SURAU.CO – Pernahkah kita benar-benar menatap wajah anak-anak kita di kala malam menjelang? Ada kalanya tawa mereka yang riang hanyalah tirai tipis yang menutup rapuhnya hati. Orang tua sibuk memastikan tubuh anak sehat, sekolah lancar, dan ranking bagus. Namun, di balik semua itu, ada taman batin yang sering terabaikan.
Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan: hampir 1 dari 5 anak mengalami gangguan mental sebelum usia 14 tahun. Angka itu bukan sekadar statistik, tetapi alarm yang mengetuk jiwa. Berapa banyak anak yang memendam tangis diam-diam, sementara kita mengira mereka baik-baik saja?
Bukankah Allah sudah mengingatkan kita?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Jagalah bukan hanya jasad mereka, tapi juga jiwa.
Baca Juga: Cinta Ibu dan Ayah yang Baru Bisa Kita Pahami Saat Dewasa
Rumah yang Menggenggam Rasa Aman
Anak yang pulang sekolah dengan wajah letih sebenarnya sedang mencari pangkuan, bukan penghakiman. Ketika orang tua mendengar tanpa menyela, rumah menjadi surga kecil. Namun, bila yang disuguhkan hanya kritik dan perbandingan, rumah bisa menjelma penjara yang sepi.
Rumah dalam pandangan tasawuf adalah zawiyah, ruang khalwat jiwa. Jika sejak kecil anak merasa rumah adalah tempat aman, ia akan tumbuh dengan hati yang tenteram.
Mengajarkan Anak Bersahabat dengan Emosi
Anak marah, kecewa, atau takut—itu wajar. Sayangnya, banyak orang tua menyuruh anak diam, seolah perasaan itu dosa.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah kuat itu dengan bergulat, tetapi kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari & Muslim)
Membantu anak menamai emosinya—“Kamu kecewa ya, mainanmu rusak”—adalah cara sederhana mengajarkan kekuatan sejati: mengelola diri.
Bahasa yang Memeluk, Bukan Melukai
Komunikasi orang tua ibarat udara bagi jiwa anak. Jika penuh kasih, ia tumbuh sehat. Jika penuh racun, ia perlahan layu.
Mengajak anak berdialog, menanyakan pendapatnya, bahkan untuk hal kecil seperti memilih menu makan, membuat ia merasa berharga. Dalam tasawuf falsafi, martabat manusia bukan pada gelar, tapi pada pengakuan keberadaannya. Begitu pula anak, ia butuh diakui, bukan sekadar diatur.
Rutinitas: Dzikir Kecil Keluarga
Rutinitas sederhana—doa sebelum tidur, makan bersama, atau membaca Al-Fatihah bareng sebelum berangkat sekolah—adalah dzikir keluarga. Irama kecil yang menenangkan hati anak.
Anak yang tumbuh dengan rutinitas stabil akan lebih tenang. Dunia mungkin kacau, tetapi manusia tetap bisa memprediksi
Menghargai Usaha, Bukan Hanya Hasil
Sering kali kita lebih bangga dengan nilai sempurna daripada usaha yang sungguh-sungguh. Padahal Allah sendiri menilai dari niat, bukan semata hasil
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Mengapresiasi usaha anak meski hasilnya belum memuaskan adalah pupuk jiwa. Dari sanalah lahir keberanian mencoba lagi, bukan ketakutan gagal.
Bermain: Madrasah Alam bagi Jiwa
Bagi anak, bermain bukanlah sekadar hiburan. Itu adalah madrasah alami tempat belajar sabar, kerja sama, bahkan menerima kekalahan.
Membatasi anak hanya dengan jadwal les dan tugas berarti merampas waktu jiwanya untuk bernapas. Padahal, di balik tawa permainan, ada doa yang tanpa lafaz, ada dzikir yang tanpa kata.
Teladan Orang Tua: Cermin Jiwa Anak
Anak lebih banyak merekam apa yang ia lihat daripada apa yang ia dengar. Ia akan mewarisi cara orang tua menghadapi stres, cara berbicara, bahkan cara berdoa
Maka, teladan adalah warisan sunyi yang lebih abadi daripada harta.
Penutup: Jiwa Anak adalah Amanah
Menjaga kesehatan mental anak ibarat merawat taman. Ada saatnya kita menyiram, ada saatnya menyiangi, dan ada saatnya membiarkan bunga mekar dengan caranya sendiri.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Mari kita rawat jiwa anak-anak kita dengan kasih, agar kelak mereka tumbuh bukan hanya pintar dan sehat, tapi juga kuat dalam jiwa.
Semoga Allah menjaga hati anak-anak kita, menjadikannya taman yang teduh, bukan ladang luka.
*Reza Andik Setiawan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
