Rasulullah Muhammad SAW memberikan teladan agung. Beliau mengajarkan kita tentang hidup sederhana. Namun, banyak yang salah mengartikannya. Mereka menganggap kesederhanaan sama dengan kemiskinan. Pandangan ini tentu saja keliru. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi miskin. Sebaliknya, ajaran Rasulullah menunjukkan bahwa kesederhanaan adalah pilihan sikap. Ia adalah tentang kekuatan jiwa dan kekayaan hati.
Membedah Miskonsepsi: Sederhana Bukan Berarti Miskin
Banyak orang terjebak dalam pemahaman yang sempit. Mereka melihat kesederhanaan dari tampilan luar. Pakaian lusuh atau rumah kecil sering dianggap tolok ukur. Padahal, esensi kesederhanaan jauh lebih dalam. Ini bukan soal keterpaksaan karena tidak punya harta. Ini adalah soal pilihan sadar untuk tidak terikat dunia.
Rasulullah SAW adalah seorang pemimpin besar. Beliau kepala negara, panglima perang, dan utusan Tuhan. Beliau bisa saja hidup dalam kemewahan tak terbatas. Namun, beliau memilih jalan yang berbeda. Pilihan ini menunjukkan pengendalian diri yang luar biasa. Beliau mengajarkan kita untuk meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Jadi, sederhana adalah sikap mental, bukan kondisi finansial.
Potret Nyata Kehidupan Sang Teladan
Kisah hidup Rasulullah SAW penuh dengan pelajaran. Aisyah RA, istri beliau, memberikan gambaran jelas.
“Terkadang, tiga bulan purnama berlalu tanpa api menyala di dapur rumah Rasulullah SAW.”
Keluarga beliau hanya mengonsumsi kurma dan air. Alas tidur beliau sangat sederhana. Terbuat dari pelepah kurma yang kasar. Pakaian beliau pun kerap memiliki tambalan. Apakah ini karena beliau tidak mampu? Tentu tidak. Harta rampasan perang dan zakat melimpah. Namun, semua itu beliau bagikan kepada umat. Beliau mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya.
Sikap ini adalah puncak dari kezuhudan. Zuhud artinya tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Harta hanyalah alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukan untuk menumpuk kesenangan pribadi yang fana.
Islam Mendorong Umatnya Menjadi Kaya
Penting untuk memahami bahwa Islam tidak melarang kekayaan. Bahkan, Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras. Menjadi kaya secara materi adalah hal yang baik. Terutama jika kekayaan itu diperoleh dengan cara halal. Lihatlah para sahabat Nabi yang mulia. Banyak dari mereka adalah saudagar kaya raya.
Utsman bin Affan RA adalah seorang pebisnis sukses. Abdurrahman bin Auf RA juga seorang konglomerat pada masanya. Kekayaan mereka tidak membuat mereka lalai. Justru, harta itu menjadi ladang amal. Mereka membiayai dakwah dan membantu kaum miskin. Harta mereka menjadi berkah bagi banyak orang.
Seorang ulama pernah berkata, “Kekayaan di tangan, bukan di hati. Itulah esensi ajaran Islam.” Ini berarti kita boleh memiliki harta. Namun, jangan sampai harta itu menguasai hati kita. Jangan sampai kita menjadi hamba dari apa yang kita miliki.
Kekayaan Hakiki Adalah Kekayaan Jiwa
Lalu, apa makna kaya yang sesungguhnya? Rasulullah SAW telah memberikan jawabannya dengan sangat indah. Beliau bersabda dalam sebuah hadis yang masyhur.
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta. Namun, kekayaan yang hakiki adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah inti dari ajaran beliau. Kekayaan sejati (ghina an-nafs) adalah perasaan cukup (qana’ah). Ia adalah kemampuan untuk bersyukur (syukur) atas segala nikmat. Orang yang memiliki kekayaan jiwa akan selalu merasa damai. Hatinya tidak gelisah mengejar sesuatu yang tidak ia miliki. Ia bahagia dengan apa yang Allah berikan kepadanya saat ini.
Sebaliknya, orang yang miskin jiwa akan selalu merasa kurang. Meskipun hartanya melimpah, ia tidak pernah puas. Hidupnya penuh dengan ambisi duniawi yang melelahkan. Ia terus menerus mengejar fatamorgana tanpa henti.
Relevansi di Era Modern
Ajaran tentang hidup sederhana ini sangat relevan hari ini. Kita hidup di tengah budaya konsumerisme. Media sosial terus memamerkan kemewahan. Tekanan untuk tampil “sukses” sangat besar. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam gaya hidup boros. Mereka berutang demi memenuhi gengsi.
Gaya hidup sederhana ala Rasulullah menawarkan solusi. Ia mengajak kita untuk fokus pada substansi, bukan penampilan. Kebahagiaan tidak terletak pada barang-barang bermerek. Ketenangan tidak datang dari pengakuan orang lain. Kebahagiaan sejati bersumber dari hati yang senantiasa bersyukur.
Dengan hidup sederhana, kita terbebas dari perbudakan materi. Kita bisa mengalokasikan sumber daya untuk hal lebih penting. Misalnya untuk pendidikan, sedekah, dan investasi akhirat. Hidup menjadi lebih ringan, bermakna, dan penuh berkah.
Kesimpulannya, teladan Rasulullah mengajarkan kita sebuah prinsip agung. Hidup sederhana adalah tentang menjadi tuan atas harta. Bukan menjadi budak darinya. Ini bukan ajakan untuk menjadi miskin. Ini adalah undangan untuk meraih kekayaan yang paling abadi, yaitu kekayaan jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
