SURAU.CO. Pakaian menjadi salah satu bentuk anugerah Tuhan yang telah tercipta dengan manfaat mendalam dalam kehidupan manusia. Secara praktis, baju, celana, dan sepatu bukan sekadar media estetika, tetapi sistem proteksi biologis yang melindungi tubuh dari cuaca ekstrem, panas terik, dinginnya angin, bahkan dari paparan ultraviolet dan benturan. Banyak penelitian antropologi dan evolusi manusia menegaskan bahwa penggunaan pakaian adalah respons adaptif esensial, ibu-ibu dan lelaki pertama mengenal kain dan kulit hewan sebagai pelapis organ tubuh mereka ribuan tahun lalu demi bertahan hidup.
Lebih dari itu, busana berfungsi sebagai batasan sosial dan simbol identitas budaya. Di berbagai masyarakat, pakaian mencerminkan status sosial, profesi, keyakinan, serta norma sopan santun. Misalnya, masyarakat di daerah tropis cenderung memilih bahan ringan dan terbuka, sementara komunitas di iklim kutub merancang pakaian lapis-lapis dari kulit binatang untuk menjaga suhu tubuh .
Pakaian Sesuai Jenis Kelamin
Namun Islam tidak hanya memandang pakaian dari sisi fisik dan sosial, tetapi juga mengatur penggunaannya secara etis. Salah satu prinsip penting dalam syariat adalah mendorong setiap individu untuk menjaga karakter dan ciri khas kelamin masing-masing, serta menghindari peniruan yang membingungkan antara perempuan dan laki‑laki. Secara tegas, “Rasulullah ﷺ melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria” (HR. Bukhari)
Abu Hurairah juga meriwayatkan peringatan serupa agar tidak mengenakan pakaian khas lawan jenis. “Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim, dan Ahmad)
Larangan ini mencerminkan hikmah mendasar: menjaga fitrah dan keaslian identitas insan. Bila seseorang memakai pakaian yang secara unik melekat pada jenis kelamin lain, maka dia berisiko menghilangkan ciri khas jasmani maupun sosial yang telah ditetapkan oleh Allah. Dalam syariat, ini masuk kategori dosa besar karena menabrak struktur biologis dan akal sehat.
Dalam risalah kontemporer, ulama menegaskan bahwa larangan tasyabbuh (penyerupaan) meliputi tidak hanya pakaian, tetapi juga gaya bicara, gerak tubuh, dan kebiasaan khas gender. Namun fokus utama tetap pada atribut fisik yang kasat mata, seperti mengenakan tudung dan cadar bagi pria, atau memakai celana jeans dan sorban sebagai pakaian karakteristik lelaki bagi wanita.
Realitas Zaman Sekarang
Realitas di zaman sekarang menunjukkan pergeseran tren yang mengejutkan. Banyak wanita melupakan batas gender dalam busana hingga mereka mengenakan sepatu bot, topi, atau pakaian yang dahulu hanya khas pria. Dan sebaliknya, banyak laki-laki menggunakan gaya hijab seperti wanita, yang dalam istilah populer disebut fenomena “cross-hijaber”. Praktik ini semakin kabur oleh tingginya tekanan tren dan kultur populer, padahal syariat dengan jelas menghindarinya.
Sejumlah pria meniru gaya feminin, baik dalam berpakaian maupun gestur tubuh, kadang hingga sulit dikenali sebagai pria atau wanita. Bahkan ada yang sengaja mengenakan hijab atau cadar untuk masuk dalam majelis taklim, mencemarkan citra syar’i hijab dengan maksud menyusup ke dalam komunitas hijabers. Fenomena ini bukan sekadar masalah mode, melainkan bentuk penyimpangan sosial yang bisa mengikis esensi ajaran Islam.
Hati-hati Cross Hijaber
Para ulama mendorong agar perempuan membuka wajah dan identitasnya dalam pertemuan antar sesama perempuan agar terhindar dari praktik semacam itu. Tujuannya sederhana: saling mengenal, dan menyingkirkan sebagian kecil orang yang menyusup dengan tujuan merusak citra hijab. Karena dalam masyarakat Islami, kepercayaan itu dibangun dari transparansi, bukan dari ketertutupan yang dimanipulasi.
Secara keseluruhan, Islam menekankan pentingnya busana yang menutup aurat, melindungi badan, dan menjadi simbol kebaikan. Namun tetap tidak keluar dari pola jurnalistik identitas gender. Pakaian membawa ilmu tentang perlindungan biologis, adaptasi geografis, ekspresi budaya. Namun, aturan syariat memastikan agar pakaian itu memperkuat, bukan merusak, fitrah kita sebagai manusia. Semoga kita dimampukan untuk menjaga batasan dan esensi tanpa kehilangan rasa hormat terhadap diri, agama, dan peradaban.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.