Opinion
Beranda » Berita » Indahnya Perjalanan Hidayah

Indahnya Perjalanan Hidayah

Indahnya Perjalanan Hidayah
Ilustrasi Orang Sedang Sholat Malam. (Foto: Meta AI)

SURAU.CO – Hidayah adalah anugerah terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Ia lebih berharga daripada harta, jabatan, bahkan kesehatan sekalipun. Sebab, dengan hidayah seseorang menemukan jalan hidup yang benar, hati yang tenang, pikiran jernih, dan langkahnya terarah menuju kebahagiaan dunia sekaligus keselamatan akhirat.

Namun, perjalanan hidayah bukanlah sesuatu yang instan. Ia adalah proses yang panjang, penuh lika-liku, kadang berliku di jalan gelap, lalu tiba-tiba Allah bukakan cahaya. Inilah yang membuat perjalanan hidayah terasa begitu indah.

Hidayah dalam Pandangan Islam

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa petunjuk hanya ada dalam genggaman-Nya. Tidak ada manusia yang bisa memberi hidayah kecuali atas izin Allah. Dalam surat Al-Qashash ayat 56 Allah berfirman:

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberikan petunjuk kepada orang yang engkau sayangi, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapa yang layak mendapat petunjuk.”

Ayat ini turun dengan kisah paman Nabi ﷺ, Abu Thalib. Meski beliau sangat mencintai keponakannya dan membela dakwah Rasulullah dengan sepenuh jiwa, namun Allah tidak menakdirkannya masuk Islam. Dari sini kita belajar bahwa hidayah bukan hasil usaha manusia semata, melainkan murni pemberian Allah.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Riwayat tentang Indahnya Hidayah

Rasulullah ﷺ sendiri menjadi teladan utama bagaimana cahaya hidayah mampu mengubah hidup seseorang. Kita mengenal Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sebelum mendapat hidayah, Umar adalah sosok yang sangat membenci Islam. Ia terkenal keras, tegas, bahkan pernah berniat membunuh Rasulullah ﷺ.

Namun, Allah berkehendak lain. Ketika Umar mendengar bacaan Al-Qur’an dari surat Thaha di rumah adiknya, hatinya luluh. Tangis pecah, dan ia segera menemui Rasulullah ﷺ untuk bersyahadat. Sejak saat itu, Umar menjadi salah satu sahabat paling mulia, bahkan dikenal sebagai Al-Faruq, pemisah antara yang haq dan yang batil.

Perjalanan hidayah Umar menunjukkan bahwa siapapun, betapapun kerasnya hati, bisa berubah ketika Allah menurunkan cahaya-Nya. Dari sosok yang ditakuti, ia menjelma menjadi cahaya bagi umat.

Hidayah Tidak Mengenal Batas

Kita juga belajar dari kisah Bilal bin Rabah, budak berkulit hitam. Saat ia menerima Islam, majikannya menyiksanya dengan sangat kejam. Bilal dipaksa kembali ke kekafiran, namun lisannya terus mengucap, “Ahad, Ahad…” (Allah Maha Esa).

Hidayah membuat Bilal tetap tegar meski tubuhnya disiksa. Ia merasakan manisnya iman yang jauh lebih berharga daripada kebebasan semu. Pada akhirnya, ia dibebaskan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu menjadi muadzin pertama dalam sejarah Islam.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kisah Bilal mengajarkan bahwa hidayah tidak memandang status sosial, warna kulit, atau kedudukan. Selama Allah menakdirkan seseorang untuk mendapat cahaya-Nya, maka tidak ada yang bisa menghalangi.

Perjalanan Hidayah dalam Kehidupan Kita

Jika kita renungkan, hidayah juga hadir dalam kehidupan sehari-hari kita. Ada orang yang awalnya lalai dari shalat, lalu suatu ketika hatinya bergerak untuk mendekati masjid. Ada yang dulunya jauh dari Al-Qur’an, lalu Allah menggerakkan hatinya untuk mulai membaca, meski hanya satu ayat sehari. Dulunya terjerat maksiat, lalu Allah pertemukan dengan guru, sahabat, atau lingkungan yang menuntunnya kembali ke jalan kebenaran.

Semua itu adalah bagian dari indahnya perjalanan hidayah. Tidak ada yang sia-sia, sekecil apapun langkah kita menuju Allah. Nabi ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah merentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang melakukan dosa di siang hari, dan Dia merentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan dosa di malam hari, hingga matahari terbit dari barat.” (HR.Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa pintu hidayah selalu terbuka. Allah menanti hambanya yang mau kembali, tidak peduli berapa kali ia jatuh.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Hidayah Itu Menenangkan Hati

Seseorang yang mendapat hidayah akan merasakan ketenangan yang luar biasa. Allah berfirman:

Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka celakalah mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az-Zumar [39]: 22).

Hati yang mendapat hidayah terasa ringan dalam beribadah. Shalat bukan lagi beban, melainkan kebutuhan. Membaca Al-Qur’an bukan sekedar kewajiban, melainkan sumber ketenangan. Apalagi ketika ditimpa musibah, ia tetap bersabar karena yakin semua dalam kendali Allah.

Penutup

Indahnya perjalanan hidayah tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ia adalah cahaya yang mengubah gelap menjadi terang, mengubah hati keras menjadi lembut, mengubah kegelisahan menjadi ketenangan.

Kisah Umar, Bilal, dan para sahabat Nabi ﷺ menjadi bukti bahwa hidayah mampu mengangkat derajat manusia. Kita pun bisa menjadi bagian dari kisah indah itu jika mau membuka hati, mendekat kepada Allah, dan menjaga langkah di jalan-Nya.

Marilah kita bersyukur atas nikmat iman yang Allah tanamkan dalam hati. Semoga Allah meneguhkan langkah kita, menjaga hidayah agar tidak hilang, dan menutup usia kita dalam keadaan husnul khatimah.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement