboh.

Cinta Bukan Rasa, tapi Pilihan

Sering kita mendengar orang berkata: “Aku sudah tidak merasa cinta lagi.” Padahal cinta sejati bukan sekadar perasaan, melainkan keputusan yang diperbarui setiap hari. Dalam tasawuf, cinta (mahabbah) adalah jalan menuju keabadian. Begitu pula dalam pernikahan: ia adalah ibadah yang melatih kita untuk tetap memilih, meski hati kadang goyah.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Di balik itu ada latihan jiwa. Pernikahan mengajarkan kita melepaskan ego. Tidak selalu menang argumen, tidak selalu didengar, tetapi tetap memilih untuk menjaga keutuhan. Bukankah hidup sejatinya adalah perjalanan meluruhkan diri, agar kita kembali pulang kepada-Nya dalam keadaan hati yang bersih?

Fenomena Sosial: Bertahan atau Berpisah?

Hari ini perceraian semakin banyak, bahkan di usia pernikahan yang masih seumur jagung. Tentu ada kondisi yang memang berat, seperti kekerasan atau pengkhianatan. Tetapi ada pula yang rapuh hanya karena hal-hal kecil.

Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kita kadang lebih siap berpesta daripada bertahan. Padahal, pernikahan adalah perjalanan cinta sejati—bukan tentang berapa lama bisa bersama tanpa konflik, tetapi tentang bagaimana menghadapi konflik tanpa kehilangan arah.

Penutup: Hikmah yang Menyadarkan

Pernikahan sejati adalah perjalanan menuju Allah bersama seseorang yang kita cintai. Tawa dan air mata hanyalah warna di sepanjang jalan. Yang terpenting adalah bagaimana kita tetap memilih untuk menjaga, merawat, dan menguatkan satu sama lain.

Mari merenung sejenak: sudahkah kita mencintai pasangan bukan hanya di saat ia membahagiakan, tetapi juga di saat ia mengecewakan?

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Doa singkat:
Ya Allah, jadikanlah rumah tangga kami sakinah, mawaddah, rahmah. Ajarkan kami mencintai karena-Mu, dan bertahan karena-Mu.

*Reza Andik Setiawan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement