Opinion
Beranda » Berita » Peran strategis pemuda dalam pandangan Islam

Peran strategis pemuda dalam pandangan Islam

Gambar Pemuda
Gambar Pemuda

SURAU.CO-Peran strategis pemuda dalam pandangan Islam adalah fondasi yang menentukan arah peradaban; karena itu, peran strategis pemuda dalam pandangan Islam perlu kita definisikan secara jelas, terukur, dan menyala dalam tindakan harian. Saya melihat energi anak muda selalu lahir dari iman yang hidup, ilmu yang relevan, dan keberanian berbuat. Ketiganya membentuk ketangguhan yang tidak mudah pudar oleh tren. Ketika kita menyiapkan ekosistem yang subur—keluarga, masjid, kampus, komunitas—maka daya ubah pemuda akan menjelma gerakan yang berkelanjutan, bukan letupan musiman.

Islam memandang pemuda sebagai subjek, bukan objek. Al-Qur’an merekam kisah Ashabul Kahf sebagai simbol keberanian moral, sementara sirah menampilkan Ali bin Abi Thalib dan Mus’ab bin Umair sebagai contoh kepemimpinan dini yang visioner. Di lapangan, saya menyaksikan komunitas pemuda mengurus kajian, media dakwah, dan layanan sosial berbasis data. Mereka tidak menunggu momentum; mereka menciptakan momentum dengan memadukan disiplin ibadah, literasi digital, dan sensitivitas sosial.

Peran Pemuda dan Pandangan Islam: Strategi Dakwah dan Kepemimpinan

Kunci praktisnya adalah kerangka 3C: Character, Competence, Community. Character membangun integritas, adab, dan istiqamah. Competence memastikan skill konkret—riset, desain, menulis, coding, wirausaha—agar dakwah efektif dan berdaya. Community menautkan jejaring lintas masjid, kampus, dan UMKM supaya gagasan tumbuh menjadi program. Rumus ringkasnya: ibadah menajamkan niat, ilmu menuntun metode, kerja tim memperbanyak dampak.

Untuk menjaga arah, pemuda bisa memakai OKR (Objectives and Key Results) sederhana dalam amal: tujuan syar’i yang jelas, indikator terukur, rentang waktu disiplin. Misalnya, program literasi Al-Qur’an mingguan, target hafalan tematik, pelatihan konten dakwah, hingga klinik karier syariah untuk pekerja muda. Pendekatan ini membuat semangat tidak meletup sebentar, tetapi menetes konsisten.

Peran strategis pemuda tidak berhenti pada wacana; ia turun menjadi inovasi sosial. Dengan fikih prioritas, pemuda dapat memetakan masalah lokal—kemiskinan, literasi keuangan, kesehatan mental—lalu merancang solusi halal: koperasi masjid, klinik konsultasi, atau beasiswa talenta. Saya melihat model “Masjid as a Startup Garage”: ruang belajar, studio konten, dan inkubator UMKM halal di bawah satu atap. Di sini, dzikir bertemu zikir (ingat Tuhan) dan fikir (pikir jernih), melahirkan produk yang bermanfaat.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Di era digital, pemuda perlu etika informasi. Mereka menyaring berita, mengutip sumber terpercaya, dan menolak ujaran kebencian. Prinsip tabayyun (verifikasi) melatih kehati-hatian; prinsip ihsan menuntun kualitas. Gunakan teknologi sebagai wasilah: aplikasi manajemen kajian, kanal podcast, dan dashboard zakat-infaq transparan. Data yang rapi memupuk kepercayaan publik dan membuka kemitraan strategis dengan lembaga pendidikan, pesantren, serta pemerintah daerah.

Peran Strategis Pemuda & Perspektif Syariah: Inovasi Sosial Berbasis Iman

Akhirnya, kepemudaan dalam Islam selalu bersifat lintas waktu (timeless). Fokus pada tiga ukuran dampak: (1) bertambahnya ketaatan pribadi, (2) membaiknya kualitas hidup warga sekitar, (3) lahirnya kader baru yang siap menggantikan. Regenerasi adalah sunnatullah. Saat satu angkatan menutup tugas, angkatan berikutnya sudah siap melesat dengan karakter kuat, kompetensi tajam, dan komunitas yang saling menanggung.

Tambahan penting: rujukan wahyu memberi arah. Umat terbaik lahir karena amar ma’ruf nahi munkar (QS Ali ‘Imran 3:110), sedangkan kisah pemuda beriman (QS al-Kahfi 18:13–14) menegaskan keteguhan hati. Hadis “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” mengajarkan orientasi manfaat. Nilai-nilai ini mengikat kerja pemuda agar bernilai ibadah, bukan sekadar prestasi dunia.

Untuk menjaga stamina strategi, pemuda bisa menerapkan micro-habits: menulis journaling syukur harian, menitip sedekah mingguan, serta belajar 20 menit topik inti—tauhid, akhlak, ekonomi halal, dan literasi digital. Setiap pekan, mereka mengevaluasi tiga pertanyaan: apa yang saya pelajari, siapa yang saya layani, dan bagaimana saya memperbaiki proses. Siklus belajar-layan-perbaiki ini membuat kemajuan terasa kecil tetapi konsisten.

Ekosistem pendukung harus konkret. Orang tua menumbuhkan budaya membaca; masjid menyediakan kurikulum pemuda; kampus menghubungkan riset dengan kebutuhan warga; pelaku usaha membuka magang syariah untuk menajamkan skill. Kolaborasi seperti ini menghasilkan value chain kebajikan: ilmu → karya → manfaat → dakwah. Mulai dari diri, ajak kawan, berdaya. (Hen)

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement